Agar ESG Tak Cuma Jadi Keriuhan Sesaat

Jalal menyelisik prestasi BUMN Indonesia, PT Pertamina (Persero), yang meraih peringkat ke-2 untuk subindustri migas terintegrasi dan peringkat ke-7 untuk industri migas, versi lembaga pemeringkat ESG, Sustainalytics. 

Oleh: Jalal

Akhir minggu ketiga Oktober 2022 Indonesia diberi kabar gembira.  Ketika kebanyakan orang berpikir bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia tak bisa unjuk gigi dalam urusan ESG (Environmental, Social, and Governance) di level global, tetiba kita mendapat kabar bahwa BUMN Indonesia, PT Pertamina (Persero), menurut lembaga pemeringkat ESG Sustainalytics, berada pada peringkat ke-2 untuk subindustri migas (minyak dan gas) terintegrasi dan peringkat ke-7 untuk industri migas.  Siapapun yang memerhatikan perkembangan peringkat ESG di Indonesia tahu bahwa dari tahun ke tahun Pertamina memang mengalami kemajuan.  Tetapi, mungkin tak ada yang menyangka bahwa menjelang akhir tahun ini Pertamina mendapatkan nilai 22,1 dengan peringkat risiko Medium—nilai yang jauh lebih baik dibandingkan para raksasa global di industri ini.

Bagaimana ‘membaca’ kemajuan ini dengan berimbang, menempatkannya dalam wacana keberlanjutan perusahaan dan dunia, serta terus mendorong perusahaan di Indonesia—termasuk Pertamina—agar bisa memanfaatkan gelombang pasang ESG ini untuk mendorong peningkatan kinerja keberlanjutan?  Tiga pertanyaan itu yang akan saya coba diskusikan dalam artikel ini.

Kembali ke Tujuan Bisnis

The purpose of business is to produce profitable solutions to the problems of people and planet, and not to profit from producing problems for people and planet.”  Demikian pernyataan Profesor Colin Mayer dalam buku Prosperity: Better Business Makes the Greater Good yang terbit di tahun 2018.  Sejak itu, banyak sekali pakar dan praktisi yang mengikuti pendapat tersebut.  Popularitasnya sangat tinggi, sehingga pada tahun 2021 diterbitkanlah bunga rampai Putting Purpose into Practice: The Economics of Mutuality, disunting oleh Colin Mayer dan Bruno Roche, dan yang menjelaskan bagaimana tujuan perusahaan yang demikian bisa diwujudkan lewat praktik-praktik yang nyata.

Tentu, buat banyak pihak definisi tersebut mengejutkan.  Kita sudah terbiasa mendengar bahwa tujuan bisnis adalah meningkatkan, bahkan memaksimalkan, keuntungan untuk pemilik modalnya.  Sebagai pengajar di sekolah bisnis pertanyaan tentang tujuan bisnis ini selalu saya tanyakan di menit-menit awal kuliah yang saya berikan.  Dan, keyakinan yang berasal dari sekadar membaca judul artikel Milton Friedman, dan disemen oleh film Wall Street, selalu menjadi menjadi koor jawaban yang saya dengar.  Demikian juga, kalau saya berbicara di seminar-seminar tentang bisnis.

Perusahaan memang bukan lembaga sosial atau pemerintah, sehingga dalam memberikan solusi atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan lingkungan, ia harus melakukannya melalui cara-cara yang memberi keuntungan kepada pemilik modalnya.  Ia juga diharapkan membawa manfaat kepada seluruh pemangku kepentingan yang terkait di sepanjang rantai bisnisnya.  Memberi manfaat optimal kepada seluruh pemangku kepentingan adalah tujuan perusahaan modern, dan kerap disebut sebagai Kapitalisme Pemangku Kepentingan atau Stakeholder Capitalism.  Jadi, tak ada yang salah dengan mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal, namun kalau itu dilakukan dengan cara-cara yang mengorbankan pemangku kepentingan lainnya, itu jelas salah.

