Apa Kabar ISO 26000?

Inilah perkembangan termutakhir tentang tanggung jawab sosial di tingkat global.

Oleh: Jalal *

Hans Kroder, salah satu anggota Post-Publication Organization/Stakeholder Advisory Group (PPO SAG) ISO 26000, datang ke Indonesia di bulan Februari 2018 untuk beberapa keperluan.  Di sela-sela kesibukannya, dia bersedia berbagi perkembangan mutakhir tentang ISO 26000 dengan pengurus Corporate Forum for Community Development (CFCD) 2017-2020.  Lantaran saya beruntung diundang datang ke acara tersebut, izinkan saya berbagi apa yang saya pelajari di acara tanggal 10 Februari lalu itu.

Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan

Kroder membuka presentasinya dengan mengungkapkan bahwa ISO 26000 telah membuat dokumen yang menunjukkan kompatibilitasnya dengan Sustainable Development Goals (SDGs).  Tentu saja, hal ini sangat diperlukan, mengingat ISO 26000 memang dengan tegas menyatakan bahwa tujuan dari tanggung jawab sosial adalah pembangunan berkelanjutan.  Kini, tepatnya sejak awal 2016, SDGs adalah formalisasi dari tujuan tersebut.  Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa SDGs memang adalah tujuan dari diterapkannya ISO 26000 dalam sebuah organisasi.

Apa yang disampaikan oleh Kroder, menurut saya, sangatlah kokoh.  Ia menggambarkan SDGs sebagai tujuan, lalu menguraikan bagaimana ISO 26000 bisa berkontribusi untuk pencapaiannya lewat contoh ekonomi sirkular.  Pada diskusi itu ia nyatakan bahwa ekonomi sirkular bukan saja terkait dengan proses produksi, melainkan juga dengan lingkungan, konsumen, pengembangan masyarakat, juga urusan hubungan tata kelola dengan pemerintah.

Namun tidak demikian kesan saya terhadap dokumen ISO 26000 and SDGs yang dikeluarkan oleh ISO pada tahun 2016.  Dokumen ringkas itu masih terlalu sibuk menjelaskan soal ISO 26000 sendiri, namun sangat sedikit membahas keterkaitannya dengan SDGs.  Kalaupun ada bagian yang menggambarkan kaitan itu dalam 2 halaman bagan, saya masih mendapati bagan itu membingungkan.  Sebagai misal, saya tak paham mengapa referensi CS4 Lingkungan dengan SDG1 Penghilangan Kemiskinan digambarkan sangat kecil.  Sependek pengetahuan saya, isu lingkungan dan kemiskinan itu berkelindan erat.  Demikian juga, CS2 HAM dengan SDG6 Air Bersih dan Sanitasi, yang dianggap kecil.  Buat saya, ini tak masuk akal.

Mungkinkah gambar yang dibuat maksudnya adalah referensi yang ada di dalam ISO 26000 itu masih sedikit?  Tetapi itu tak juga masuk akal, karena hubungan antara CS4 Lingkungan dengan SDG13 Tindakan terhadap Perubahan Iklim juga digambarkan kecil.  Padahal, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menempati porsi yang besar di CS4 tersebut.  Saya kira, kaitan antara ISO 26000 dengan SDGs ini sangatlah penting dan ISO harus bekerja lebih serius untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif, agar relevansinya bisa diakui hingga 2030 kelak atau bahkan lebih jauh lagi.

ISO 26000 dan OECD Guidelines

Berikutnya adalah tentang bagaimana ISO dengan OECD melihat hubungan satu sama lain.  OECD sudah memiliki apa yang disebut sebagai OECD Guidelines for Multinational Enterprises yang diberlakukan untuk perusahaan-perusahaan dari negara-negara OECD yang beroperasi di manapun—bukan hanya yang beroperasi di negara-negara OECD saja.  Dokumen itu sudah ada sejak tahun 1976 dan pada tahun 2011 diterapkan versinya yang terbaru.  Jadi, ketika ISO 26000 muncul di penghujung 2010, antisipasi hubungan di antara kedua dokumen sudah terjadi.  MoU antara ISO dan OECD ditandatangani tahun 2008.

Hasilnya adalah sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa ISO 26000 dan OECD Guidelines sesungguhnya memiliki pendekatan tanggung jawab sosial yang sama, menguraikan persamaan dan perbedaan yang spesifik di antara keduanya, lalu menjabarkan secara terperinci bagaimana pengguna ISO 26000 dapat mengimplementasikan OECD Guidelines ini.  Menurut saya, dokumen ISO yang terbit awal 2017 ini—salah satu kontributornya adalah Kroder—jauh lebih kokoh daripada dokumen pertama.  Cakupan isi dokumen 76 halaman ini sangat informatif, tak seperti dokumen 20 halaman yang menghubungkan ISO 26000 dengan SDGs.

