Oleh: Ferry SW *

Senin 3 Mei 2021 saya menonton film Pulau Plastik bersama teman-teman Eco Camp Bandung. Film ini awalnya ingin mengingatkan orang Bali bahwa Bali sudah menjadi pulau plastik. Provinsi Bali yang didahului Kota Denpasar sebenarnya sudah mengeluarkan larangan penggunaan plastik sekali pakai (single-use plastic). Masyarakat juga sudah banyak yang sadar. Maka Kopernik dan Akar Rumput yaitu dua LSM yang peduli lingkungan hidup berusaha mengingatkan warga Bali dengan membuat empat episode film seri mengenai dampak plastik sekali pakai bukan hanya bagi lautan namun juga bagi manusia.

Kopernik didirikan Toshihiro Nakamura dan Ewa Wojkowska. Akar Rumput dipimpin suami istri Gede Robi dan Lakota Moira. Media film dianggap sebagai media yang dapat menjangkau banyak orang. Mereka bekerjasama dengan rumah produksi Watchdoc yang dipimpin Dandhy Dwi Laksono.

Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan budaya yang nampak dari judul empat episode film mereka yaitu Segara Kertih (In Harmony with Our Oceans), Karmaphala (Consequences of Our Actions), Bedawang Nala (The Turtle That Carried The World), Tri Hita Karana (The Relation Between Human, God, and Nature). Keempat episode tersebut menyoroti bagaimana mikroplastik sudah masuk rantai makanan kita lewat seafood yang kita makan dan juga berbagai produk yang menggunakan microbeads seperti kosmetik dan detergen, pentingnya pemilahan sampah di keluarga dan masyarakat, alternatif kemasan dan rumah makan yang zero waste, dan contoh aksi nyata orang muda yang bisa menggerakan masyarakat bahkan mengusahakan agar rumah ibadat sepertti Pura Besakih bisa bebas dari sampah plastik. Kopernik juga mengevaluasi dampak film mereka pada para penonton 1-2 bulan sesudah menonton film.

Gagasan yang awalnya dari Bali ini kemudian diperluas menjadi skala nasional bekerjasama dengan Visinema Pictures yang dipimpin Gita Wiryawan. Ditampilkan tiga tokoh yaitu Gede Robi, Tiza Mafira dan Prigi Arisandi. Robi adalah vokalis band Navicula yang juga aktivis Kopernik dan Akar Rumput. Tiza aktivis lingkungan hidup dan lawyer alumni UI dan Harvard serta penggagas Plastic Bag Diet Movement dan associate director Climate Policy Initiative Indonesia. Prigi alumnus Biologi Airlangga Surabaya dari Ecoton (Ecological Observations and Wetlands Conversation) yang berbasis di Jawa Timur.

Gede Robi berangkat naik truk bersama pak Harun sang sopir truk bertuliskan “Tolak Plastik Sekali Pakai” dan “Setiap Menit Sampah Plastik Sebanyak 1 Truk Terbuang Ke Laut Kita” di kedua sisi truk. Dari Bali mereka berhenti di Gresik untuk mengunjungi Prigi. Prigi mengajak Robi melihat bagaimana sampah plastik dari AS dan Eropa diimpor masuk Indonesia dengan dalih sampah kertas. Sampah plastik itu dijadikan bahan bakar murah untuk industri pembuatan tahu. Dibantu Andreas Agus Kristanto Nugroho peneliti Ecoton alumnus S2 Biologi Airlangga mereka juga meneliti jejak mikroplastik di ikan bandeng tambak dan feses manusia dengan perlengkapan sederhana.

