Oleh: Hizbullah Arief *
Mengurangi kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin menentukan kualitas lingkungan dan aksi iklim. Semakin tinggi kesenjangan ekonomi, semakin sulit kebijakan lingkungan dan iklim diimplementasikan. Demikian sebaliknya, semakin sedikit kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, semakin mudah kebijakan lingkungan dan iklim diterapkan.
Hal ini terungkap dalam penelitian terbaru berjudul “The Economics of Inequality and the Environment” oleh Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) yang telah diterbitkan dalam Journal of Economic Literature. Dalam laporan ini tim peneliti merujuk pada pentingnya mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) di mana semua masyarakat – tidak hanya mereka yang kaya – dapat terpenuhi kebutuhan mereka atas barang (goods), jasa (services), hiburan (leisure) dan kualitas lingkungan yang baik (environmental quality).
Jika ditarik dalam konteks Indonesia – merujuk pada aksi protes terhadap kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah saat ini – kebutuhan-kebutuhan tersebut termasuk sandang, pangan dan papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan dan upah yang layak dan lingkungan yang sehat, bebas polusi dan pencemaran, eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang memicu peningkatan risiko bencana kekeringan, banjir, longsor di seluruh penjuru Tanah Air.
Pembangunan ekonomi yang bersumber pada eksploitasi sumber daya alam terbukti selama berpuluh tahun menghasilkan ketimpangan yang semakin lebar antara yang miskin dan yang kaya. Hal ini terutama jika pembangunan dikelola dengan serampangan, mengobral ijin dan alih guna lahan tanpa memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Di negara yang korupsinya merajalela, upaya untuk menjamin kesejahteraan sosial melalui berbagai kebijakan dan peraturan seperti peraturan ketenagakerjaan, amdal, kajian lingkungan hidup strategis dan lain sebagainya, hanya menjadi pintu bagi pejabat dan pembuat kebijakan yang korup untuk mengeruk keuntungan bagi diri mereka sendiri di atas penderitaan rakyat.
Dan jika praktik korupsi seperti ini terus berlangsung selama bertahun-tahun, tanpa kontrol, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Para pejabat dan pembuat kebijakan terus melakukan korupsi memanfaatkan celah aturan dan kebijakan. Mendapatkan harta dari mencuri – melalui berbagai praktik dan tingkatannya – dianggap biasa atau business as usual. Padahal dana ini seharusnya dipakai untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Efeknya, rasa malu di kalangan pejabat dan pembuat kebijakan untuk mencuri, hilang. Kekayaan menjadi ukuran, mobil, rumah mewah, jam seharga miliaran, liburan ke luar negeri, belanja barang mewah menjadi kebanggaan, dipamerkan di mana-mana, menjadi simbol status sosial. Semakin kaya mereka semakin bangga.
Ujungnya, sensitivitas para pejabat dan pembuat kebijakan terhadap kemiskinan, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat – di mana rakyat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka (atas goods, services, leisure, dan environmental quality sebagaimana dianalisis PIK) – diikuti kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi, kemiskinan dan pengangguran di mana-mana, juga menghilang!
Akibatnya, muncul kecemburuan sosial akibat hilangnya sensitivitas pejabat dan pembuat kebijakan sehingga memicu aksi demontrasi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Seperti yang saat ini terjadi di Indonesia.
Kembali ke hasil penelitan Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), kondisi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga akan mempersulit upaya untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang rendah karbon. Misalnya premi untuk bahan bakar fosil yang memicu polusi dan krisis iklim. Kebijakan yang dimaksud untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil tersebut akan sulit diterapkan karena hanya akan menaikkan harga bahan bakar minyak yang berisiko memicu inflasi dan menambah tekanan pada masyarakat miskin.
Hal ini diperburuk oleh kurangnya layanan sektor transportasi publik yang seharusnya dikembangkan untuk menjamin kesejahteraan sosial di mana seluruh masyarakat bisa mendapatkan layanan transportasi yang aman, murah, nyaman dan tepat waktu, yang jika diterapkan dampaknya bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sekaligus memangkas konsumsi bahan bakar fosil.
Yang menarik, hasil penelitian PIK ini bisa ditarik ke berbagai sektor. Semuanya saling terkait. Keberhasilan mewujudkan kesejahteraan sosial di sektor transportasi publik juga akan meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Polusi berkurang, kualitas kesehatan masyarakat meningkat.
Di sektor sumber daya alam, kebijakan alih guna lahan dan obral ijin serampangan tanpa memperhitungkan amdal, daya dukung dan daya tampung lingkungan, juga dilakukan oleh pejabat dan pembuat kebijakan yang korup yang dimanfaatkan oleh perusahaan dan pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan, cuan atau harta semata.
Eksploitasi sumber daya hutan dan tambang: emas, tembaga, nikel, timah, batu bara dan yang lainnya terbukti selama berpuluh-puluh tahun menciptakan kesenjangan kekayaan bagaikan langit dan bumi. Padahal jika dikelola dengan baik, sumber daya alam ini bisa menciptakan lapangan kerja, menghasilkan pendapatan yang layak, mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat tanpa harus merusak lingkungan.
Indonesia harus segera memperbaiki diri, sebelum semuanya terlambat. Jika tidak, negara yang kaya dan indah ini akan hancur dan rusak, menjadi ladang eksploitasi dan bancakan korupsi bagi mereka yang serakah, yang bangga mencuri, di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Lingkungan yang indah hanya akan jadi cerita sejarah. Jangan sampai kita wariskan bencana dan kehancuran, bagi generasi yang akan datang. Kesejahteraan sosial adalah kunci mewujudkan Indonesia yang maju dan lestari.
–##–
* Hizbullah Arief adalah mentor dan advisor aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, promotor ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Arief mendirikan Hijauku.com di 2011.
Leave A Comment