Penjelasan Kroder sendiri soal ini menekankan pada manfaatnya untuk kita yang berada di Indonesia.  Indonesia bukanlah negara anggota OECD, walaupun menurut dia sangat mungkin Indonesia suatu saat akan bergabung dengan OECD mengingat ukuran ekonomi yang terus membesar—kini kita adalah ekonomi nomor 16 di dunia dan akan masuk ke dalam 10 besar dalam 1 dekade ke depan.  Indonesia kini memiliki hubungan ekonomi dengan perusahaan-perusahaan dari negara-negara OECD, sehingga kita bisa menuntut mereka untuk benar-benar mematuhi OECD Guidelines.  Dengan adanya dokumen hubungan dengan ISO 26000, tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan itu bisa kita pahami dengan lebih mudah.

Memadu ISO 26000 dengan Laporan Terpadu

Tema berikutnya adalah tentang hubungan antara ISO 26000 dengan laporan terpadu, sebagaimana yang dijelaskan di dalam dokumen ISO 26000 and the International Integrated Reporting (IR) Framework Briefing.  Dokumen ini sudah dikeluarkan ISO pada tahun 2015, dan tampaknya adalah dokumen yang sangat menarik.  Sayangnya, kita hanya bisa mengakses versi ringkasannya.

Menurut Kroder, ini adalah dokumen Kuda Troja yang dimaksudkan untuk mendidik para akuntan dan investor untuk lebih paham mengenai kaitan antara kinerja keberlanjutan dengan kinerja finansial.  Laporan terpadu sendiri memang merupakan anak kandung laporan keberlanjutan, yang lebih menekankan hubungan antara strategi perusahaan, tata kelola, kinerja dan prospek keberlanjutan dengan nilai jangka pendek, menengah dan panjang perusahaan.  Laporan terpadu, menurut dokumen itu, memang adalah hasil pemikiran terpadu, dan inilah yang ditawarkan oleh ISO 26000.

ISO 26000, sama dengan laporan terpadu, berusaha untuk meruntuhkan sekat-sekat silo di dalam perusahaan, agar keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan bisa betul-betul diraih.  Namun, Kroder tak cukup banyak mengelaborasi hal ini, selain menyatakan bahwa laporan terpadu memang lebih ditujukan kepada para investor yang menginginkan bukti hubungan tanggung jawab sosial, keberlanjutan dan profitabilitas.  Kalau kita periksa berbagai literatur dan berita tentang laporan terpadu, popularitasnya memang terbatas pada pemangku kepentingan tertentu.  Di samping akuntan/CFO dan investor, para analis juga tertarik.  Tetapi di luar ketiganya, tak cukup banyak yang mengikuti perkembangan pelaporan terpadu.

Menggapai Masyarakat yang Berkelanjutan

Pembicaraan berikutnya adalah soal ISO 37101 Sustainable Development in Communities, yang merupakan dokumen manajemen sistem yang dapat disertifikasi.  Tujuan standar tersebut, sebagaimana yang bisa dibaca lewat https://www.iso.org/obp/ui/#iso:std:iso:37101:ed-1:v1:en adalah untuk mencapai keberlanjutan masyarakat, termasuk di perkotaan, dengan menyediakan petunjuk untuk: “improving the contribution of communities to sustainable development; fostering smartness and resilience in communities, while taking into account the territorial boundaries to which it applies; assessing the performance of communities in progressing towards sustainable development.

Sayangnya dokumen tersebut bersifat tertutup, sehingga saya tak bisa mencari tahu lebih jauh dari dokumen selengkapnya.  Tetapi, dari informasi yang diberikan Kroder dan 12 halaman pertama ISO 37101 yang bisa saya akses jelas terlihat bahwa ISO 26000 punya peran yang cukup kuat di dalamnya.  Tentu saja, kalau sebuah komunitas (dan ruangnya, terutama perkotaan) hendak dibuat menjadi berkelanjutan—sebagaimana tujuan dokumen tersebut—maka organisasi-organisasi yang ada di dalam masyarakat itu harus menegakkan tanggung jawab sosialnya. Secara eksplisit, dinyatakan bahwa dokumen-dokumen ISO lainnya yang terkait dengan ISO 37101 adalah ISO 14001, ISO 45001, ISO 50001, ISO 20121, ISO 14046 dan ISO 26000.

Saya mendapati bahwa pada tanggal 15 Oktober 2014, Rob Steele, Sekretaris Jenderal ISO memberikan presentasi di Singapura tentang perkembangan dokumen ini. Secara urutan alfabetikal disebutkan bahwa cakupan dari dokumen tersebut mencakup indikator-indikator Economy, Education, Energy, Environment, Finance, Fire and emergency response, Governance, Health, Recreation, Safety, Shelter, Solid waste, Telecommunications and  innovation, Transportation, Urban planning, Wastewater, serta Water and sanitation.

Dari presentasi yang lain, yang dibuat oleh Holger Robrecht dari ICLEI Europe, saya mendapati totalnya ada 100 indikator yang terdiri dari 46 indikator inti dan 54 indikator pendukung.  Presentasi tersebut dibuat tahun 2017—sayangnya tanpa tanggal yang jelas—jadi seharusnya memang berasal dari dokumen final ISO 37101.  Presentasi itu juga menginformasikan bahwa 100 indikator itu dimaksudkan untuk menangani 12 isu terpenting.  Lalu, seluruh indikator itu dimaksudkan untuk membuat kota atau daerah menjadi menarik, memiliki lingkungan yang terjaga dan membaik mutunya, memiliki daya tahan, memanfaatkan sumberdayanya secara bertanggung jawab, meningkat kohesi sosialnya, dan demikian pula kesejahteraan warganya secara total.