Untuk mencapai manfaat optimal itu berarti perusahaan selalu perlu untuk memertimbangkan beragam kepentingan dalam setiap keputusannya.  Perusahaan juga selalu perlu menimbang dampak ekonomi, sosial dan lingkungan—ini adalah tiga dimensi keberlanjutan—dari setiap tindakannya.  Demikian juga, perusahaan selalu perlu menimbang kepentingan jangka pendek, menengah dan panjang.  Dalam perspektif yang lebih sempit dan berjangka pendek, segala hal tersebut seperti trade-off, namun dalam jangka panjang, sangat terang benderang bahwa keberlanjutan adalah strategi perusahaan yang unggul.

Sampai di sini kita bisa melakukan pengecekan terhadap Pertamina, juga perusahaan-perusahaan lainnya di Indonesia, apakah tujuan mereka sudah mencerminkan tujuan perusahaan modern sebagaimana yang disarankan oleh Mayer?  Apakah seluruh pemangku kepentingan sudah benar-benar menjadi pihak yang tidak akan dikorbankan demi keuntungan perusahaan, dan apakah perusahaan memang beroperasi dengan perspektif jangka panjang?

Dalam kasus Pertamina, website-nya memberikan petunjuk yang menarik.  Di halaman depan mereka menyatakan bahwa tujuan perusahaan adalah “Mewujudkan Kedaulatan Energi hingga Pelosok Negeri”, yang kemudian disusul dengan pernyataan “Pertamina berfokus pada upaya-upaya untuk memastikan ketersediaan energi nasional yang inklusif berdasarkan prinsip availability, accessibility, affordability, acceptability dan sustainability.” Selanjutnya, bisa dibaca pernyataan “Pertamina menjalankan bisnis energi yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, termasuk pengembangan energi terbarukan untuk masa depan.”

Buat mereka yang tak mengikuti secara lekat perkembangan di industri ekstraktif, khususnya migas, bisa jadi akan terkaget-kaget karena Pertamina ternyata sama sekali tidak menyebutkan minyak dan gas dalam pernyataan tujuan bisnisnya itu.  Namun, sesungguhnya hal ini sudah terjadi lebih dari satu dekade terakhir.  Perusahaan-perusahaan migas paling progresif telah meredefinisi tujuannya menjadi perusahaan energi, di mana energi terbarukan malah yang menjadi penekanan.  Mengapa?  Karena dalam jangka panjang memang energi fosil seperti minyak dan gas akan terus mengalami penyusutan dalam pemanfaatan.  Jadi, apa yang ditunjukkan Pertamina itu adalah sebuah keniscayaan di industri ini.

Namun demikian, tentu kita tak bisa sekadar membaca apa yang tertulis di halaman depan website saja.  Saya mengundang pembaca tulisan ini untuk melihat lebih jauh bagaimana Pertamina mewujudkan tujuan tersebut.  Apakah, misalnya, Pertamina memiliki rencana detail untuk dekarbonisasinya, sesuai dengan petunjuk sains yang ditegaskan dalam Persetujuan Paris?  Bagaimana rencana Pertamina untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dalam portofolionya dalam 5, 10, 20 tahun dan seterusnya?  Apakah dalam transisi energi itu Pertamina telah memerhitungkan dan mengelola dampaknya terhadap pekerja, masyarakat, dan pemerintah daerah yang selama ini menggantungkan diri pada hasil energi fosil?  Pertanyaan-pertanyaan itu—di antara banyak pertanyaan lainnya—perlu kita ajukan untuk menguji kesungguhan Pertamina, juga perusahaan migas lainnya.

ESG Versus Keberlanjutan

Beragam penelitian skala raksasa telah membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki strategi keberlanjutan dan mengeksekusinya dengan baik merupakan perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja keuangan lebih baik dibandingkan dengan rerata.  Strategi keberlanjutan dan implementasinya itu selalu dimulai dari uji materialitas—yaitu upaya untuk memahami apa saja isu-isu keberlanjutan yang relevan untuk perusahaan dan relevan untuk pemangku kepentingan.  Hal ini dilakukan untuk memfokuskan upaya, sehingga sumberdaya perusahaan bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai kinerja keberlanjutan, termasuk kinerja keuangan, tertinggi yang mungkin.

Karena bukti-bukti hubungan yang positif tersebut, industri jasa keuangan—terutama bank dan perusahaan investasi—mulai memertimbangkan isu-isu keberlanjutan dalam mengambil keputusan investasi.  Pendekatan ini, mulai tahun 2004, disebut sebagai Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam dokumen PBB berjudul Who Cares Wins.  Dari dokumen tersebut kita bisa memelajari bahwa ESG sesungguhnya lebih sempit daripada keberlanjutan, terutama karena ia hanya menimbang isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola yang material terhadap kinerja keuangan perusahaan.  Tentu, ada dampak keberlanjutannya, namun lebih terbatas dan tidak langsung.  Hal ini sangat penting untuk ditekankan, karena sekarang terdapat kecenderungan untuk menyamakan saja antara ESG dengan keberlanjutan perusahaan.

ESG, selain sebagai proses pengambilan keputusan investasi, juga bisa menjadi produk.  Perusahaan-perusahaan jasa keuangan, juga promotor keuangan berkelanjutan lainnya, kini telah banyak membuat indeks ESG dengan beragam metode dan menjualnya kepada investor perorangan maupun perusahaan yang menginginkan manajemen risiko yang lebih baik, pilihan sektor yang lebih berkelanjutan, dengan kinerja keuangan yang minimal setara, kalau bukan malahan lebih tinggi, dengan indeks-indeks non-ESG.

Dalam konteks inilah nilai atau peringkat ESG yang diperoleh Pertamina dari Sustainalytics perlu dipahami.  Sustainalytics adalah salah satu lembaga pemeringkatan ESG yang terkemuka di level global, sehingga nilai dan peringkat yang dihasilkan oleh lembaga ini selalu mendapatkan perhatian yang sangat tinggi dari lembaga jasa keuangan dan pemangku kepentingannya.  Pertamina jelas menjadi sorotan di level global karena ditempatkan di posisi yang terhormat itu.  Apalagi, kemajuga yang ditunjukkan sangatlah cepat.

Namun demikian, penting juga untuk dipahami bahwa penilaian dan pemeringkatan ESG ini masih terhitung baru.  Masing-masing lembaga penilai/pemeringkat, dan juga lembaga jasa keuangan, memiliki metodologi yang berbeda-beda.  Walaupun ada kesepakatan soal E, S dan G dalam penilaian dan pemeringkatan, namun apa saja yang masuk ke dalam cakupan masing-masing huruf itu, bagaimana datanya dikumpulkan dan dinilai, serta bagaimana bobot masing-masing, sangatlah berbeda-beda.  Hal ini disebut sebagai fenomena aggregate confusion dalam ESG.  Sehingga, sangatlah penting untuk membandingkan bagaimana penilaian dari lembaga-lembaga terkemuka lainnya.  Sayangnya, dalam kasus Pertamina, saya menemukan bahwa MSCI, Refinitiv, dan S&P Global—tiga lembaga terkemuka lainnya—sama sekali tidak menilai dan/atau memeringkat ESG Pertamina.  Dengan demikian, saya tak bisa tahu apakah dalam metodologi yang berbeda Pertamina juga mendapatkan posisi yang terhormat.

Agar bisa masuk ke dalam tempat yang terhormat dalam beragam indeks ESG, perusahaan-perusahaan perlu memiliki kebijakan, strategi, program, dan tentu saja kinerja ESG yang tinggi.  Perusahaan-perusahaan juga perlu membuat komunikasi, terutama pelaporan, yang disandarkan pada data stewardship yang handal, serta menghindari greenwashing dan greenwishing dalam komunikasinya.  Untuk ini, kita sangat perlu untuk menjaga skeptisisme yang sehat.  Setiap perusahaan yang mendapatkan nilai dan/atau peringkat ESG yang tinggi perlu diperiksa secara saksama seluruh komponen itu.  Alih-alih langsung percaya sepenuhnya pada satu penilaian/pemeringkatan atau langsung tak percaya apapun terkait ESG—kini disebut ESG-bashing—riset yang serius selalu perlu dilakukan.