Dalam penelitian Andreas, 72% ikan di hilir Kali Brantas di saluran pencernaan ikan mengandung mikroplastik. Mikroplastik primer dimasukkan oleh industri ke produk seperti kosmetik dan detergen. Mikroplastik sekunder adalah hasil disrupsi plastik yang lebih besar. Disebut mikroplastik bila ukurannya di bawah lima milimeter. Selain menjadi limbah, mikroplastik juga akan mengikat berbagai limbah yang ada di air seperti logam berat, pestisida, dll. Bahan kimia sintetik ftalat (phthalate) yang dipakai untuk membuat plastik lebih fleksibel dan tahan lama serta limbah yang dibawa mikroplastik itulah yang akan masuk tubuh ikan, plankton, udang, kerang, burung, hewan lain, dan manusia serta mengganggu sistem hormon makhluk hidup.

Bersama Prigi perjalanan dilanjutkan menuju Yogyakarta, Cirebon, dan Bogor untuk melihat dan ikut berbagai aksi bebas sampah. Mereka menemukan kandungan mikroplastik dalam air sungai dan garam laut. Dari 100 sampel feses yang dikumpulkan dari berbagai daerah sepanjang perjalanan termasuk dari Walikota Bogor Bima Arya yang juga tampil dalam film dan berbagai warga masyarakat semuanya terbukti positif mengandung mikroplastik. Akhirnya sampailah mereka ke Jakarta untuk bergabung bersama Pawai Bebas Plastik 21 Juli 2019 yang digerakan Tiza bersama banyak LSM sebagai pawai terbesar kampanye tolak plastik sekali pakai. Pawai itu dihadiri berbagai tokoh termasuk ibu Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc bersama Rahung Nasution menjadi sutradara film Pulau Plastik. Lakota Moira dari Akar Rumput dan istri Gede Robi menjadi produsernya. Ada juga beberapa peneliti yang dilibatkan sebagai nara sumber ahli. Film Pulau Plastik ini menjadi tidak membosankan karena ditampilkan bersama berbagai lagu inspiratif yang dinyanyikan Gede Robi dengan semangat dengan iringan gitarnya. Yang paling menyentuh adalah bahwa gerakan ini digerakkan keinginan mewariskan bumi yang lebih bersih untuk anak cucu kita. Ditampilkan juga anak-anak Robi, Tiza dan Prigi yang sejak kecil sudah diajak ikut dalam kegiatan keseharian dan kampanye orang tua mereka. Untuk anak-anak dan cucu-cucu kitalah film ini didedikasikan.

Mirip Film A Plastic Ocean

Film Pulau Plastik (2021) sebenarnya idenya mirip sekali dengan film A Plastic Ocean (2016) yang diproduksi Craig Leeson seorang jurnalis asal Australia yang mencintai lautan dan senang surfing. Awalnya Craig ingin membuat film dokumenter tentang ikan paus biru di Sri Lanka. Namun ia menemukan banyak sampah plastik di lautan. Bersama Tanya Streeter seorang free diver mereka akhirnya mengunjungi berbagai lokasi misalnya Tuvalu dan Manila untuk melihat dampak sampah plastik di lautan dan pantai. Mereka mengajak penonton untuk melakukan perubahan. Disampaikan juga berbagai inisiatif untuk mengurangi dampak sampah plastik.

Belajar Membuka Pikiran

Pada dimensi pikiran apakah kita masih mau belajar berbagai kenyataan bahwa bumi kita ini sedang sangat menderita karena dirusak oleh perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab. Film Pulau Plastik dibuka dengan data bahwa tiap hari ada sampah kiriman sebanyak 25 ton. Dalam 5 menit Gede Robi bisa mengumpulkan puluhan sedotan plastik di sepanjang pantai yang dilaluinya. Indonesia disebut sebagai negara kedua terbesar yang menghasilkan sampah plastik sesudah Cina. Per kapita malahan Indonesia sebenarnya juara pertama. Namun sadarkah kita bahwa sebagian besar sampah kita berasal dari cara kita makan?