Pengadaan Juga Perlu Berkelanjutan

Agenda Kroder yang terakhir adalah tentang ISO 20400 Sustainable Procurement Guidance.  Sebagaimana yang jelas terbaca pada judulnya, dokumen ini bersifat panduan, seperti halnya ISO 26000, yang tidak dimaksudkan untuk sertifikasi.  Tujuan dari dokumen yang diberlakukan mulai 2017 ini adalah untuk memandu praktik pengadaan yang berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai “…the process of making purchasing decisions that meet an organization’s needs for goods and services in a way that benefits not only the organization but society as a whole, while minimizing its impact on the environment. This is achieved by ensuring that the working conditions of its suppliers’ employees are decent, the products or services purchased are sustainable, where possible, and that socio-­economic issues, such as inequality and poverty, are addressed.

Dalam brosur terkait dokumen tersebut—lagi-lagi, saya tak bisa mengakses dokumen berbayar ini, jadi tak bisa membaca seluruh isinya—disebutkan secara gamblang bahwa memang antara ISO 20400 dan ISO 26000 ada kaitan erat.  Brosur itu menyebutkan “Sustainable procurement is a key aspect of social responsibility. ISO 26000 formed the basis of ISO 20400, drawing on the same principles and core subjects of human rights, labour practices and fair business practices. As such, ISO 20400 will help individuals working in procurement to integrate the principles of social responsibility as described in ISO 26000 within the purchasing process.

Presentasi yang dibuat oleh Kroder, dan sebuah brosur yang dibuat oleh organisasinya, menunjukkan bahwa ISO 20400 memiliki tiga tahapan penting dalam implementasinya. Pertama adalah tahap sustainable ideas yang wujudnya adalah kebijakan tanggung jawab sosial.  Di tahapan ini, ISO 26000 memegang peranan penting lantaran kebijakan tersebut memang harus disandarkan pada panduan ini, plus target yang jelas termasuk yang terkait dengan tujuan pengadaan.  Tahap sustainable actions adalah yang berikutnya.  Di situ yang perlu dibuat adalah kebijakan dan srategi pengadaan berkelanjutan.  Di dalamnya perlu dicakup penilaian risiko, uji tuntas tanggung jawab sosial, pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan, penilaian kinerja, serta peningkatan kapasitas.  Terakhir, adalah tahap sustainable results yang dicapai melalui panduan bagi proses pengadaan berkelanjutan.  Di sini setiap keputusan pembelian harus memertimbangkan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan kriteria seleksi dan kontrak yang jelas.

Melongok Lagi Perkembangan dalam Negeri

Dari apa yang dipaparkan Kroder pada hari itu, juga penelusuran saya atas dokumen-dokumen yang disebutkan, saya tersadar bahwa ISO 26000 ternyata memiliki pengaruh yang benar-benar semakin kuat.  Ia menyelinap masuk dokumen-dokumen ISO yang lain, yang terkait dengan keberlanjutan masyarakat dan perkotaan, serta pengadaan yang berkelanjutan.  Ia juga masuk ke panduan OECD bagi perusahaan-perusahaan multinasional, dan menjadikan dirinya pendukung SDGs.  Bahkan pelaporan keberlanjutan dan pelaporan terpadu juga telah memanfaatkan cara pandang holistik ISO 26000 dan detail-detailnya.

Hal ini membuat saya merasakan ketinggalan yang jauh.  Sudah mendekati tahun ke delapan keberlakuannya di level global, tapi di Indonesia sendiri pengaruh ISO 26000 sangatlah terbatas.  Perusahaan, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat luas masih saja berkubang di dalam pengertian yang kebangetan sempitnya tentang apa itu tanggung jawab sosial.  Setiap kali terdengar singkatan CSR, yang terbayang di dalam benak majoritas warga bangsa ini masih saja donasi perusahaan.  CSR masih identik dengan duit, bukan proses dan kinerja keberlanjutan melalui tanggung jawab atas dampak.  Perusahaan-perusahaan masih kerap menungangi istilah CSR untuk pengelabuan citra, dan pemerintah dan masyarakat rajin menggunakan istilah CSR untuk meminta dana perusahaan untuk banyak dalih yang sesungguhnya tak bisa dibenarkan.

Pertanyaan yang menggayut di benak saya sekarang adalah: apalagi yang perlu dilakukan agar warga bangsa ini benar-benar paham atas apa yang dimaksudkan dengan tanggung jawab sosial?  Kalau itu belum bisa dirumuskan dan dilaksanakan secara massif, rasanya terlalu muluk untuk berharap tanggung jawab sosial bisa merasuk ke dalam berbagai sendi ekonomi, sosial dan lingkungan seperti yang sudah ditunjukkan oleh perkembangan mutakhir ISO 26000 ini.

–##–

* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA.

Exit mobile version