Site icon Hijauku.com

Menggugat Mitos Pertumbuhan Tak Terbatas

Oleh: T.H. Hari Sucahyo * 

Ada saatnya kita harus jujur pada diri sendiri: keberlanjutan bukan sekadar soal teknologi, bukan sekadar soal kebijakan, dan bahkan bukan sekadar soal kesadaran individu. Kita kerap menganggapnya sebagai tantangan teknis semata, seolah-olah semuanya akan beres jika pemerintah membuat regulasi yang lebih ketat, perusahaan teknologi mengembangkan inovasi ramah lingkungan, dan kita sebagai individu mengganti sedotan plastik dengan stainless steel atau membawa tas belanja kain.

Ada kenyataan yang jauh lebih kompleks dan pahit: dunia yang kita ciptakan saat ini dibangun di atas asumsi bahwa bumi bisa terus dieksploitasi tanpa batas, dan asumsi itu sedang menjerumuskan kita pada jurang yang semakin dalam. Selama lebih dari dua abad terakhir, masyarakat industri telah berkembang dengan satu rumus sederhana: ekstraksi sumber daya sebesar-besarnya untuk meningkatkan standar hidup.

Kita merayakan pencapaian demi pencapaian: kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas hidup, dan kesempatan tak terbatas untuk mengonsumsi. Di balik semua itu, kita jarang berhenti sejenak untuk melihat harga yang harus dibayar. Setiap ton batu bara yang dibakar, setiap hektare hutan yang ditebang, dan setiap tetes air yang tercemar memiliki konsekuensi yang kita abaikan.

Kita menikmati manfaatnya, tetapi kita mengeksternalisasi biayanya, mendorongnya ke luar kesadaran kita, ke tempat-tempat yang tidak terlihat, seolah-olah kerusakan itu tidak pernah ada. Yang lebih ironis, semakin kaya kita, semakin besar kerusakan yang kita timbulkan. Kekayaan kolektif umat manusia tidak otomatis berarti kesejahteraan ekologis. Faktanya, korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan begitu jelas sehingga menimbulkan paradoks: apa yang kita sebut kemajuan, pada saat yang sama, adalah jalan pintas menuju kehancuran.

Ini bukan sekadar masalah pilihan pribadi atau konsumsi sadar; ini adalah konsekuensi struktural dari sistem yang kita anut. Kita hidup dalam dunia yang meyakini bahwa pertumbuhan tanpa batas adalah sesuatu yang niscaya. Para ekonom, politisi, dan korporasi menjadikan PDB sebagai tolok ukur keberhasilan, seolah-olah angka itu mampu menceritakan semua hal tentang kesejahteraan manusia.

Bumi tidak bernegosiasi dengan angka. Ada batas daya dukung planet, dan kita melanggarnya setiap hari. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, krisis air, dan polusi udara hanyalah sebagian kecil dari bukti bahwa sistem yang kita bangun saat ini tidak kompatibel dengan keberlanjutan ekologis.

Masalah terbesar adalah kita tidak tahu bagaimana membangun masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam batasan planet ini. Tidak ada cetak biru, tidak ada manual, dan tidak ada kepastian bahwa upaya kita akan berhasil. Sementara itu, sistem politik, ekonomi, dan budaya kita belum mampu memikirkan ulang paradigma dasarnya.

Kita berbicara tentang “transisi energi bersih”, “pertumbuhan hijau”, dan “konsumsi berkelanjutan”, tetapi pada praktiknya kita hanya memoles permukaan tanpa menyentuh akar masalah. Banyak pemerintah berjanji mengurangi emisi, tetapi tetap mendorong eksplorasi tambang batu bara baru. Banyak perusahaan mendeklarasikan komitmen “net zero”, tetapi melanjutkan praktik produksi yang merusak. Kita hidup dalam dunia yang penuh jargon, tetapi miskin substansi.

Ada istilah yang kini sering kita dengar: just transition atau transisi yang adil. Gagasan ini sederhana dalam konsepnya: kita ingin beralih dari ekonomi berbasis karbon menuju ekonomi hijau tanpa mengorbankan hak-hak kelompok rentan, termasuk pekerja, petani, dan masyarakat adat.

Realitasnya jauh lebih rumit. Setiap transisi membawa biaya sosial, dan kita belum menemukan cara untuk membaginya dengan adil. Negara-negara kaya berbicara tentang dekarbonisasi, tetapi mereka masih bergantung pada energi fosil dari negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang berbicara tentang keadilan iklim, tetapi sering kali terjebak pada logika eksploitasi sumber daya demi mengejar pertumbuhan ekonomi cepat. Akibatnya, keberlanjutan yang kita impikan hanya menjadi proyek retorika global tanpa transformasi nyata di lapangan.

Mungkin tantangan terbesar bukanlah teknologi, melainkan imajinasi. Kita terbiasa berpikir dalam kerangka lama, seolah-olah kita bisa memecahkan masalah keberlanjutan dengan pendekatan yang sama yang menciptakan krisis itu. Kita percaya pada inovasi sebagai penyelamat: mobil listrik, energi terbarukan, pertanian presisi, kecerdasan buatan, dan daur ulang skala industri. Semua itu penting, tetapi tidak cukup. Sebab akar masalahnya bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal paradigma. Kita tidak hanya membutuhkan teknologi baru, tetapi juga cara berpikir baru tentang apa artinya menjadi manusia di planet ini.

