Dari konflik inilah lahir sebuah gerakan perlawanan, dengan perempuan sebagai penopang utama. Melalui Kelompok Perempuan Pulau Pari, mereka berdiri sebagai pagar betis di garda depan, melawan penggusuran, sekaligus menggerakkan ekonomi warga agar tetap bertahan di tanah leluhur mereka.
Dari Konflik ke Solidaritas
Ketegangan semakin terasa ketika klaim perusahaan atas lahan Pulau Pari berhadapan langsung dengan penolakan warga, hingga melibatkan aparat. Beberapa tokoh warga bahkan sempat mengalami kriminalisasi dalam konflik ini, hingga harus berhadapan dengan proses hukum yang melelahkan.
Ati Sukamti, salah satu perempuan yang sejak awal aktif di kelompok warga, mengingat jelas momen mencekam itu. “Kami perempuan berdiri di pagar depan, menghadang aparat yang ingin mengukur lahan. Ada rasa takut, tapi kalau kami diam saja, pulau ini bisa hilang,” ujarnya.
Dari ketegangan itulah lahir Kelompok Perempuan Pulau Pari. Mereka sadar, hanya dengan bersatu mereka bisa melawan.
Pagar Betis, Kebun, dan Dapur
Mereka juga membuka jalan ke wilayah-wilayah yang hendak diklaim perusahaan dengan cara yang arif: menanami lahan kosong, membuka kebun, dan menjaga pantai agar tetap hidup sebagai ruang publik.
Di dapur, kreativitas mereka memegang peranan penting yang sama dengan perjuangan di garis depan. Rumput laut diolah menjadi dodol dan manisan (tangkue), ikan asin dijadikan hasil olahan andalan, hingga makanan tradisional dari bahan lokal seperti blencong (keong sawah) dan umbi kecundang (suweg) yang bisa dijadikan obat tradisional sekaligus pangan alternatif.
“Kami ingin menambah penghasilan, tapi juga menjaga agar pulau ini tetap milik warga. Dengan mengolah hasil laut dan tanaman, ada bukti nyata kalau kita memang hidup dan bekerja di sini,” kata Ati, yang kini juga aktif sebagai Bendahara Kelompok Perempuan Pulau Pari.
Kesadaran untuk mandiri membuat kelompok perempuan ini juga mendirikan koperasi. Dengan simpanan bulanan Rp15 ribu per bulan, lambat laun punya modal sekitar Rp5 juta—plus doa, seperti kata mereka—usaha bersama pun dijalankan.
Kini koperasi itu juga menjadi wadah simpan pinjam, sebagai sarana menguatkan solidaritas. Anggota bisa meminjam bergiliran, mencicil setiap minggunya, dengan bunga kecil agar ada tanggung jawab bersama. Dari hasil penjualan ikan asin hingga produk olahan rumput laut, koperasi memutar modal agar kelompok tetap bertahan.
“Kurang lebih ada 50 perempuan yang terlibat. Kami ini sukarelawan. Ingatnya cuma satu: bagaimana Pulau Pari tidak dikuasai orang asing,” tegas Ati.
Harapan yang Tumbuh Bersama
Kelompok perempuan Pulau Pari tidak bekerja sendirian. Mereka mendapat dukungan dari jaringan organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap isu lingkungan dan kemanusiaan. Namun bagi mereka, dukungan terpenting adalah keberlanjutan perjuangan—agar pulau tetap lestari, laut tetap bisa dikelola, dan manusia yang hidup di dalamnya tetap bahagia.
Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, menegaskan bahwa tujuan utama perjuangan warga adalah keselamatan laut sekaligus keselamatan manusia. “Kalau laut dikelola dengan baik, kita pun bisa hidup selamat dan bahagia,” ujarnya. “Nilai-nilai agama sejatinya tidak pernah mengajarkan untuk merusak laut demi kepentingan segelintir orang, melainkan menjaga agar laut memberi manfaat bagi semua,” tegas Hening.
Menjaga Pulau, Menjaga Kehidupan
Menurut Parid Ridwanuddin, Campaign Manager GreenFaith Indonesia, kelompok perempuan Pulau Pari memainkan tiga peran penting dalam mempertahankan ruang hidup mereka. “Pertama, mereka menjadi penjaga kedaulatan pulau, dengan berani berdiri sebagai pagar betis menghadapi ancaman penggusuran. Kedua, mereka membuka jalan dan mengelola lahan yang hendak diklaim perusahaan, dengan menanami kebun dan menjaga akses ke pantai timur Pulau Pari agar tetap bermanfaat bagi warga. Ketiga, mereka juga menggerakkan ekonomi lokal melalui pemanfaatan sumber daya alam sekitar,” terangnya.
Kisah perempuan Pulau Pari adalah kisah tentang keberanian melawan ketidakadilan, sekaligus tentang kebijaksanaan menjaga kehidupan. Bagi mereka, laut adalah rumah, identitas, dan masa depan anak-anak mereka. Dan selama perempuan Pulau Pari berdiri tegak, pulau kecil itu tidak akan mudah diserahkan kepada siapa pun.
Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Faith for #SavePulauPari yang diselenggarakan oleh GreenFaith Indonesia, Rumah Zakat, dan Ummah for Earth pada 14–15 Agustus 2025 di Pulau Pari. Selama dua hari, para peserta mengunjungi wilayah terdampak, berdialog dengan warga, mendokumentasikan kondisi lapangan, serta merancang strategi kampanye.
Kegiatan ini bertujuan mengintegrasikan pendekatan spiritual lintas agama untuk mendorong kepedulian lingkungan, memperkuat ketahanan komunitas pesisir. Upaya ini diharapkan memperkuat ketahanan komunitas Pulau Pari sekaligus memberi inspirasi bagi gerakan keadilan iklim di wilayah lain.
–##–
Tentang GreenFaith Indonesia
GreenFaith adalah organisasi akar rumput global lintas agama yang membangun gerakan untuk keadilan iklim. Di Indonesia, GreenFaith berdiri sejak 2023 dengan fokus pada Faith for Climate Action, yaitu aksi nyata individu lintas agama dalam mengatasi dampak perubahan iklim, pelatihan lintas agama untuk climate justice, serta membangun perspektif lintas agama dalam transisi energi. Update kegiatan GreenFaith Indonesia dapat diikuti melalui Instagram @greenfaith.id.
Narahubung:
Dzikrina Farah Adiba – Communication Officer – GreenFaith Indonesia
Email: farah@greenfaith.org