Oleh: Jalal

Dalam perjalanan saya ke luar kota beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah buku yang menakjubkan berjudul The Decline and Fall of the Human Empire.  Saya sudah membaca beberapa resensinya, tetapi tak berekspektasi menemukan buku itu di rak toko buku di sini.  Jadi, ketika buku ini terpampang di sebuah toko buku di bandara, hati saya sangat girang, dan sebagian isi dompet saya langsung berpindah ke toko buku itu.  Henry Gee, penulisnya, adalah editor senior jurnal terkemuka Nature.  Dia seorang paleontolog sekaligus ahli biologi evolusioner dengan beberapa buku sebelumnya yang sangat terkenal, termasuk A (Very) Short History of Life on Earth, yang memenangkan Royal Society Science Books Prize di tahun 2022.  Tetapi, yang mungkin paling menarik perhatian saya bukanlah Gee yang jelas penulis jagoan, tetapi pilihan judulnya yang pelesetan.  Kalau ada yang merasa sudah pernah membaca judul itu, mungkin lantaran pernah membaca atau setidaknya mengetahui judul karya babon sejarawan abad 18 Edward Gibbon, The Decline and Fall of the Roman Empire.

Namun Gee punya ambisi yang lebih besar daripada Gibbon, yang dituangkannya dalam jumlah halaman yang jauh lebih sedikit.  Tak hanya mau menjelaskan berakhirnya sebuah kekaisaran seperti Roma, ia mau mengajak kita untuk merenungkan perjalanan panjang umat manusia dari spesies primitif hingga menjadi makhluk dominan di planet ini, sekaligus memperingatkan akan kemungkinan kehancuran ‘kekaisaran’ manusia. Melalui narasi yang kuat dan didukung oleh penelitian ilmiah mutakhir—yang dengan mudah ia akses lantaran posisinya di Nature—Gee membuka mata kita tentang bagaimana peradaban manusia mungkin sedang menuju fase penurunan yang tak terhindarkan.

Sejarah evolusi manusia dimulai lebih dari enam juta tahun lalu, ketika nenek moyang kita pertama kali mulai berpisah dari garis evolusi primata lainnya. Dari Australopithecus afarensis alias Lucy hingga Homo erectus, jejak fosil menunjukkan transformasi dramatis dalam anatomi dan perilaku manusia purba. Kemampuan untuk berdiri tegak, menggunakan alat, dan beradaptasi dengan berbagai lingkungan memberikan keuntungan evolusioner yang signifikan bagi genus Homo.

Namun, keberhasilan evolusi ini tidak datang tanpa biaya. Gee menyoroti bagaimana transisi ke bipedalisme membawa konsekuensi anatomis tertentu, sementara perkembangan otak yang membesar membutuhkan energi untuk metabolisme yang signifikan. Hal inilah yang akhirnya membentuk banyak aspek kehidupan manusia modern, dari cara kita bergerak hingga pola reproduksi kita.

Revolusi pertanian yang dimulai sekitar 10.000 tahun lalu sering dipandang sebagai tonggak utama kemajuan manusia. Namun, seperti yang ditekankan Gee, transformasi ini sebenarnya merupakan pedang bermata dua. Sementara produksi pangan meningkat, kesehatan manusia secara keseluruhan malah menurun. Penyakit menular menjadi lebih umum, keragaman genetik menyusut, dan populasi manusia menjadi semakin rentan terhadap bencana ekologi.

Paradoks tersebut menjadi tema sentral dalam analisis Gee tentang peradaban manusia modern. Kemajuan teknologi dan ekspansi populasi telah menciptakan ilusi kemajuan tanpa batas, padahal sebenarnya kita sedang mendekati batas-batas fundamental dari sistem pendukung kehidupan planet ini. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi ekosistem serta sejumlah planetary boundaries lainnya adalah bukti nyata bahwa model pembangunan saat ini tidak berkelanjutan.

Saya sangat menyukai perspektif historis yang sangat luas dalam buku ini.  Walaupun dalam ruang yang terbilang ringkas, Gee tidak hanya melihat tren kontemporer tetapi menempatkannya dalam konteks waktu geologis yang lebih panjang. Dia menunjukkan bagaimana spesies yang tampaknya dominan bisa tiba-tiba punah ketika kondisi lingkungan berubah. Dinosaursus, makhluk yang sedemikian megahnya, menguasai planet ini selama 160 juta tahun, sebelum akhirnya lenyap karena perubahan drastis dalam kondisi global.

