RUU Keadilan Iklim Masuk Prolegnas Prioritas

Langkah ini menjadi menjadi tonggak penting bagi perjuangan menghadirkan keadilan iklim di Indonesia.

Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Perubahan Iklim akhirnya masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 pada Selasa (19/11) dalam Rapat Paripurna DPR ke-delapan masa sidang I 2024-2025. Langkah ini menjadi menjadi tonggak penting bagi perjuangan menghadirkan keadilan iklim di Indonesia. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyambut baik langkah parlemen untuk memasukan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai prioritas.

Deputi Direktur Bidang Program ICEL, Bella Nathania, menyampaikan bahwa ini adalah respons positif atas gelombang tuntutan masyarakat yang semakin besar untuk menghadapi krisis iklim secara serius dan berkeadilan.

“Berdasarkan penelitian termutakhir, pada tahun 2024, secara global manusia mengeluarkan emisi karbon sebesar 37,4 miliar metrik ton CO2 dari industri semen dan bahan bakar fosil serta emisi GRK tembus pada angka 57,1 GtCo2E, tertinggi sepanjang waktu. Enam tahun ke depan pun diprediksikan bahwa suhu bumi diperkirakan akan terus melampaui target kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celcius. Oleh karenanya, masuknya RUU Pengelolaan Perubahan Iklim/Keadilan Iklim merupakan langkah awal yang positif dari Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menahan laju dampak perubahan iklim,” kata Bella.

Momentum ini  beriringan dengan aksi Global Day for Climate Justice  pada Senin (18/11) di mana massa aksi menuntut Pemerintah untuk segera mewujudkan keadilan iklim. Selain menuntut aksi nyata Pemerintah di COP 29, ribuan massa aksi yang terdiri dari ARUKI bersama dengan elemen masyarakat lainnya pun mendesak agar RUU Keadilan Iklim diprioritaskan. Sebab, RUU Keadilan Iklim dinilai penting untuk menjadi instrumen yang merekonstruksi ketidakadilan yang selama ini dialami.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, menekankan pentingnya menyadari bahwa perubahan iklim tidak hanya membawa dampak ekstrem bagi alam dan kehidupan manusia, tetapi juga memiliki akar permasalahan yang terkait dengan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam. “Perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir seharusnya disadari tidak hanya berdampak ekstrem pada lingkungan dan manusia, tetapi juga berakar pada ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam,” ujar Zenzi.

Zenzi menambahkan bahwa Indonesia harus menjadikan RUU ini sebagai bentuk nyata kepemimpinan global dalam mencari solusi krisis iklim. “Substansi RUU ini harus mampu menangani perubahan iklim dan berfungsi sebagai regulasi yang merekonstruksi keadilan bagi mereka yang menanggung beban penyebab dan dampak perubahan iklim. Tidak hanya mengelola perubahan iklim, tetapi juga mengembalikan keadilan yang telah dirampas,” jelasnya.

“RUU ini dapat menjadi angin segar dalam upaya menjaga bumi tetap layak huni, terutama di tengah banyaknya peraturan yang kerap memberi ruang besar bagi industri ekstraktif,” ujar Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan. Ia menekankan pentingnya proses pembahasan yang transparan dan partisipatif. “Undang-Undang seharusnya mencerminkan bagaimana rakyat ingin diperintah, bukan bagaimana pemerintah ingin memerintah. Esensinya adalah kepentingan rakyat. Oleh karena itu, RUU ini harus benar-benar mengutamakan kebutuhan rakyat akan lingkungan yang baik dan sehat, termasuk dengan memastikan terwujudnya keadilan iklim,” tambahnya.

ARUKI menegaskan bahwa masuknya RUU Keadilan Iklim dalam Prolegnas Prioritas merupakan awal dari komitmen panjang pengawalan. Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, menekankan pada pentingnya pengawalan masyarakat dalam proses legislasi RUU Keadilan Iklim untuk memastikan substansi yang diakomodasi tidak justru menjauhkan dari keadilan iklim dan meletakan perubahan iklim sebagai ajang bisnis.

