Peringatan Keras Agar Transisi Energi Tak Jadi Bencana

Dalam buku ini, Scheyder memerkenalkan isu utama yang akan dibahas: konflik antara konservasi lingkungan dan eksploitasi sumberdaya mineral untuk kebutuhan energi bersih.

Oleh: Jalal

Sekitar satu setengah tahun yang lampau saya diminta untuk memresentasikan situasi terkait pertambangan nikel di Indonesia kepada sekelompok investor institusional.  Saya mengakhiri presentasi itu dengan satu slide yang menggambarkan sebuah desa di Provinsi Sulawesi Tengah yang terendam air bah di sisi kiri, dan gambar sebuah Tesla Model S di jalanan di Negara Bagian California di sisi kanan.  Saya tidak sedang meminta mereka membatalkan niat untuk berinvestasi dan membiayai projek di Indonesia, melainkan meminta mereka dengan sungguh-sungguh menegakkan safeguards bagi masyarakat dan lingkungan kalau kelak mereka memutuskan untuk melakukannya.  Saya merasakan suasana yang mencekam, wajah-wajah yang menjadi lebih serius, dan posisi duduk yang lebih tegak.  Dan itu adalah efek yang saya rasakan ketika di pertama kali saya membuka halaman demi halaman buku karya Ernest Scheyder.

Buku The War Below: Lithium, Copper, and the Global Battle to Power Our Lives dibuka dengan kisah Jerry Tiehm, seorang ahli botani yang secara tidak sengaja menemukan bunga liar yang kemudian dikenal sebagai Tiehm’s buckwheat di Rhyolite Ridge, Nevada, pada tahun 1983. Penemuan ini menjadi awal dari narasi kompleks yang menggabungkan ilmu botani, eksplorasi sumberdaya alam, dan tantangan transisi energi hijau.  Scheyder memerkenalkan isu utama yang akan dibahas: konflik antara konservasi lingkungan dan eksploitasi sumberdaya mineral untuk kebutuhan energi bersih. Kawasan tempat ditemukannya Tiehm’s buckwheat ternyata memiliki cadangan lithium yang sangat besar, mineral yang esensial untuk baterai kendaraan listrik. Konflik ini menjadi simbol dari dilema yang dihadapi oleh dunia dalam mengejar tujuan pengurangan emisi karbon.

Kisah awal eksplorasi lithium di Rhyolite Ridge itu dihadapi oleh perusahaan ioneer—yang pada website perusahaannya menaruh “Providing material for a sustainable and thriving planet” sebagai tujuan mulianya. James Calaway, seorang eksekutif yang berpengalaman dalam industri pertambangan lithium, memimpin eksplorasi dan pengembangan projek di lokasi ini. Ia berhadapan dengan dilema antara mengejar keuntungan dari potensi besar lithium dan menjaga kelestarian ekosistem lokal yang terancam oleh aktivitas penambangan. Calaway harus memutuskan apakah perusahaan akan menempuh jalur pembangunan tambang yang berdampak besar atau mencari cara yang lebih berkelanjutan untuk mengekstraksi mineral.

Bab tersebut memerkenalkan pembaca pada dinamika bisnis dan keputusan strategis yang harus diambil dalam konteks transisi energi hijau, lalu disambung dengan pertimbangan sosial di bab berikutnya.  Lokasi Rhyolite Ridge tidak hanya mengandung cadangan lithium yang besar, tetapi juga memiliki nilai budaya dan lingkungan yang penting. Scheyder menyoroti kisah suku Apache San Carlos di Arizona yang memertahankan tanah leluhur mereka dari eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Rio Tinto dan BHP.  Konflik ini mencerminkan tantangan serupa di seluruh dunia di mana komunitas lokal, termasuk masyarakat adat, harus berhadapan dengan perusahaan tambang yang mengincar sumberdaya mineral.

Scheyder kemudian menunjukkan mengapa perusahaan tambang lithium seperti ioneer makin banyak melakukan eksplorasi dan operasi di seluruh dunia: permintaan global terhadap lithium yang semakin meningkat seiring dengan popularitas kendaraan listrik. Scheyder menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi baterai lithium-ion menjadi kunci dalam revolusi energi hijau. Asal-usul baterai lithium-ion yang dikembangkan oleh ilmuwan Stanley Whittingham, serta peningkatan permintaan global terhadap baterai yang lebih efisien dan ringan terutama dari Tesla dijelaskan dengan gamblang. Permintaan lithium diprediksi akan meningkat hingga empat kali lipat pada tahun 2040, dan Scheyder menguraikan tantangan rantai pasok yang timbul akibat ketergantungan pada produksi lithium dari negara-negara seperti Chile dan Australia.