Refleksi ini sangat relevan dengan situasi manusia modern. Meskipun kita memiliki teknologi canggih dan infrastruktur global yang kompleks, pada dasarnya kita tetap rentan terhadap gangguan ekologis besar-besaran. Pandemi COVID-19 baru-baru ini adalah pengingat yang menyakitkan tentang betapa rapuhnya sistem global kita ketika dihadapkan pada tantangan biologis yang tak terduga.  Lewat banyak kemajuan pengetahuan kesehatan, kita berhasil meningkatkan usia harapan hidup sedemikian panjangnya, namun di hadapan bencana zoonotic seperti COVID-19, tetiba kita harus menyaksikan lebih dari 7 juta kematian sebagai akibatnya.

Buku ini juga menyoroti dampak paradoks demografi modern. Di satu sisi, kita menghadapi potensi penurunan populasi di banyak negara maju karena tingkat kelahiran yang rendah. Di sisi lain, beberapa wilayah masih mengalami pertumbuhan populasi yang cepat, menciptakan ketegangan sosial-ekonomi yang signifikan di dalam negeri, selain juga di negeri-negeri lain yang menjadi sasaran migrasi. Situasi ini diperparah oleh perubahan iklim yang membuat banyak daerah tidak layak huni, dan memicu migrasi massal jutaan penduduk yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Gee jelas menunjukkan rasa pesimistisnya tentang prospek yang bakal terjadi ke umat manusia dalam jangka pendek, sama dengan siapapun yang menyadari sepenuhnya kondisi dunia sekarang.  Tetapi, ia tidak sepenuhnya pesimis tentang masa depan manusia dalam jangka yang lebih panjang.  Dia menawarkan visi alternatif untuk keberlanjutan yang melibatkan pergeseran fundamental dalam cara kita berinteraksi dengan lingkungan. Konsep niche construction atau konstruksi ceruk menunjukkan bahwa manusia, sama dengan beragam spesies lainnya, dapat secara aktif membentuk lingkungan mereka sendiri untuk mendukung keberlangsungan hidup jangka panjang, daripada hanya mengeksploitasi sumberdaya di tempatnya sampai habis lalu pindah dari situ.

Pentingnya keragaman genetik juga ditekankan Gee sebagai kunci untuk bertahan hidup dalam menghadapi tantangan masa depan. Populasi kecil yang terisolasi rentan terhadap inbreeding depression, sementara variasi genetik yang luas memberikan peluang lebih besar untuk adaptasi evolusioner. Ini adalah pelajaran penting dari sejarah evolusi manusia yang sayangnya kerap diabaikan dalam diskusi tentang peradaban modern.

Teknologi, meskipun sering dikritik sebagai penyebab masalah lingkungan, dipandang oleh Gee sebagai alat yang potensial untuk solusi jika digunakan dengan bijak. Dari rekayasa genetika untuk meningkatkan hasil pertanian hingga pengembangan sumber energi terbarukan, inovasi teknologi dapat membantu kita melewati beberapa tantangan terbesar yang sedang dan akan dihadapi. Namun, pemanfaatan teknologi harus dilakukan dengan pemahaman mendalam tentang konsekuensi ekologisnya.

Buku ini juga menyoroti pentingnya memperluas pemahaman kita tentang ruang hidup manusia. Dengan populasi global yang terus bertambah, eksplorasi dan kolonisasi ruang angkasa mungkin menjadi keharusan daripada pilihan. Namun, ini bukan solusi instan lantaran tantangan biologis dan teknis untuk kehidupan luar angkasa masih sangat besar dan belum akan bisa diselesaikan dalam jangka pendek.  Ketika membaca bagian ini, saya tersenyum kecut lantaran pada sebuah wawancara di tahun lalu Elon Musk menyatakan bahwa ia ingin satu juta orang sudah bisa pindah ke Mars dalam 20  tahun mendatang.  Kolonisasi luar angkasa mungkin saja adalah keniscayaan, tetapi saya jauh lebih percaya kerangka waktu jangka panjang yang dinyatakan Gee daripada iklan Space X oleh Musk.

