Indonesia telah menyerahkan instrumen ratifikasi Persetujuan Paris pada hari Senin, 31 Oktober 2016.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dalam siaran persnya menyatakan, Wakil Tetap RI pada PBB di New York, Duta Besar Dian Triansyah Djani, didampingi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Ferry Adamhar, telah menyampaikan Piagam Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim, kepada Santiago Villalpando, pejabat tinggi di Kantor Perjanjian internasional PBB.
Penyerahan instrumen ratifikasi ini dilaksanakan dua minggu setelah sepuluh fraksi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Republik Indonesia menyetujui pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, Senin, 17 Oktober 2016.
Dalam sambutannya di Sidang Paripurna Pengesahan RUU Persetujuan Paris di DPR RI pada tanggal 19 Oktober 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menyatakan, terdapat keterkaitan yang erat antara perubahan iklim dan aktivitas kehidupan umat manusia. Manusia dalam aktivitasnya menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
Menurut Siti, secara umum kenaikan suhu rata-rata di wilayah Indonesia diperkirakan mencapai 0,5–3,92 °C pada tahun 2100 dari kondisi dasar periode 1981-2010. Dampak dari kenaikan suhu ini, telah terjadi pergeseran bulan basah dan bulan kering secara signifikan. Intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek terjadi di Sumatera bagian utara dan Kalimantan. Sedangkan curah hujan rendah dan durasi hujan lebih panjang terjadi di bagian selatan Jawa dan Bali. “Dan kita rasakan secara langsung di tahun 2016 ini, bahwa dalam satu saat, contohnya, di Jawa Barat terjadi banjir, namun di wilayah yang lain, di Riau dan Kalimantan Barat, kita jumpai titik panas atau hotpsot yang berpotensi sebagai titik api kebakaran hutan dan lahan,” ujar Siti.
Pemanasan global dan perubahan iklim juga memicu kenaikan muka air laut Indonesia yang diproyeksikan mencapai 35-40 cm pada tahun 2050 sebagai nilai relatif terhadap nilai pada kondisi dasar tahun 2000. Menurut Siti, kecenderungan ini kemungkinan tidak linier tapi dapat bersifat eksponensial sehingga kenaikan air laut bisa mencapai 175 cm pada tahun 2100 karena pencairan es di Kutub Utara dan Selatan.
“Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, dan sebagian kota serta hampir 65 % penduduk berada di wilayah pesisir, maka Indonesia merupakan wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, karena kenaikan muka air laut serta banjir di wilayah pesisir atau rob,” tutur Siti Nurbaya.
Banjir juga akan merusak jalan, jembatan, pelabuhan dan infrastruktur lainnya. Akan terjadi pula penurunan permukaan tanah atau subsidence. Di sektor pertanian, perubahan iklim dapat berdampak terhadap penurunan produksi dan perubahan pola tanam, demikian pula perubahan iklim yang ekstrim akan berdampak kebakaran hutan yang lebih intesif dan mengakibatkan kehilangan keanekaragaman hayati dan perubahan tata guna hutan.
Untuk itu, Siti menyatakan, sejalan dengan ketentuan Persetujuan Paris, Indonesia akan menetapkan NDC (Nationally Determined Contributions) secara bertahap. “Pada periode pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional pada tahun 2030,” ujarnya. Pengurangan emisi ini akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan dan pertanian, energi termasuk transportasi, dan proses industri dan penggunaan produk serta limbah. “Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan berdasarkan kajian kinerja yang menunjukkan peningkatan pada periode selanjutnya,” ujar Siti Nurbaya.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment