Oleh: Jalal
The 2024 United Nations Climate Change/Conference of Parties of the UNFCCC atau lebih dikenal sebagai COP29 dimulai di minggu ini. Dan, setiap kali COP terjadi, entah saya sempat menyambanginya atau tidak, saya selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dari banyak orang di Indonesia: apa konsekuensinya untuk dunia bisnis?
Kali ini pun setali tiga uang. Tetapi, alih-alih memikirkannya dengan mendadak, sudah sejak berbulan-bulan lalu terlibat dalam diskusi dengan banyak pihak, terutama dari Cambridge Institute of Sustainability Leadership (CISL) di mana saya terhubung dengan banyak peneliti di dalamnya. Untuk menjawab pertanyaan dari banyak perusahaan di seluruh dunia, di penghujung Juni lalu CISL telah meluncurkan dokumen bertajuk Finance, Climate Action Plans and Carbon Markets: What to Expect from COP29 yang dituliskan oleh para peneliti CISL di bawah pimpinan Aoife Blanchard.
Dokumen tersebut memang sejak awal ditujukan memberikan gambaran menyeluruh tentang COP29 yang sedang berlangsung di Baku, Azerbaijan mulai 11 November ini hingga dua minggu ke depan. Untuk bisa menjawab ekspektasi banyak perusahaan, dokumen ini mencakup tema-tema utama, harapan, dan tantangan yang mungkin akan membentuk diskusi, dengan fokus pada pembiayaan pengelolaan iklim, peran komitmen nasional, strategi adaptasi, dan mekanisme pasar karbon. Di sini, saya ringkaskan apa yang menjadi poin-poin utamanya sekaligus memberi komentar untuk perusahaan di Indonesia.
COP adalah pertemuan tahunan iklim PBB yang melibatkan hampir 200 negara untuk membahas dan merundingkan tindakan penanggulangan perubahan iklim. COP29 menjadi platform penting untuk memajukan tujuan yang telah ditetapkan oleh COP sebelumnya, seperti Persetujuan Paris, yang bertujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5°C di tahun 2100. Dalam hal ini, COP29 menjadi penting untuk ditandai, karena sesungguhnya terjadi pada saat target tersebut sudah dilampaui. Walaupun masih mungkin mengalami penurunan sementara, terlampauinya batas tersebut di tahun 2024 tetap memiliki makna yang signifikan, termasuk untuk perusahaan, yaitu sebagai penanda diperlukannya usaha yang jauh lebih bersungguh-sungguh daripada yang sudah ditunjukkan hingga sekarang.
Empat Isu Terbesar
Fokus utama COP29 sendiri sangat perlu untuk diperhatikan. Dalam agenda COP29 disebutkan prioritas beberapa isu besar, dan yang mungkin akan paling berpengaruh terhadap bisnis itu antara lain: Pertama, Tujuan Pembiayaan Iklim Baru (New Climate Finance Goals), yaitu menetapkan target pembiayaan baru yang melampaui komitmen tahunan saat ini sebesar USD100 miliar untuk membantu negara-negara berkembang. Bagi mereka yang kritis atau sinis, pertanyaan yang penting diajukan adalah bagaimana target tersebut bisa disepakati dan kemudian ditegakkan, bila target yang lama sendiri tak kunjung ditepati oleh negara-negara maju.
Kedua, Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDCs), di mana negara-negara diharapkan memerbarui NDC mereka dengan target yang lebih ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga tahun 2035. Bagaimanapun, target yang disetorkan hingga sekarang oleh negara-negara yang tergabung dalam Persetujuan Paris, masih jauh dari target kenaikan suhu maksimal yang disarankan sains.
Ketiga, Adaptasi, yaitu mengembangkan rencana aksi untuk membantu negara-negara beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan dan tak terbalikkan. Bagaimanapun, banyak di antara negeri dan wilayah yang memiliki kerentanan tinggi tidaklah memiliki sumberdaya yang memadai untuk menyelamatkan warganya. Padahal, banyak di antara mereka, kalau bukan keseleruhannya, memiliki emisi yang lebih kecil dibandingkan rerata global. Maka, demi keadilan, pendanaan untuk adaptasi sangatlah penting untuk diupayakan kesepakatan dan penegakannya.