Cobalah misalnya membaca laporan World Bank Group berjudul What A Waste 2.0 : A Global Snapshot of Solid Waste Management to 2050 (2018) dan The Lancet Commision on Obesity (2019). Dari laporan World Bank disebutkan tahun 2012 manusia menghasilkan sampah 1,30 milyar ton. Tahun 2016 angkanya sudah mencapai 2,01 milyar ton. Tahun 2050 diproyeksikan manusia menghasilkan 3,40 milyar ton sampah. Semakin tinggi penghasilan seseorang semakin banyak sampah yang dihasilkan. Manusia disebut waste generation yaitu generasi sampah yang merupakan produk dan akibat urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan populasi.

Laporan World Bank juga menemukan bahwa 44% sampah adalah sampah organik, 12 % sampah plastik, 17 % sampah kertas, 9% sampah kaleng, lalu sampah lainnya. Sebagian besar sampah kita tersebut berasal dari cara kita makan. Sampah organik, plastik, kertas, dan kaleng sebagian besar adalah makanan dan kemasan makanan yang kita buang.

Penelitian The Lancet tahun 2019 menemukan bahwa penyebab utama krisis kelaparan, krisis kesehatan, dan krisis perubahan iklim adalah sistem pengeloaan makanan yang tidak adil dan tidak sehat yang dikendalikan perubahaan multinasional.

Penelitian The Lancet menemukan bahwa 44-57% pemanasan global akibat gas rumah kaca diakibatkan “sistem pengelolaan makanan” kita mulai dari sistem pertanian dan peternakan industrial kimia sintetik, sistem pengemasan makanan, sistem penyimpanan dan pengawetan makanan, sistem transportasi makanan, termasuk deforestasi hutan untuk pertanian, dan sistem pengolahan lahan pertanian dan industri peternakan yang tidak berkelanjutan.

Manusia juga membuang sampah makanan sebanyak 30% (data FAO 2015). Paus Fransiskus dalam Laudato Si menulis “kita tahu bahwa kurang lebih sepertiga dari seluruh makanan yang diproduksi dibuang dan “setiap kali makanan dibuang itu seolah-olah mencuri makanan dari meja orang miskin” (LS 50). Rata-rata setiap penduduk Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan setiap tahun (Food Sustainable Index 2018). Penduduk Indonesia juara kedua produsen sampah pangan terbanyak sedunia setelah Saudi Arabia (Food Sustainable Index 2018). Penduduk Indonesia setiap tahunnya menghasilkan 13 juta ton sampah makanan atau setara dengan 27 trilyun rupiah yang bisa memberi makan 28 juta orang (Data BPS 2017). Penduduk Jakarta membuang 3639 ton sampah makanan setiap hari (Survei Ekonomi Nasional 2018).

Para sahabat yang mau membuka pikiran dipersilahkan mencari data-data lain yang saat ini dengan sangat mudah dapat ditemukan. Apakah semua data tersebut tidak cukup untuk membuat kita berani membuat komitmen untuk cara hidup yang baru ?

Belajar Membuka Hati

Selanjutnya saya ingin mengajak para sahabat untuk membuka hati dengan menonton beberapa film berikut yaitu Cowspiracy, What the Health, The Game Changers, Kiss the Ground, dan Seaspiracy. Mereka yang sudah menonton umumnya tersentuh hatinya dan pastilah akan berubah cara pandang dan cara hidupnya termasuk apa yang akan dimakannya.

Film Cowspiracy (2014) mengingatkan kita bahwa industri daging adalah salah satu sumber pemanasan global yang sering dihindari untuk dibicarakan. Kalau manusia tidak mengurangi makan daging sampai 50% secara global maka tahun 2050 bumi sudah tidak layak dihuni.

Film What the Health (2017) mengingatkan konspirasi berbagai industri daging dan penangkapan ikan, perusahaan makanan, peruhaan farmasi, pemerintah, bahkan LSM lingkungan hidup serta asosiasi kesehatan yang menyebabkan bumi semakin rusak dan manusia semakin tidak sehat.