Untuk lebih menjelaskan kompleksitas kaitan pertambangan dan kendaraan listrik, Scheyder juga menyajikan dinamika geopolitik di balik perdagangan lithium dan tembaga. Dengan Tiongkok menguasai sebagian besar rantai pasok baterai dan mineral transisi energi, negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, menghadapi tekanan yang berat untuk mengurangi ketergantungan ini. Tiongkok telah sejak lama berinvestasi besar-besaran dalam projek-projek tambang di Afrika dan Amerika Selatan untuk mengamankan pasokan bahan baku yang diperlukan, sementara Amerika Serikat yang tertinggal berusaha untuk meningkatkan produksi domestik melalui kebijakan yang mendorong pembangunan tambang baru, dan inilah yang menghasilkan oposisi dari kelompok lingkungan dan masyarakat lokal.

Dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas penambangan adalah pangkal dari oposisi. Scheyder mengilustrasikan berbagai insiden, seperti pecahnya bendungan tailing Vale di Brasil pada 2019 yang menyebabkan ratusan korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang parah. Buku ini juga menggambarkan bagaimana aktivitas pertambangan secara umum memang membawa risiko besar, baik terhadap keselamatan pekerja maupun kualitas lingkungan di sekitar area tambang.  Tidaklah mengherankan bila banyak organisasi lingkungan melancarkan kritik terhadap industri pertambangan yang memang seringkali tidak transparan atas dampaknya dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.

Tantangan regulasi yang dihadapi oleh perusahaan tambang Amerika Serikat dalam menjalankan operasinya memang tidak mudah. Regulasi lingkungan yang ketat di Amerika Serikat sering kali membuat proses perizinan tambang memakan waktu hingga satu dekade.  Ketika Presiden Joe Biden menggelontorkan Inflation Reduction Act yang mencoba mempercepat pembangunan projek-projek tambang di dalam negeri untuk mendukung transisi energi hijau, banyak pihak yang melihatnya sebagai pelonggaran terhada perlindungan lingkungan dan masyarakat.

Scheyder lalu mengeksplorasi inovasi teknologi yang dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan. Ia mengulas penggunaan teknologi seperti dry stacking untuk pengelolaan tailing yang lebih aman, serta kendaraan tambang listrik yang mengurangi emisi karbon. Contoh-contoh dari perusahaan yang mencoba menerapkan teknologi ramah lingkungan dan beragam potensi peningkatan efisiensi di masa depan juga diberikan. Teknologi baru, sebagaimana yang dipaparkan, memang dapat berperan dalam menjadikan praktik pertambangan makin mendekati keberlanjutan.

Pada bab terakhir, Scheyder membahas masa depan rantai pasok mineral, dengan fokus pada pentingnya diversifikasi dan penguatan produksi domestik untuk mengurangi ketergantungan terutama terhadap Tiongkok.  Potensi dan tantangan yang dihadapi Amerika Serikat dan negara-negara lain dalam mengembangkan kapasitas produksi mineral yang diperlukan untuk memenuhi permintaan global yang terus meningkat dibahas dengan gamblang di sini. Scheyder lalu mengakhiri bukunya dengan memertanyakan apakah dunia siap menghadapi tantangan yang dibawa oleh transisi energi ini seraya mengajak pembaca untuk merenungkan pilihan-pilihan yang ada.

Buku yang Sangat Bagus, dengan Catatan

Saya yang mengikuti dengan ketat isu pertambangan mineral dan pemrosesan logam untuk transisi energi, tahu bahwa buku Scheyder ini jelas bukan yang pertama, dan karenanya bisa dibandingkan dengan beberapa buku lain yang menyoroti tema serupa. The Elements of Power: Gadgets, Guns, and the Struggle for a Sustainable Future in the Rare Metal Age oleh David S. Abraham (2015), The Rare Metals War: The Dark Side of the Energy and Digital Transition karya Guillaume Pitron (2020), dan salah satu buku favorit saya dari tahun lalu, Cobalt Red: How the Blood of the Congo Powers Our Lives oleh Siddharth Kara (2023) adalah tiga buku yang langsung saya ingat—selain beberapa bunga rampai. Meskipun ketiga buku tersebut memiliki fokus yang sedikit berbeda dengan yang ditulis Scheyder, mereka memiliki kesamaan dalam mengeksplorasi tantangan dan konflik yang muncul dari peningkatan permintaan mineral kritis untuk energi bersih.

Sama dengan ketiga buku yang terbit sebelumnya, Scheyder jelas menyajikan buku ini dengan riset yang sangat mendalam.  Ia berhasil menggabungkan data ilmiah dan ekonomi dengan kisah nyata dari lapangan.  Pembaca dapat melihat dengan jelas bagaimana industri pertambangan tetiba harus beradaptasi dengan permintaan global untuk bahan baku energi terbarukan.  Analisis geopolitik yang komprehensif juga wawasan yang luas tentang persaingan dalam mengamankan sumberdaya mineral, terutama lantaran dominasi Tiongkok dalam industri baterai dan upaya negara-negara Barat untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan Tiongkok jelas merupakan titik kuat buku ini.