Bagaimana jika keberlanjutan sejati bukan tentang menemukan cara untuk melanjutkan gaya hidup kita saat ini dengan jejak karbon lebih rendah, melainkan tentang mengubah definisi kemajuan itu sendiri? Kita telah lama mengukur kesuksesan berdasarkan seberapa banyak kita memproduksi dan mengonsumsi, bukan seberapa selaras kita hidup dengan sistem ekologis yang menopang kita.

Kita memisahkan diri dari alam, padahal kenyataannya kita bagian dari jaring kehidupan yang rapuh. Dengan logika lama, semakin banyak kita mengekstraksi, semakin makmur kita. Namun kenyataan ekologis memaksa kita menghadapi kebenaran baru: semakin banyak kita mengekstraksi, semakin kita menghancurkan fondasi keberadaan kita sendiri.

Dalam konteks ini, keberlanjutan menjadi tantangan peradaban, bukan sekadar tantangan lingkungan. Kita diminta untuk merumuskan ulang visi tentang masa depan yang layak dihuni. Tetapi, sementara kita sibuk memperdebatkan target emisi dan teknologi energi bersih, jam biologis planet terus berdetak. Es di kutub mencair lebih cepat daripada laju diplomasi global. Spesies punah lebih cepat daripada kebijakan konservasi diimplementasikan. Dan suhu global terus naik, mendekatkan kita pada ambang batas yang tak bisa diubah lagi.

Ada dilema eksistensial yang jarang dibahas secara jujur: keberlanjutan sejati mungkin menuntut kita mengorbankan sebagian besar kenyamanan yang kini kita anggap hak. Tidak ada teknologi yang bisa menghindarkan kita dari kenyataan bahwa konsumsi tak terbatas di planet terbatas adalah formula kehancuran.

Di dunia yang dibangun di atas logika pasar dan kompetisi global, siapa yang berani mengatakan pada publik bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa menjadi prioritas utama? Siapa yang berani mengatakan bahwa keberlanjutan berarti mengurangi, bukan sekadar mengganti? Krisis ini juga memperlihatkan keterbatasan sistem politik kita.

Demokrasi modern cenderung berpikir dalam siklus pemilu lima tahunan, sementara keberlanjutan membutuhkan visi lintas generasi. Kapitalisme global berorientasi pada laba kuartalan, sementara keberlanjutan menuntut investasi jangka panjang yang hasilnya mungkin baru terlihat puluhan tahun kemudian.

Budaya konsumsi massal mendorong kita untuk memuaskan hasrat sesaat, sementara keberlanjutan memerlukan disiplin kolektif dan kesabaran yang hampir tak pernah kita latih. Inilah sebabnya mengapa keberlanjutan terasa begitu mustahil: bukan karena kita kekurangan alat, melainkan karena kita belum memiliki struktur sosial, politik, dan ekonomi yang sesuai untuk memanfaatkannya.

Keberlanjutan mustahil juga berarti menyerah pada keputusasaan, dan itu bukan pilihan. Kita memang tidak memiliki cetak biru, tetapi itu bukan alasan untuk berhenti mencoba. Kita membutuhkan keberanian untuk membayangkan ulang masa depan, bahkan ketika kita tidak tahu pasti bagaimana mewujudkannya.

Mungkin keberlanjutan dimulai dari kejujuran: mengakui keterbatasan planet, memikirkan ulang nilai-nilai kita, dan menerima bahwa kemakmuran tidak harus identik dengan konsumsi. Dari sana, kita bisa membangun sistem ekonomi yang tidak lagi memuja pertumbuhan tanpa batas, tetapi mengutamakan keseimbangan ekologi dan kesejahteraan kolektif.

Mencapai keberlanjutan, sejauh ini, merupakan tantangan tersulit yang pernah dihadapi umat manusia. Kita mungkin belum tahu jalan pastinya, tetapi satu hal jelas: status quo bukanlah jawabannya. Jika kita terus melanjutkan kebiasaan lama, kita akan mewariskan planet yang jauh lebih miskin dan rapuh kepada generasi berikutnya.

Perubahan tidak bisa lagi ditunda, karena setiap tahun yang hilang adalah satu langkah lebih dekat menuju batas-batas yang tak bisa diperbaiki. Kita dihadapkan pada pilihan yang sangat sederhana namun berat: menyesuaikan diri dengan batasan planet, atau menghadapi konsekuensi dari mengabaikannya.Keberlanjutan bukanlah soal menyelamatkan bumi. Planet ini akan terus ada, dengan atau tanpa kita.

Keberlanjutan adalah tentang menyelamatkan peradaban manusia dari dirinya sendiri. Dan untuk itu, kita memerlukan keberanian moral, imajinasi politik, serta komitmen kolektif yang melampaui apa pun yang pernah kita upayakan sebelumnya. Tantangan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi soal siapa kita, apa yang kita hargai, dan bagaimana kita memilih untuk hidup di dunia yang rapuh ini.

–##–

T.H. Hari Sucahyo adalah Peminat bidang Keutuhan Ciptaan dan Kenakaragaaman Hayati – Penggagas Forum Grup Diskusi “BENIH”

Exit mobile version