Film Seaspiracy (2021) mengingatkan bahwa industri penangkapan ikan di laut sungguh merusak laut termasuk plankton dan terumbu karang yang penting untuk menyimpan karbon. Kalau manusia tidak mau mengurangi konsumsi ikan dan membiarkan industri ikan menguras lautan dengan cara seperti saat ini maka tahun 2048 ikan di laut akan punah dan lautan akan melepas karbon yang menyebabkan bumi akan terlalu panas untuk ditinggali.

Kita ribut soal sedotan plastik yang 0,5 % dari total sampah plastik di lautan tapi tidak ribut soal jaring ikan yang 46% dari total sampah plastik di lautan. Kita kampanye melarang penggunaan plastik sekali pakai (single-use plastic), tapi tidak mau kampanye mengurangi makan daging dan ikan yang merusak bumi dan kesehatan manusia.

Ibu Susi Pudjiastuti mantan Menteri Kelautan dan Perikanan termasuk yang sering ditanya komentarnya soal film Seaspiracy. Beliau berpendapat bahwa ikan adalah sumber protein yang murah dan mudah didapat. Bu Susi tetap menganjurkan makan ikan namun juga menghimbau untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai agar tidak terbuang ke laut.

Mengenai kandungan protein, menurut Dr. Susianto ahli gizi alumni UI dan ketua Indonesian Vegetarian/Vegan Society kandungan protein dari ikan 16-23%, telur 12-13%, dan daging 9-21%, sedangkan dari kacang hijau 24 % dan kedelai 34%. Kandungan protein di susu sekitar 3-4%. Artinya kandungan protein nabati juga cukup tinggi. Menurut Dr. Susianto ada banyak mitos mengenai makanan kita yang tidak berbasis fakta.

Film Kiss the Ground (2020) mengingatkan akan cara pertanian industrial yang merusak tanah dan siklus air hujan alami. Kalau mau menyelamatkan bumi, maka mulailah dengan menyelamatkan tanah. Yang ditawarkan adalah cara pertanian regeneratif yang lebih menyuburkan tanah, memungkinkan siklus air hujan yang lebih alami, dan melindungi kesehatan manusia.

Film The Game Changers (2018) mengingatkan bahwa gaya hidup vegetarian dan vegan adalah gaya hidup yang sehat. Diperlihatkan bahwa berbagai atlit tercepat dan terkuat tetap sehat dan tampil prima meski mereka vegeratian dan vegan. Salah satu manusia terkuat ketika ditanya mengapa sekuat banteng mengatakan bahwa banteng juga tidak makan daging.

Tontonlah semua film tersebut dengan membuka hati anda. Apakah anda peduli dengan bumi yang semakin rusak dan dengan semua yang ada di alam semesta yang menderita? Air, tanah, udara, hewan, serangga, tumbuhan, dan manusia semuanya menderita karena cara hidup manusia yang keliru. Jangan menonton sebagai seorang akademisi karena beberapa data dari semua film tersebut memang masih bisa diperdebatkan.

Kip Andersen yaitu sutradara merangkap produser tiga film yaitu Cowspiracy, What the Health, dan Seaspiracy sering dikritik karena gaya membuat film dokumenter dan data yang mungkin berlebihan. Namun cobalah menghargai tujuan Kip Andersen untuk membuka pikiran dan hati kita akan realitas bumi yang semakin rusak antara lain oleh industry peternakan, industri penangkapan ikan, industri makanan, yang didukung industri farmasi dan berbagai LSM dan pemerintah yang tidak menyampaikan fakta yang benar sehingga membahayakan kesehatan manusia dan masa depan bumi.

Jangan menonton semua film itu dengan sinis. Bukalah hati anda dan tanyakan kepada hati anda apakah anda mau berubah?