Dan, terakhir, soal Pasar Karbon (Article 6), yaitu menyelesaikan aturan perdagangan karbon internasional, yang dapat membantu negara-negara mencapai tujuan iklim mereka melalui mekanisme Kerjasama yang diperantarai oleh mekanisme pasar. Berita awal yang diperoleh menunjukkan bahwa negara-negara yang hadir menyatakan dukungan untuk penyelesaian pasar karbon global ini, namun terdapat kekhawatiran dari kondisi politik di Amerika Serikat lantaran terpilihnya Donald Trump yang adalah pendusta iklim.
Negosiasi di COP29 sejak awal diramalkan akan berjalan dengan rumit. Namun, perkembangan ketegangan politik global saat ini, terutama dengan meningkatnya populisme dan agenda nasionalis, membuat kerumitannya meningkat. Hasil pemilihan presiden AS, yang berlangsung tepat sebelum KTT ini, sangat memengaruhi diskusi, terutama mengenai sikap AS terhadap pembiayaan iklim dan kesepakatan internasional yang—walaupun Trump baru akan berkuasa secara resmi di penghujung Januari 2025—jelas sudah memengaruhi moral negara-negara yang hadir. Membayangkan Trump akan bersetia pada janji pemerintah AS sebelumnya sangatlah sulit, kalau bukan mustahil, lantaran kita tahu persis bahwa oligarkhi fosil adalah salah satu kategori donor terbesarnya.
Dari Pembiayaan hingga Pasar Karbon
Salah satu tujuan utama COP29 adalah menetapkan “Tujuan Kuantitatif Kolektif Baru” (New Collective Quantified Goal/NCQG) untuk pembiayaan iklim, yang melanjutkan target USD100 miliar yang ditetapkan pada 2009. Target baru ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang yang membutuhkan dukungan finansial besar untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Menurut dokumen CISL, ada 3 hal yang perlu diperhatikan di sini, yaitu kuantitas dan kualitas pembiayaan. Ada seruan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas pembiayaan iklim, dengan usulan bahwa target baru seharusnya mencapai triliunan dolar setiap tahun, sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh Masyarakat global. Kemudian, keterlibatan sektor swasta. Dokumen ini menekankan peran pembiayaan swasta, mengingat pendanaan publik saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan. Pelibatan perusahaan dan investor akan sangat penting untuk mengumpulkan dana yang diperlukan. Tetapi, hal ketiga yang disadari adalah tantangan yang masih belum teratasi. Hingga sekarang masih terdapat perbedaan pendapat yang tajam mengenai besaran target keuangan, distribusinya di berbagai jenis projek (mitigasi, adaptasi, juga loss and damage), serta transparansi mekanisme pendanaan dan pelaporannya.
NDC, yang merupakan dokumen rencana aksi iklim dari masing-masing negara, menguraikan target mereka untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap dampak iklim. Pengajuan pembaruan NDC pada awal tahun 2025 merupakan momen penting untuk meningkatkan ambisi iklim global. COP29 terutama bermanfaat untuk menegaskan pentingnya negara-negara untuk membuat target yang lebih kuat dibandingkan yang ada sekarang. Target yang ambisius, yaitu yang selaras dengan upaya membatasi pemanasan 1,5 – 2°C dan mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions, NZE) pada tahun 2050, seharusnya tetap menjadi pemandu yang ditaati. Kalau sekarang janji yang ada masih jauh dari target sesuai sains itu, negara-negara perlu bersungguh-sungguh memerbaiki NDC-nya.
Namun demikian, yang juga tak kalah penting dari target pembatasan kenaikan suhu secara umum, adalah komitmen sektoral. Negara-negara didorong untuk menetapkan tujuan spesifik untuk sektor-sektor dengan emisi tinggi seperti energi, transportasi, dan pertanian, lalu kemudian memanfaatkannya untuk mendorong penurunan emisi di perusahaan-perusahaan terkait melalui kebijakan dan regulasi yang sesuai.
Di sisi lain, tantangan finansial dalam implementasi NDC juga perlu menjadi perhatian. Banyak negara, terutama negara-negara berkembang jelas mengalami kesulitan dalam melaksanakan NDC mereka karena keterbatasan finansial. Sehingga, diperlukan dukungan lebih dari negara maju dengan jauh lebih serius dibandingkan yang sekarang sudah ditunjukkan. Partisipasi lembaga jasa keuangan dan perusahaan untuk menutup selisih pembiayaan juga menjadi sangat penting, dan karenanya perbaikan NDC yang disampaikan di tahun mendatang perlu direkomendasikan untuk menjadi lebih jelas dalam soal mengatasi tantangan finansial ini.
