Jakarta, 18 April 2025 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah secara resmi menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Regulasi ini merupakan pelaksanaan mandat dari Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengapresiasi upaya ini sebagai langkah untuk memberikan kepastian hukum, khususnya mengenai arah pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menjadi kunci dalam agenda dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Dalam konteks pemensiunan dini PLTU, peta jalan transisi energi ini menjawab beberapa ketidakpastian yang belum diatur dalam Perpres No. 112 Tahun 2022.

Langkah ini sangat krusial, mengingat PLTU merupakan salah satu penyumbang utama polusi udara dan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Dengan kepastian arah pemensiunan dini PLTU, transisi ke energi bersih tidak hanya akan membawa manfaat iklim, tetapi juga membuka ruang bagi peningkatan kualitas udara dan kesehatan masyarakat.

Pasal-pasal kunci dalam Permen ESDM No. 10 Tahun 2025 ini menunjukkan kemajuan, termasuk Pasal 12 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), dan Pasal 19 ayat (3) yang menegaskan bahwa pemensiunan dini PLTU oleh PLN didasarkan pada penugasan resmi dari Menteri ESDM melalui suatu penetapan. Artinya, penetapan pemensiunan dini PLTU dari Menteri ESDM menjadi prasyarat kunci untuk segera memulai transisi energi di Indonesia. Termasuk pula, pembangunan pembangkit pengganti dan jaringan listrik sebagai bagian dari penugasan tersebut.

Sementara itu, penerapan doktrin business judgement rule sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) memberikan dasar hukum yang kuat untuk mengambil keputusan strategis dan sejalan dengan pengaturan Pasal 9F dan Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

“Dengan dijaminnya penugasan kepada PLN untuk melakukan pemensiunan dini PLTU serta adanya penerapan business judgement rule dalam kajian pemensiunan, seharusnya sudah menjadi landasan hukum yang kuat untuk mendorong proses pemensiunan PLTU. Analisa ICEL juga menunjukkan bahwa risiko hukum terhadap pemensiunan PLTU, khususnya terkait potensi kerugian negara, hanya relevan apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, Kementerian ESDM seharusnya dapat segera menetapkan keputusan pemensiunan dini, setidaknya bagi dua PLTU yang telah dikomitmenkan dalam skema JETP”, ujar Bella Nathania, Deputi Direktur Program ICEL.

Lebih lanjut, Bella menambahkan, penetapan ini sangat penting agar PLTU terdampak bisa mulai menyiapkan proses transisi—bukan hanya teknis, tapi juga menyangkut kehidupan para pekerja dan masyarakat di sekitar pembangkit yang selama ini menggantungkan hidupnya pada aktivitas PLTU.

Selain itu, Permen ESDM No. 10 Tahun 2025 juga memasukkan aspek just energy transition dalam kriteria pemilihan PLTU yang akan dipensiunkan lebih awal. Kendati demikian, aspek just energy transition dalam regulasi ini belum dijabarkan lebih lanjut. Perlu dipastikan bahwa aspek transisi energi berkeadilan dalam pemilihan PLTU yang akan dipensiunkan tidak hanya mencakup pertimbangan teknis dan kalkulasi ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan aspek kesehatan, lingkungan, sosial, dan aspek-aspek lainnya yang dapat berimplikasi pada masyarakat, khususnya masyarakat terdampak.

“Permen ESDM No. 10 Tahun 2025 mewajibkan pertimbangan terhadap dampak pemensiunan dini PLTU. Namun, dampak tersebut sangat luas dan tidak hanya bisa diatasi di tingkat pembangkit saja. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dampak tidak langsung dan mempersiapkan kebijakan pendukung yang tepat. Peta jalan transisi energi juga perlu melibatkan koordinasi lintas sektor melalui Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau (TEH) untuk memastikan bahwa admpak transisi ini dapat diminimalkan dan dipersiapkan dengan baik,” jelas Syaharani, Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi ICEL.

Lebih lanjut, ICEL menyoroti bahwa peta jalan ini menargetkan puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada 2037—tujuh tahun lebih lambat dari yang direkomendasikan dalam kerangka Persetujuan Paris. Sementara itu, beberapa strategi pengurangan emisi yang diandalkan seperti co-firing dan carbon capture and storage (CCS) berisiko memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil dan bisa menjadi jalan memutar dalam upaya transisi.

Untuk itu, ICEL merekomendasikan agar:

1. Kementerian ESDM segera menerbitkan penetapan pemensiunan dini untuk dua PLTU yang telah dikomitmenkan melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), yaitu PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu;

2. Kementerian ESDM untuk menyusun indikator aspek just energy transition dalam kriteria pemilihan PLTU yang akan dipensiunkan yang meliputi aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan aspek-aspek lainnya yang dapat berimplikasi pada masyarakat; dan

3. Kementerian ESDM meninjau kembali strategi transisi agar memprioritaskan strategi pengembangan energi terbarukan, bukan memperpanjang masa pakai energi fosil.