Belajar Bersama Sebagai Komunitas

Dalam dunia gerakan lingkungan hidup ada 6 fokus yaitu riset, konsultasi, publikasi, edukasi, aksi, dan advokasi. Climate Policy Initiative melakukan riset dan konsultasi. Ecoton kuat di riset dan advokasi. Walhi dan Greenpeace aktif dalam advokasi. Kopernik dan Akar Rumput memlilih jalur publikasi dan aksi misalnya lewat berbagai film dan event. Trash Hero adalah aksi membersihkan pantai dari sampah plastik. Eco Camp memilih jalur edukasi. Anda bisa memilih akan lebih fokus ke arah mana sesuai kemampuan dan pilihan anda. Belajarlah dan berjuanglah bersama komunitas anda. Jangan hanya bergerak sendirian.

Pada prinsipnya apapun yang kita lakukan sebagai tanggapan atas krisis yang dialami bumi, maka mulailah dari diri sendiri dan keluarga serta komunitas anda. Anda bisa mulai dengan memilih apa yang anda makan, anda pakai, anda beli. Bu Kristien Yuliarti dari Omah Hijau di Malang dan bu Suzy Hutomo dari The Body Shop Indonesia adalah contoh aktivis yang berusaha konsisten dalam hidup sehari-hari. Bu Kristien hanya menggunakan lerak untuk sabun dan mencuci, tidak menggunakan tisu dan pembalut sekali pakai, dan tidak mau menggunakan istilah sampah dan mengolah semua sisa konsumsinya.

Bu Suzy nenggunakan solar panel di rumah dan di kantor, membawa tas dan kantong belanja yang bahannya dari produk recycle, menggunakan kertas berbahan recycle, menolak pemakaian plastik sekali pakai dan styrofoam, dan memimpin bisnis ramah lingkungan yang menggunakan bahan alam yang dibeli secara fair trade dan no animal testing.

Anda bisa memulai dengan cara hidup yang lebih sederhana dan hemat dalam berbagai hal. Sangat penting sekaligus mungkin kadang sulit adalah juga mengajak seluruh anggota keluarga anda untuk memilih cara hidup yang lebih ramah lingkungan. Akhirnya semoga kita dapat mempengaruhi masyarakat sekitar dan masyarakat yang lebih luas.

Sekecil apapun usaha yang anda lakukan untuk ikut merawat ibu bumi rumah kita bersama pastilah ada maknanya. Paus Fransiskus mengatakan “Janganlah kita berpikir bahwa upaya ini tidak akan mengubah dunia. Tindakan-tindakan ini menyebarkan suatu kebaikan di masyarakat, yang selalu menghasilkan buah di luar apa yang bisa kita lihat, karena menimbulkan di bumi suatu kebaikan yang cenderung selalu menyebar, meskipun kadang-kadang tak terlihat.

Selain itu, tindakan-tindakan ini dapat memulihkan rasa harga diri kita, memampukan kita untuk hidup lebih penuh dan mendalam serta merasakan bahwa kehidupan di bumi ini berharga (LS 212). Jadi ayo bergerak bersama komunitas anda dan bekerjasama dengan berbagai komunitas lain sebagai wujud dari kesadaran ekologis kita bersama. Lilik Krismantoro dari Yogyakarta mengajak kita bukan hanya merawat tapi membela ibu bumi.

Belajar Berani Membuat Komitmen

Kalau tujuan manusia diciptakan adalah untuk memuji, menghormati serta mengabdi Tuhan dan dengan itu menyelamatkan jiwanya, maka saat inilah kita semua harus mengambil keputusan. Cara hidup manakah yang akan lebih mengabdi Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta dan dengan itu menyelamatkan manusia?

Kita sudah diajak membuka pikiran, membuka hati, dan akhirnya mengambil keputusan untuk memilih cara hidup yang paling merawat bumi dan seluruh ciptaan. Kalau kita sudah tahu dan sadar, seharusnya kita berani membuat komitmen untuk cara hidup kita yang lebih menyelamatkan bumi dan manusia. Bentuknya silakan memilih apa yang paling mungkin bagi anda masing-masing.

–##–

* Ferry SW adalah Ketua Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup yang mengelola Eco Camp dan Eco Circle di Bandung.