Strategi adaptasi Global Goal on Adaptation (GGA) adalah isu yang juga sangat penting diperhatikan. Adaptasi sebetulnya komponen yang sejak awal penting, namun kini menjadi krusial seiring dengan semakin parahnya dampak perubahan iklim di seluruh dunia. UAE Framework for Global Climate Resilience, yang diadopsi pada COP28 lalu, telah memberikan dasar untuk meningkatkan kapasitas adaptasi negara-negara. Namun, sangat penting untuk dipastikan bahwa kerangka tersebut benar-benar ditindaklanjuti.
Untuk memastikannya, dokumen CISL menyatakan tiga hal penting: Pertama, Rencana Adaptasi Nasional (National Adaptation Plan/NAP), di mana negara-negara didesak untuk mengembangkan dan mulai menerapkan NAPs pada tahun 2025, dengan fokus pada sektor-sektor seperti air, pangan, kesehatan, dan infrastruktur untuk mengurangi kerentanan. Kedua, pengukuran kemajuan, di mana COP29 perlu mengembangkan indikator yang jelas untuk melacak kemajuan adaptasi, karena kurangnya target spesifik seperti kondisi hingga sekarang telah menghambat implementasi yang efektif. Ketiga, peran sektor swasta, di mana perusahaan-perusahaan dapat melakukan dan mendukung adaptasi melalui investasi dalam infrastruktur yang tangguh dan dengan mengintegrasikan penilaian risiko iklim dalam operasi mereka.
Artikel 6 dari Perjanjian Paris memungkinkan negara-negara untuk berkolaborasi dalam upaya pengurangan emisi, termasuk melalui mekanisme perdagangan karbon. Namun, perdebatan mengenai aturan dan integritas kredit karbon telah menghambat kemajuan. Menurut dokumen CISL, yang perlu diperhatikan adalah mekanisme yang diatur pada Pasal 6.2 dan 6.4 yang memungkinkan perdagangan kredit karbon, yang dapat membantu negara-negara mencapai tujuan iklim mereka dengan lebih hemat biaya. Namun, tantangan berupa integritas kredit karbon dan risiko penghitungan ganda dalam pengurangan emisi masih menjadi isu utama. Kurangnya kesepakatan pada COP28 menyoroti perlunya pedoman yang lebih ketat untuk memastikan pasar karbon benar-benar berkontribusi terhadap pengurangan emisi global. Salah satu kemajuan paling penting yang sudah diumumkan di awal COP29 ini adalah tercapainya consensus untuk Pasal 6.4 ini.
Peran Sektor Swasta
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa sektor swasta adalah pemain penting dalam mencapai tujuan iklim yang bakal ditetapkan di penghujung COP29. Bisnis didorong untuk mengambil komitmen iklim yang lebih ambisius, berinvestasi dalam teknologi bersih, dan mendorong kebijakan iklim yang lebih kuat. Dengan memimpin penurunan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan energi terbarukan, perusahaan dapat menggerakkan transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Dokumen CISL tidak menguraikan dengan detail apa saja peran sektor swasta yang bakal berubah setelah COP29. Namun dari hasil pembacaan secara cepat atas beragam komentar pakar dan organisasi kenamaan sejak minggu lalu, dengan menanggung kemungkinan penyederhanaan dan optimisme yang berlebihan, saya bisa meringkaskannya ke dalam tabel berikut. Saya mendeteksi ada enam aspek yang terus-menerus muncul, dan untuk memudahkannya sebagai contoh, maka keenam aspek itu saya bayangkan dampaknya untuk sektor energi dan sektor berbasis lahan.
Aspek
|
Dampak pada Sektor Energi | Dampak pada Sektor
Berbasis Lahan |
1. Peningkatan Target NDC (Nationally Determined Contributions)
Pengetatan target pengurangan emisi global akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan komitmen dan aksi iklim mereka, meningkatkan tekanan untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE).
|
· Percepatan dekarbonisasi melalui investasi dalam energi terbarukan dan teknologi rendah karbon.
· Peningkatan biaya terkait dengan peralihan dari bahan bakar fosil ke energi hijau. |
· Tekanan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan.