Melihat ke belakang pada sejarah peradaban manusia, jelas ada pola berulang dari kemajuan yang diikuti oleh keruntuhan. Imperium Romawi, seperti yang dicatat Edward Gibbon dalam karyanya yang monumental, mencapai puncak kejayaannya sebelum runtuh karena kombinasi faktor internal dan eksternal. Gee mengundang kita untuk melihat peradaban modern melalui lensa yang sama—satu entitas yang tampaknya tak terkalahkan namun sebenarnya rapuh terhadap tekanan yang tertentu.

Satu aspek yang menonjol dari analisis Gee adalah penekanan pada hubungan antara pertanian dan kesehatan manusia. Revolusi Hijau abad ke-20 memang berhasil meningkatkan produksi pangan secara dramatis, tetapi juga membawa konsekuensi yang tidak diinginkan termasuk penurunan kualitas gizi, resistensi antibiotik, dan kerusakan lingkungan yang meluas. Pembelajaran ini penting saat kita mempertimbangkan strategi untuk memenuhi kebutuhan pangan masa depan sambil mengurangi kerentanan dan kerapuhan kita.

Perubahan iklim juga jelas adalah ancaman eksistensial lainnya, yang dieksplorasi secara mendalam dalam buku ini. Gee menunjukkan bagaimana fluktuasi iklim masa lalu telah memengaruhi evolusi manusia, tetapi perubahan yang sedang berlangsung saat ini terjadi pada skala waktu yang jauh lebih singkat dan intensitas yang lebih besar.  Mitigasi sudah hampir mustahil membawa perubahan dalam skala dan kecepatan yang kita butuhkan, sementara adaptasi manusia mungkin juga tidak akan bisa mengimbangi kecepatan perubahan menuju krisis iklim.  Jadi, ketika Gee pesimistis atas masa depan jangka pendek kita, rasanya memang masuk akal.

Keunggulan perspektif Gee yang sangat saya sukai terletak pada kemampuannya untuk menghubungkan penemuan ilmiah terbaru dengan wawasan filosofis yang mendalam. Dia tidak hanya menyajikan fakta-fakta, tetapi juga mengundang pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari keberadaan manusia di planet ini. Apakah kita benar-benar penguasa Bumi, atau sebetulnya hanya tamu sementara yang gagal memahami tanggung jawab kita?  Perspektif ini mengingatkan saya pada buku karya filsuf Roman Krznaric, The Good Ancestor: A Radical Prescription for Long-Term Thinking.  Bedanya, Gee lebih berat pada sains, sementara Krznaric lebih filosofis.

Masa depan, seperti yang digambarkan oleh Gee, sebetulnya tidaklah harus suram. Namun, untuk bisa keluar dari kondisi yang menyeramkan bagi anak-cucu kita itu, umat manusia memerlukan perubahan fundamental dalam cara kita berpikir dan bertindak. Transisi menuju ekonomi hijau, pengembangan teknologi berkelanjutan, dan reformasi sistem sosial-politik menuju keadilan yang hakiki adalah langkah-langkah penting yang harus diambil. Ini bukan hanya soal sintas, tetapi tentang penciptaan peradaban yang benar-benar harmonis dengan lingkungan, ecological civilization yang sesungguhnya.

Jadi, menurut hemat saya, The Decline and Fall of the Human Empire sesungguhnya adalah panggilan untuk sadar diri kolektif. Kesadaran ini, jika diimbangi dengan tindakan nyata, dapat menjadi katalis untuk transformasi yang diperlukan untuk memastikan kelangsungan hidup umat manusia di Bumi.  Kalau pesan itu didengar dan diwujudkan, buku ini akan jadi kontribusi penting tentang evolusi manusia dan masa depan peradabannya. Dengan gabungan pengetahuan ilmiah, refleksi historis, dan visi strategis, Gee telah menciptakan karya yang akan memicu diskusi penting tentang arah peradaban manusia di abad-abad mendatang dan, semoga, juga tindakan yang lebih bijaksana daripada apa yang kita saksikan hingga sekarang.

–##–