Polusi udara mencabut 8,1 juta jiwa pada tahun 2021. Lebih dari 700.000 korbannya adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Sebanyak 90% kematian akibat penyakit jantung, stroke, diabetes, kanker paru-paru, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dipicu oleh polusi udara.

Hal ini terungkap dalam laporan “State of Global Air 2024” atau SOGA yang memberikan data komprehensif mengenai kualitas udara dan dampaknya bagi kesehatan di seluruh dunia.

Laporan SoGA menemukan, polutan di luar ruangan berupa partikulat (partikel-partikel halus) berukuran 2,5 mikron (PM2.5) yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa dari sektor transportasi, perumahan, kebakaran hutan, dan masih banyak lagi ditemukan sebagai faktor pemicu paling dominan (58%).

Polutan lain seperti polusi rumah tangga menyumbang 38%, sementara ozon (O3) dan nitrogen dioksida (NO2) – yang berasal dari asap pembuangan knalpot – juga berkontribusi terhadap memburuknya kesehatan manusia secara global.

Laporan ini menyatakan, anak-anak adalah kelompok usia yang “sangat rentan” menjadi korban polusi udara yang dampaknya dimulai sejak mereka masih dalam kandungan. SoGA menyatakan, paparan polusi udara pada anak-anak telah mengakibatkan satu dari lima kematian dari penyakit pneumonia dan asma di seluruh dunia. Anak-anak di negara-negara yang miskin lebih banyak menjadi korban dibanding mereka yang hidup di negara-negara maju.

Wakil Direktur Eksekutif UNICEF, Kitty van der Heijden mengatakan, hampir 2.000 anak balita meninggal setiap hari akibat dampak polusi udara. “Urgensi global tidak dapat disangkal,” ujarnya. “Pemerintah dan dunia usaha, harus melihat data ini dan melakukan aksi nyata guna mengurangi polusi udara dan melindungi kesehatan anak-anak.”

Laporan SoGA juga mengklaim peningkatan kesadaran mengenai dampak buruk polusi udara di rumah tangga. Hal ini terbukti dari menurunnya angka kematian anak-anak balita sebesar 53 persen sejak tahun 2000 akibat peningkatan akses terhadap energi bersih untuk memasak.

Selain itu, wilayah-wilayah yang mengalami tingkat polusi udara tertinggi telah mulai beraksi mengatasi masalah ini dengan memasang jaringan pemantauan polusi udara, menerapkan kebijakan kualitas udara yang lebih ketat, dan banyak lagi – khususnya di Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Bagaimana di Indonesia?

Redaksi Hijauku.com