· Diperlukan peningkatan praktik pertanian berkelanjutan dan restorasi ekosistem. |
2. Penguatan Mekanisme Pasar Karbon Global
Menyepakati mekanisme pasar karbon global, dan meningkatkan pengawasan dan standar pasar karbon yang diakui secara internasional. Bisnis perlu memanfaatkan peluang dari pasar karbon untuk mencapai target NZE mereka.
|
Kewajiban bagi perusahaan minyak dan gas untuk mengurangi emisi Scope 1, 2, dan 3 melalui pembelian kredit karbon atau offset yang berkualitas tinggi. | Potensi untuk mendapatkan pendapatan tambahan melalui penjualan kredit karbon dari projek-projek NbS, seperti REDD+ dan konservasi lahan. |
3. Regulasi Baru tentang Emisi Metana
Regulasi metana yang lebih ketat dapat diperkenalkan untuk mengurangi emisi dari sektor industri. |
· Perusahaan energi, khususnya migas dan batubara, akan menghadapi persyaratan pengurangan emisi metana yang lebih ketat.
· Peningkatan investasi dalam teknologi pengurangan metana, seperti pemantauan emisi dan sistem penangkapan metana.
|
Perusahaan pertanian mungkin harus mengadopsi praktik yang lebih ramah lingkungan dalam mengelola metana dari kegiatan peternakan dan pengelolaan limbah. |
4. Dukungan untuk Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition)
Pemerintah mungkin meningkatkan pendanaan dan dukungan untuk transisi energi yang adil, mempercepat pergeseran dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan sambil mengurangi dampak sosial negatifnya. |
· Perusahaan energi diharapkan meningkatkan investasi dalam energi terbarukan, baterai, dan infrastruktur listrik.
· Perlunya pengelolaan dampak sosial dari transisi ini, termasuk tenaga kerja yang terpengaruh oleh penutupan tambang atau pembangkit berbahan bakar fosil.
|
· Peluang bagi perusahaan yang menawarkan solusi energi terbarukan untuk pedesaan dan kawasan yang belum terjangkau oleh listrik.
· Potensi peningkatan tuntutan masyarakat terhadap perusahaan yang beroperasi di wilayah sensitif ekosistem. |
5. Penekanan pada Pendanaan Iklim untuk Adaptasi
Perusahaan mungkin menghadapi lebih banyak tekanan dari investor untuk meningkatkan transparansi dan laporan risiko iklim serta strategi adaptasi. |
Investasi yang lebih besar dalam teknologi energi yang tangguh terhadap perubahan iklim, seperti energi surya yang terdesentralisasi dan infrastruktur kelistrikan yang lebih tahan cuaca ekstrem. | · Perusahaan di sektor berbasis lahan mungkin perlu beradaptasi dengan perubahan pola cuaca dan meningkatkan upaya konservasi sebagai bentuk adaptasi.
· Investasi dalam ketahanan pangan dan pengelolaan sumberdaya air yang lebih baik. |
6. Perubahan Standar Pengungkapan Risiko Iklim dan Alam (TCFD/TNFD)
Diharapkan adanya peningkatan kepatuhan terhadap standar pengungkapan risiko iklim dan alam yang lebih ketat seperti TCFD dan TNFD. Bisnis harus memerbaiki strategi manajemen risiko mereka dan menunjukkan kaitannya dengan kinerja finansial.
|
Perusahaan energi harus lebih transparen dalam mengungkapkan risiko iklim fisik dan transisi, termasuk risiko aset terdamparnya, serta kaitannya dengan kinerja finansial. | · Sektor berbasis lahan perlu mengungkapkan risiko terkait penggunaan lahan, perubahan iklim, dan degradasi ekosistem.
· Peningkatan peran dalam restorasi dan konservasi sebagai bagian dari strategi mitigasi. |
COP29 dianggap sebagai momen penting untuk memajukan aksi iklim global, yang kemajuannya tidaklah sepesat yang diharapkan oleh mereka yang benar-benar memahami ancaman eksistensial dari krisis iklim. COP kali ini merupakan kesempatan untuk menetapkan komitmen finansial yang lebih kuat, mendorong NDC yang lebih ambisius, dan menyempurnakan kerangka kerja untuk adaptasi dan pasar karbon.
Namun, kesuksesannya ini akan bergantung pada kemampuan delegasi dari seluruh penjuru dunia untuk menggusur pesimisme lantaran bakal kembalinya Trump ke Gedung Putih, mengatasi beragam hambatan politik, mengamankan kesepakatan yang kuat dalam pembiayaan iklim, dan memastikan partisipasi aktif dari pemerintah maupun sektor swasta ke arah kebijakan dan praktik yang lebih ambisius. Bagi saya, COP memang tidak dapat menggantikan kebijakan dan regulasi nasional yang lebih mengikat, namun forum ini tetap penting untuk memberi masukan penting untuk kebijakan dan regulasi di tingkat nasional, membangun konsensus global dan mengkoordinasikan upaya dalam mengatasi krisis iklim yang semakin nyata.
–##–