Bagaimanapun, ESG sangatlah menekankan pada keterhandalan data kuantitatif yang dikeluarkan oleh perusahaan.  Bila perusahaan tak bisa membuktikan kebenaran klaimnya, maka mereka bisa dikeluarkan dari indeks ESG, yang dalam berbagai penelitian dampaknya sangat negatif bagi kinerja harga saham perusahaan, bila perusahaan itu melantai di bursa.

Keniscayaan Sustainability Mindset

Oleh karena itu, perkembangan ESG meniscayakan peran manajemen puncak yang jauh lebih serius dalam membuat kebijakan, strategi, dan memastikan sumberdaya dan implementasi yang mengarahkan perusahaan kepada keberlanjutan—bukan sekadar demi nilai/peringkat ESG yang utamanya menjadi domain pemangku kepentingan industri jasa keuangan.  Manajemen puncak perlu mengasah dirinya untuk memiliki kepakaran dan kefasihan dalam isu-isu ESG tertentu dan mengaitkannya dengan tujuan keberlanjutan perusahaan, membuat struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan keberlanjutan, hingga membuat sistem insentif yang memerhitungkan dengan saksama kinerja ESG di level individu pekerja, bagian, hingga perusahaan secara keseluruhan.

Keseluruhannya akan menjadi lebih mudah terwujud apabila di dalam seluruh bagian perusahaan dikembangkan sustainability mindset yang pengertiannya menurut guru keberlanjutan Isabel Rimanoczy adalah “a way of thinking and being that results from a broad understanding of the ecosystem’s manifestations, from social sensitivity, as well as an introspective focus on one’s personal values and higher self and finds its expression in actions for the greater good of the whole.”  Komponennya—sebagaimana yang diterakan Rimanoczy dalam The Sustainability Mindset Principles: A Guide to Developing a Mindset for a Better World yang terbit tahun lalu—adalah ecological worldview, systems thinking, emotional intelligence, dan spiritual intelligence.

Prinsip-prinsip itu, bila ditegakkan secara konsisten, akan membuat seluruh pekerja dari lapisan teratas hingga terbawah memiliki pemahaman atas apa saja kemungkinan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari setiap keputusan dan tindakannya; membuat mereka semua selalu berpikir dalam jangka yang lebih panjang; mencari solusi kreatif dan inovatif untuk menghindari trade-off di antara berbagai kepentingan; dan memiliki tujuan hidup mulia yang diimplementasikan dalam kehidupan di dalam maupun luar perusahaan.  Para pakar seperti Hubert Joly memang sangat menekankan pentingnya kesesuaian antara tujuan perusahaan dengan tujuan hidup para pekerjanya.

Menyebarkan dan mempraktikkan sustainability mindset di seluruh lapisan pekerja kiranya adalah keniscayaan bagi perusahaan yang ingin terus meraih keuntungan melalui upaya menebar manfaat dan bukan membagi mudarat.  Dengan demikian, ketika kita hendak melihat apakah sebuah perusahaan memang menegakkan keberlanjutan secara sungguh-sungguh, kita juga perlu memeriksa tentang pemahaman dan praktik keberlanjutan di seluruh pekerjanya.  Kalau hanya sebagian sangat kecil yang memahami dan menegakkanya—misalnya mereka yang bertanggung jawab pada pengelolaan lingkungan dan sosial—maka perusahaan itu patut diduga belum memiliki fondasi yang kuat untuk mencapai keberlanjutannya.

ESG, yang sekarang sedang sangat diminati di seluruh dunia, suatu saat akan menjadi kenormalan baru di industri jasa keuangan.  Perusahaan-perusahaan yang ingin semakin mendekatkan diri pada keberlanjutan bisa menunggangi gelombang pasang ini, dengan melengkapi dirinya dengan berbagai hal yang telah saya sebutkan di atas.  Saya memrediksikan, gerakan keberlanjutan di industri jasa keuangan, termasuk di Indonesia, akan bisa menjadi jauh lebih progresif lagi dalam satu dekade ke depan dibandingkan ESG yang kita saksikan sekarang—karena keniscayaan tantangan keberlanjutan yang kita hadapi di level global.  Dan, hanya perusahaan yang menyiapkan diri dengan sustainability mindset saja yang akan bisa menunggangi gelombang besar keuangan berkelanjutan berikutnya.

–##–

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version