Scheyder jelas tidak hanya terampil dalam membedah sisi politik ekonomi dan industri, tetapi juga sangat mahir dalam mengangkat isu-isu etis, seperti hak-hak masyarakat adat, dampak lingkungan, serta risiko bagi keanekaragaman hayati yang kerap diabaikan dalam upaya mengamankan pasokan sumberdaya mineral.  Dan, meskipun membahas topik yang kompleks, gaya penulisan Scheyder mudah diikuti oleh pembaca awam. Ia menggunakan narasi yang menarik, membangun ketegangan hampir seperti novel, dan menyajikan informasi teknis dalam bahasa yang dapat dipahami oleh para pembaca tanpa latar belakang keilmuan yang terkait sekalipun.

Di sisi lain, saya harus menyatakan bahwa ketika buku ini membahas aspek lingkungan, masih terasa kurangnya Scheyder mengaitkan dampak pertambangan dengan keseluruhan isu ekosistem yang lebih besar. Saya merasa bahwa penjelasan mengenai bagaimana praktik pertambangan berdampak pada siklus air, iklim lokal, dan ketahanan pangan bisa lebih diperjelas untuk memberikan gambaran yang lebih holistik.  Selain itu, walaupun buku ini membahas lokasi pertambangan di berbagai negara, analisisnya cenderung berfokus pada perspektif perusahaan dan negara-negara seperti AS dan Tiongkok. Perspektif masyarakat lokal di negara berkembang, seperti di Indonesia, Amerika Selatan, atau Afrika, yang sebetulnya bisa digali, kurang mendapat perhatian yang memadai dalam analisis.

Saya juga merasa bahwa hingga akhir buku ini masih lebih cenderung berfokus pada masalah dan dilema yang dihadapi industri pertambangan, tanpa cukup menawarkan alternatif atau solusi yang konkret. Pertimbangan isu kelestarian lingkungan dan keadilan sosial, serta pembahasan mengenai inovasi teknologi atau kebijakan yang dapat mengurangi dampak negatif dari pertambangan sebetulnya masih bisa ditambahkan untuk para pembaca yang mencari solusi praktis.

Merenungkan Situasi Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu pemain utama dalam produksi nikel dan tembaga global, berada di garis depan dalam percaturan internasional untuk memasok mineral kritis yang dibutuhkan untuk transisi energi. Karenanya, buku ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana negara-negara lain menangani konflik kepentingan antara eksploitasi sumberdaya mineral dan pelestarian lingkungan dan keadilan sosial. Para pemangku kepentingan di Indonesia, mulai dari pengambil kebijakan di pemerintahan, para eksekutif perusahaan tambang, hingga aktivis LSM dan jurnalis, dapat mengambil pelajaran dari kasus-kasus yang diuraikan dalam buku ini untuk mengembangkan wawasan terkait risiko pertambangan dan bagaimana itu dapat dikelola.

Indonesia saat ini tengah gencar mempromosikan kebijakan hilirisasi dan meningkatkan investasi dalam projek smelter untuk menambah nilai pada produksi mineral domestik. Namun, tantangan sosial dan lingkungan, seperti yang dijelaskan dalam buku Scheyder, seharusnya tetap menjadi perhatian seluruh pihak. Penting bagi Indonesia untuk mengembangkan standar keberlanjutan yang kuat dan memastikan bahwa investasi asing yang masuk tidak hanya mengeksploitasi sumberdaya alam, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal.  Dan karenanya, saya berharap bahwa regulasi pertambangan dan pemrosesannya bisa semakin dekat dengan standar, kerangka, dan praktik terbaik di level global—dan benar-benar ditegakkan di lapangan.

Dengan meningkatnya permintaan global akan kendaraan listrik dan teknologi energi bersih lainnya, Indonesia jelas memiliki peluang besar untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global. Namun, seperti yang diuraikan dalam buku Scheyder, pendekatan yang tidak terencana dapat menimbulkan risiko sosial dan lingkungan yang signifikan. Buku ini relevan sebagai panduan dan peringatan bagi pemangku kepentingan di Indonesia dalam mengembangkan kebijakan yang optimal antara pengembangan ekonomi dan keberlanjutan.

Secara keseluruhan, The War Below adalah karya yang informatif sekaligus reflektif, memberikan wawasan mendalam tentang dinamika industri mineral global yang semakin krusial dalam konteks transisi energi sekaligus konsekuensi lokalnya.  Buku ini tidak hanya relevan bagi para profesional di sektor energi dan pertambangan, tetapi juga bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan aktivis yang peduli akan masa depan planet ini.  Pertanyaannya kemudian adalah apa tindakan yang bakal kita ambil secara kolektif ketika peringatan dari buku ini, dari buku-buku lain yang saya sebutkan, serta dari kejadian-kejadian yang sama di Tanah Air, sudah sedemikian gamblangnya?

–##–

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version