Sejak Revolusi Industri manusia terus mencemari atmosfer bumi dengan membakar bahan bakar fosil yang menjadi sebagai sumber energi utama untuk pertumbuhan ekonomi.

Sejak saat itu, eksploitasi batu bara dan minyak bumi dimulai, menimbulkan kerusakan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, pertambangan minyak dan batu bara memicu pencemaran tanah, air dan udara. Di wilayah-wilayah tambang, terjadi alih guna lahan yang memicu kerusakan keanekaragaman hayati dan bencana seperti banjir dan tanah longsor yang berkepanjangan, semakin sering terjadi.

Saat bahan bakar fosil tersebut akhirnya digunakan, minyak dan batu bara menghasilkan polusi yang luar biasa. Polusi tersebut diantaranya adalah polusi karbon dioksida (CO2) dan metana (NH4) yang kemudian menumpuk di atmosfer bumi, memicu efek gas rumah kaca. Hal ini disebabkan kualitas bahan bakar fosil sebagai sumber energi yang sangat buruk – oleh karenanya disebut dengan bahan bakar kotor. Proses pembakaran bahan bakar kotor menjadi sumber energi sangat tidak efisien, memroduksi banyak polusi yang berbahaya bagi iklim, lingkungan dan kesehatan.

Data terbaru dari Scripps Institution of Oceanography menyebutkan, konsentrasi emisi gas rumah kaca CO2 harian global per 9 Januari 2025 telah mencapai 425,81 PPM jauh di atas batas aman 350 PPM. Sementara tingkat emisi metana menurut Leon Simmons, peneliti iklim dari Club of Rome, Belanda, telah mencapai level tertinggi dalam 50 juta tahun terakhir yaitu di atas 1936,64 ppb (data NOAA). Sebagai informasi, polusi metana memiliki efek gas rumah kaca 28 kali lebih dahsyat dibanding emisi CO2, dengan efek pemanasan global 86 kali lebih besar dalam 100 tahun.

Semua perusakan dan pencemaran – baik di darat, laut dan udara – akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang dilakukan manusia atas nama pertumbuhan ekonomi – ditambah dengan praktik korupsi dan buruknya tata kelola lingkungan – terus mengubah kondisi lingkungan dan iklim global. Konsentrasi emisi gas rumah kaca terus meningkat, menciptakan lapisan yang semakin tebal/pekat di atmosfer bumi yang menghalangi radiasi sinar matahari keluar dari atmosfer bumi.

Akibatnya, tak terhindarkan lagi. Layaknya kita merebus air di panci yang tertutup, suhu di permukaan bumi – yang atmosfernya semakin tertutup oleh polusi gas rumah kaca – menjadi semakin cepat naik, memicu anomali cuaca dan iklim ekstrem. Data terbaru WMO yang dirilis Sabtu ini, 10 Januari 2025 menegaskan krisis tersebut. Suhu rata-rata permukaan bumi telah naik 1,55°C dibanding suhu rata-rata sebelum Revolusi Industri (1850-1900). WMO juga mencatat, selama sepuluh tahun terakhir antara 2015-2024 adalah sepuluh tahun terpanas yang pernah tercatat.

Pesan kunci WMO: Target jangka panjang Persetujuan Paris (Paris Agreement) untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C dalam bahaya besar – walau belum mati. Para ilmuwan sudah jauh-jauh hari memeringatkan agar perusahaan dan negara beralih ke bahan bakar yang lebih bersih, memperbaiki tata kelola lingkungan dan mengubah pembangunan yang kotor menjadi pembangunan yang berkelanjutan.

Namun peringatan ini seperti angin lalu. Perusakan dan pencemaran terus berlanjut. Akibatnya bisa kita lihat dalam infografis IPCC. Nafsu untuk mendapatkan kekayaan, materi, harta, keuntungan duniawi mengalahkan kesadaran untuk melestarikan bumi. Bumi yang akan diwariskan bagi generasi mendatang.

Kesejahteraan ekonomi yang diraih menjadi semakin semu. Kesenjangan ekonomi semakin lebar. Negara kaya terus menghasilkan polusi gas rumah kaca, mengorbankan negara yang miskin yang semakin parah terdampak krisis iklim.

Di negara berkembang, hutan alam mulai ditebangi diganti oleh tanaman monokultur untuk mengejar “ketertinggalan ekonomi”. Keanekaragaman hayati habis dieksploitasi. Tanah, air dan udara menjadi semakin kotor, tercemari. Akibatnya, bencana hidrometeorologi, sebagai akibat dari krisis iklim semakin sering terjadi.

Siklus kerusakan dan keserakahan ini tak akan berhenti, sebelum manusia, pada satu titik, mengilhami: “Saat pohon terakhir telah ditebang, saat ikan terakhir telah ditangkap, saat udara yang mereka hirup telah tercemari, saat itulah mereka menyadari, bahwa uang mereka di bank, tak bisa mereka makan.” – Alanis Obomsawin.

Redaksi Hijauku.com