“RUU Keadilan Iklim jangan sampai dibajak untuk kepentingan komodifikasi iklim semata. Proses legislasi harus dipastikan transparan dan menjawab persoalan krisis iklim yang dihadapi di tingkat tapak.” Ujar Torry

Torry juga mengingatkan bahwa proses penyusunan Naskah Akademik RUU Keadilan Iklim versi masyarakat sipil telah dilakukan melalui tiga belas kali Konsultasi Rakyat untuk mengidentifikasi realita yang dihadapi oleh masyarakat.

“Proses legislasi perlu memastikan terwujudnya partisipasi bermakna, khususnya oleh masyarakat rentan yang paling terdampak krisis iklim, sehingga RUU dapat menjadi legislasi yang menjawab berbagai pengalaman dan krisis yang dialami masyarakat,” Jelasnya.

Selanjutnya, ARUKI menekankan pada pentingnya memastikan partisipasi bermakna dalam proses pembahasan RUU Keadilan Iklim. Proses pembahasan perlu melibatkan pemangku kepentingan, diantaranya akademisi, organisasi masyarakat sipil, masyarakat terdampak, dengan mengutamakan partisipasi pada kelompok rentan yaitu perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya.

“Krisis iklim menempatkan penyandang disabilitas dalam kerentanan ganda—menghadapi bencana langsung tanpa akses memadai terhadap solusi. RUU Keadilan Iklim harus menjadi tonggak inklusi nyata, memastikan suara disabilitas tidak hanya didengar, tetapi menjadi pilar dalam merancang kebijakan yang adil, aksesibel, dan berkelanjutan. Partisipasi aktif kelompok disabilitas, dengan pengalaman atas hambatan, tantangan dan berbagai pengalaman lainnya ketika berbicara krisis lingkungan, adalah syarat mutlak untuk menjadikan RUU ini benar-benar inklusif dan relevan bagi semua.” ujar Nena Hutahaean dari Perhimpunan Jiwa Sehat.

ARUKI mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim ke depannya:

  1. ARUKI menegaskan bahwa judul dari RUU ini perlu menggambarkan titik temu antara perlindungan hak asasi manusia dan penanganan perubahan iklim. Oleh karenanya, ARUKI berpendapat bahwa judul RUU yang tepat adalah “RUU Keadilan Iklim”;
  2. RUU ini perlu untuk mengatur beberapa aspek dalam penanganan perubahan iklim dan pemenuhan keadilan iklim, meliputi: (a) prinsip keadilan iklim; (b) mitigasi perubahan iklim; (c) adaptasi perubahan iklim; (d) kehilangan dan kerusakan (loss and damage); (e) tata kelola pengendalian perubahan iklim; (f) penegakan hukum; (g) pembiayaan iklim; dan (h) partisipasi publik; dan
  3. RUU ini harus mampu menjawab tantangan sektoral yang kerap terjadi dalam penanganan perubahan iklim.
  4. ARUKI menegaskan bahwa proses perumusan RUU ini harus melibatkan partisipasi bermakna dari berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk masyarakat adat, buruh, perempuan, ragam disabilitas, pembela lingkungan, dan kelompok rentan lainnya. Partisipasi ini bukan sekadar formalitas, tetapi langkah nyata untuk memastikan kebijakan yang dirancang mencerminkan kebutuhan, pengalaman, dan aspirasi mereka yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Dengan duduk bersama, dapat terwujud RUU yang relevan dan berakar pada kenyataan hidup masyarakat.

Narahubung

  1. Debby Thalita, debby@icel.or.id, 081219198497 (Public Outreach and Resource Mobilization, ICEL)
  2. Nena Hutahaean 0878-3107-7306 (Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat)

Dokumentasi

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version