Sejumlah tanaman memiliki cara tersendiri untuk bisa selamat di padang tandus (dryland) termasuk di padang pasir. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Max Planck Institute for Demographic Research (MPIDR) yang dirilis Senin (8/10).

Ekosistem padang tandus saat ini menutupi 41% wilayah permukaan bumi. Ekosistem ini sangat rentan dengan perubahan iklim global dan desertifikasi.

Dengan menggunakan metode demografis, ekologis Roberto Salguero-Gómez dari MPIDR meneliti tanaman-tanaman yang ada di gurun untuk mengetahui seberapa rentan mereka terkena dampak perubahan iklim. Hasilnya mengejutkan: Perubahan iklim berdampak positif pada sejumlah tanaman.

Padang tandus (padang pasir, sabana dan padang rumput yang luas) menjadi tempat tinggal 38% populasi global. Perubahan iklim diperkirakan akan membawa dampak buruk terhadap wilayah-wilayah ini. Suhu akan terus naik, curah hujan terus menurun dengan pola yang semakin kacau – yang akan sangat merugikan bagi tanaman.

Untuk menghitung dampak perubahan iklim terhadap populasi tanaman, para peneliti terbiasa berurusan dengan data suhu dan curah hujan rata-rata yang tidak bisa diterapkan untuk tanaman di wilayah gurun.

Menurut Roberto dari MPIDR, tamanan di padang tandus telah beradaptasi dengan kondisi iklim ekstrem. Beberapa jenis benih tanaman memiliki semacam sensor guna mendeteksi tingkat curah hujan. Jika kondisi iklim tidak mendukung, benih-beih ini tidak akan tumbuh, menunggu musim hujan walau memerlukan waktu yang bertahun-tahun. “Ciri-ciri ini sangat unik,” ujar Roberto.

Bekerja sama dengan Wolfgang Siewert, Katja Tielbörger (University of Tübingen) dan Brenda Casper (University of Pennsylvania) mereka menciptakan metode kalkulasi demografis dan perubahan iklim baru yang bisa memberikan gambaran pertumbuhan populasi tanaman pada masa datang.

Redaksi Hijauku.com