Oleh: Ramdhana A. Halim *

Deep Ecology ini adalah pengetahuan yang mendasar. Bukan hanya sulit dipahami tapi juga tidak mampu diterima, apalagi dilaksanakan. Deep Ecology ini hingga menafikan adanya cahaya penerangan di luar rumah (outdoor) pada malam hari. Adanya cahaya penerangan tersebut akan merebut hak hidup makhluk malam. Kebanyakan orang modern yang hidup di perkotaan tidak pernah bisa menyadari hal ini lagi?

Bila belajar dari masyarakat Baduy, mereka tidak boleh menggunakan minyak tanah dan juga menggali sumur. Apa yang asalnya dari bawah tidak boleh ditarik ke atas, apalagi dieksplorasi dan dieksploitasi, demi dalih kesejahteraan sekalipun. Untuk penerangan mereka menggunakan minyak jarak atau minyak kelapa. Dan untuk air minum mereka mengambil dari sumber-sumber mata air. Tanah-tanah yang miring juga tidak boleh diratakan, meski untuk perumahan. Tapi tinggi tiang panggung perumahan yang harus menyesuaikan dengan kemiringan tanah. Demikian pula untuk pertanian, mereka tidak boleh membalik tanah, apalagi menggunakan cangkul dan bajak.

Pola pertanian dan perladangan tidak boleh menetap, melainkan harus berotasi. Seperti kehidupan Gajah yang terus bergerak melingkar hingga saat kembali ke tempat asal, kondisi makanannya sudah dipulihkan lagi. Gajah sangat hafal dengan jalur rotasinya, hingga jalur untuk bermandi air garam di laut dan tempat untuk kematiannya.

Alam tidak menginginkan apa pun dari manusia, kecuali waktu untuk memulihkan diri. Alam pun tidak menuntut manusia untuk menanam karena sudah menyediakan segalanya. Biji-biji dari buah yang habis dimakan tinggal dilempar saja dan alam akan menumbuhkan. Biji itu pun akan tumbuh untuk bersaing dengan tanaman lainnya. Kehidupan yang ideal menurut Deep Ecology adalah manusia alam yang hunter gathering (berburu dan meramu) seperti masyarakat Kubu dan Anak Dalam. Mereka tidak pernah menanam dan selalu berotasi pada zona dan radius yang telah ditentukan. Tapi persoalannya, pola hidup seperti itu dianggap sebagai ancaman karena dianggap selalu merambah wilayah. Dari segi kemanusiaan mereka dianggap sampah dan tidak beradab sehingga perlu diberdayakan.

Persoalan kehidupan memang kompleks. Perkembangan jaman dan keterbatasan lahan akhirnya memaksa mereka untuk menetap. Pola pertanian intensif menjadi kebutuhan dan tuntutan untuk menjawab pertumbuhan penduduk. Tapi dampak dari pola pertanian yang menetap ini akan membuat tanah menjadi mandul dan ancaman penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.

Masyarakat seperti Baduy sadar betul akan hal itu. Tapi mereka tidak mau mengorbankan alamnya, karena standar kompetisi mereka adalah terhadap alam dan bukan terhadap sesama manusia. Mereka tidak mau mengorbankan alamnya karena secara jangka panjang akan berakibat kepada kemusnahan manusia itu sendiri. Mereka tidak akan menjalani hidup secara romantis, di mana harus mempertahankan kehidupan manusia secara habis-habisan. Apabila manusianya sudah mendekati kematian karena sakit atau lain hal, keadaan seperti itu tidak perlu dipertahankan dengan berbagai upaya pengobatan segala, melainkan diperkenankan untuk segera menjemput kematian.

Orang Baduy sadar betul, bahwa mereka sudah berada di puncak pertumbuhan atau limit of growth seperti dinyatakan Club of Rome. Dan apabila diteruskan akan menuju pada kekalahan dan mengalami kehancuran. Oleh karena itu mereka tetap melakukan perladangan berotasi meski pada radius kecil dan terbatas. Bahkan, bukan hanya perladangan, melainkan kampung atau perumahan pun juga berpindah, meski dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Demikian juga kaum nomad yang berternak. Mereka tidak akan menggembalakan ternaknya, melainkan akan mengikuti ternaknya karena lebih tahu tempat makanannya.

Dan bukan hanya di kabupaten Lebak, Banten; di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat juga ada kelompok masyarakat yang menerapkan pola rotasi seperti itu. Perpindahannya sekitar radius 4-5 km dan dengan jangka waktu yang lebih lama di banding di Baduy yang hanya ratusan meter saja. Kelompok masyarakat ini berasal dari keturunan Gajahbuara yang harus bergerak mengembara seperti Gajah. Awalnya mereka berada di kampung Sinaresmi, kemudian pindah ke kampung Cicemet, pindah lagi ke kampung Ciptamulya, terus Kembali ke Ciptagelar dan sekarang di kampung Gelaralam.

Bagaimana pola hidup dan pandangan deep ecology tersebut dalam pandangan fikih Islam? Tampaknya, fikih Islam lebih berurusan dengan hubungan antar manusia berdasarkan syariat agama dan Tuhan-nya, tapi kurang membahas hubungannya dengan alam dan kehidupan manusia-nya. Al-Qur’an hanya menyinggung sekilas dan tidak membahas secara detail hal-hal tersebut, misal: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).

Berbeda dengan masyarakat adat yang sudah sedari mula mengikuti dan tunduk pada hukum alam, serta menempatkan alam sebagai tonggak acuan dan tuntunan dalam melaksanakan setiap pekerjaannya. Seperti: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak (gunung tidak boleh dilebur, lebak tidak boleh dirusak).” Kalimat tersebut berisi pantangan dan larangan agar tidak melakukan perbuatan yang merusak dan berakibat panjang. Serta tuntunan yang menunjukkan interaksi dan keterikatan erat dengan alam, seperti : “Mipit kudu amit, ngala kudu menta; ngali cikur kudu matur, ngala jahe kudu micarek (mengambil harus permisi, membawa harus dengan meminta ijin; menggali kencur harus ada tutur kata, mengambil jahe harus bertegur sapa).”

Dengan demikian adalah sangat wajar bila persoalan pemberian ijin tambang (batu bara) [Gus Ulil Abshar Abdalla] dan eksploitasi sumber daya alam lainnya tidak menjadi pokok bahasan yang mengikat dalam Islam. Fikih Islam lebih melihat hal tersebut dalam kaitan hukum halal-haram atau mudarat-manfaat. Demikian pula dengan gerakan lingkungan yang ingin kembali pada net zero emission, mungkin tidak akan menjadi tuntutan yang berarti?

–##–

* Ramdhana A. Halim adalah Pegiat Perhutanan Sosial dan Masyarakat Adat