Bumi semakin panas. Risiko kebakaran lahan gambut semakin meluas, mulai dari Indonesia hingga Alaska.

Pada 1997, kebakaran hutan di Indonesia merambat ke lahan gambut, menyebabkan lahan ini terbakar selama berbulan-bulan.

Saat kebakaran tersebut berhenti, konsentrasi gas rumah kaca dari peristiwa itu setara dengan 20-40% emisi gas rumah kaca global yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.

Hal ini terungkap dalam berita Natural Sciences and Engineering Research Council  yang dirilis Sabtu (18/2). Douglas Woolford dari Wilfrid Laurier University dan Mike Flannigan dari University of Alberta memaparkan hasil penelitian ini dalam acara American Association for the Advancement of Science (AAAS) yang diselenggarakan di Vancouver, Kanada.

Menurut kedua peneliti, kebakaran di lahan gambut akan memerpanjang musim kebakaran dan memerbesar risiko kebakaran di lahan gambut.

Peristiwa di Indonesia hanyalah salah satu contoh dari peningkatan risiko kebakaran gambut. Menurut kedua peneliti, risiko Indonesia jauh lebih kecil dibanding risiko di wilayah lain seperti di Kanada.

Kanada memiliki lahan gambut yang jauh lebih luas dari Indonesia. Luas total wilayah ladang gambut di Kanada dua kali lebih besar dari luas wilayah Saskatchewan atau hampir 1,2 juta km2.

Saat kebakaran hutan terjadi, terutama pada musim kemarau, lahan gambut bisa terpicu untuk menciptakan kebakaran baru dan kita dipaksa menghirup asap pekat yang menyesakkan akibat kebakaran tersebut.

Lahan gambut tumbuh hingga beberapa meter ke bawah permukaan. Lahan gambut bahkan bisa terbakar saat musim dingin di bawah salju dan intensitas kebakaran ini akan meningkat pada musim semi.

Menurut Flannigan, iklim bumi yang kini semakin panas meningkatkan risiko kebakaran di lahan gambut di wilayah bumi bagian utara.

Sebagai contoh pada 2007, terjadi kebakaran tundra yang dipicu oleh kebakaran di lahan gambut seluas 1000 km2 di kawasan sungai Anaktuvuk, Alaska. Ini adalah kebakaran tundra pertama sejak 12.000 tahun yang lalu.

Redaksi Hijauku.com