Oleh: Jalal
Anak-anak jelas tidak bertanggung jawab atas krisis iklim yang sekarang sedang melanda dunia, namun mereka adalah di antara yang paling terpengaruh. UNICEF telah memerkirakan bahwa hampir setiap anak di bumi terpapar setidaknya satu bentuk ancaman iklim, dan sekitar satu miliar anak hidup di negara-negara dengan risiko yang sangat tinggi terkena guncangan dan bahaya iklim. Krisis iklim menimbulkan ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kesehatan, nutrisi, pendidikan, perkembangan, kelangsungan hidup, dan potensi masa depan anak-anak.
Di sisi lain, anak-anak sebetulnya bukan hanya korban, tetapi juga aktor terpenting untuk menuntut dan mewujudkan perubahan yang diperlukan bagi dunia untuk selamat dari krisis iklim. Di seluruh dunia, mereka semakin mahir dalam membuat suara mereka didengar, sehingga menjadi agen perubahan yang penting. Tentu saja, siapapun akan mengingat Greta Thunberg dalam perkara ini, tetapi kini sesungguhnya ada banyak Greta di seluruh dunia.
Meskipun anak-anak berada dalam situasi yang membuat mereka rentan dan bisa menjadi agen perubahan yang sangat penting, hak dan perspektif anak masih sering hilang dari percakapan seputar upaya pemerintah dan bisnis untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk ketika perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dipergunakan sekalipun. Sama dengan situasi di mana dunia perlu belajar tentang hak-hak perempuan dalam dunia yang bias lelaki, sekarang kita benar-benar perlu belajar tentang hak-hak anak lantaran bias orang dewasa sangatlah kental. Dokumen Discussion Brief – A Child Rights Lens to Just Transitions yang ditulis oleh Li (2022), yang menjadi bahan rujukan utama tulisan ini, memberikan panduan tentang apa saja yang perlu ditimbang oleh bisnis dalam menegakkan hak-hak anak pada transisi yang adil.
Transisi yang Adil
Pada bulan Oktober 2021, Dewan HAM PBB menyatakan bahwa akses terhadap lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah bagian dan HAM yang universal. Menindaklanjutinya, pada pertengahan tahun 2022 PBB mengesahkan resolusi yang menyerukan negara-negara untuk meningkatkan upaya mereka untuk memastikan rakyat mereka memiliki hak tersebut.
Jelas, untuk menegakkan hak tersebut, dunia perlu mengupayakan transisi ke ekonomi rendah karbon hingga menjadi emisi nol bersih (net zero emission) kelak. Tetapi, transisi itu bukanlah sekadar untuk menurunkan emisi, melainkan pada saat yang sama juga memberikan perlindungan sosial, pekerjaan yang layak untuk semua, menurunkan kemiskinan, dan meningkatkan ketahanan masyarakat.
Transisi yang adil, demikian istilah yang dipergunakan Persetujuan Paris 2015, dibahas lebih dalam pada panduan yang dikeluarkan oleh ILO di tahun berikutnya, Guidelines for a Just Transition towards Environmentally Sustainable Economies and Societies for All. Konsep tersebut pada dasarnya berarti bahwa transisi itu harus menghormati hak dasar semua yang terlibat, terutama mereka yang berada dalam situasi paling rentan.
Bagi bisnis, tanggung jawab tersebut mencakup rencana dan tindakan untuk mengatasi perubahan iklim, yang terkait dengan semua pemangku kepentingan yang berpotensi terkena dampak. Pada awalnya, agenda transisi yang adil dipelopori oleh gerakan serikat pekerja dan berfokus pada transisi tempat kerja, mengadvokasi dialog sosial yang lebih substantif, dan menegakkan hak-hak pekerja dalam aksi iklim. Sektor energi, dan sektor keuangan, telah menjadi titik fokus utama untuk mengoperasionalkan konsep tersebut di antara sektor bisnis lainnya.
Namun, dengan meningkatnya kesadaran tentang keadilan iklim, transisi yang adil kemudian mendapatkan pengakuan yang lebih luas. Bukan saja semakin diterapkan di beragam sektor bisnis, dan pemerintahan, melainkan juga dilihat dengan menggunakan beragam lensa dari pemangku kepentingan di luar tenaga kerja—termasuk masyarakat adat, komunitas, konsumen, juga anak-anak.
Dengan perkembangan tersebut, bisnis bukan saja dituntut untuk menurunkan emisinya agar benar-benar berkontribusi mengatasi perubahan iklim, tetapi harus melakukannya dengan cara yang adil dan inklusif bagi para pemangku kepentingan yang disebutkan di atas. Jika tidak, mereka dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan dan dampak yang buruk, termasuk pelanggaran atas hak-hak anak.
Salah satu risiko terbesar adalah surutnya industri dan hilangnya pekerjaan tertentu—terutama di sektor yang menghasilkan emisi yang tinggi dan mengalami masalah aset terdampar (stranded assets). Jika pekerja di industri semacam itu tidak didukung secara memadai untuk melakukan upskilling dan reskilling, jelas ada risiko hilangnya pendapatan dari para pencari nafkah, dan ini akan mendorong lebih banyak rumah tangga dan anak-anak ke dalam kemiskinan.
Risiko lain bagi anak-anak di antaranya adalah yang terkait dengan penambangan. Banyak ekstraksi mineral untuk transisi energi, terutama kobalt dan lithium, dilakukan dengan menggunakan pekerja anak, sebagaimana yang dilaporkan oleh berbagai investigasi jurnalistik. Sementara, paparan terhadap degradasi lingkungan dan beragam masalah sosial juga diderita oleh anak-anak pada ekstraksi mineral lainnya seperti nikel dan tembaga, walau mereka tak menjadi pekerja anak.
Uji Tuntas dengan Perspektif Hak Anak
Untuk memenuhi tanggung jawab mereka, bisnis jelas perlu menghormati hak semua pemangku kepentingan yang terkena dampak, termasuk anak-anak, yang berada dalam situasi yang sangat rentan. Oleh karena itu, uji tuntas HAM dan lingkungan yang mengintegrasikan pertimbangan hak anak harus menjadi dasar upaya perusahaan untuk mengatasi perubahan iklim.
Hak anak dalam uji tuntas HAM ini mencakup sepanjang rantai nilai bisnis, mulai dari muasal sumber bahan mentah yang mereka pergunakan hingga ekosistem daur ulang dan pengelolaan limbah. Bisnis perlu mempertimbangkan potensi dampak setiap rantai itu terhadap anak-anak, rumah tangga, dan masyarakat, dan bagaimana mereka dapat mengatasinya.
Dalam hal ini, salah satu tantangan terbesar bagi perusahaan adalah menerjemahkan terminologi hak anak ke dalam business case. Banyak perusahaan kesulitan menerjemahkan hak anak ke dalam bahasa dan indikator yang sesuai dengan strategi dan langkah transisi perusahaan. Satu-satunya cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah dengan menghasilkan lebih banyak bukti tentang dampak transisi perusahaan terhadap anak-anak, sehingga akhirnya data tersebut dapat menjadi faktor yang efektif untuk mendapatkan dukungan manajemen senior untuk memprioritaskan bidang ini.
Advokasi kebijakan juga sangat penting. Peraturan dan kebijakan yang efektif dipandang sebagai cara penting untuk mendorong penerapan uji tuntas tersebut dalam skala besar. Sayangnya, hal ini belum terjadi untuk transisi yang adil, terutama bagi anak-anak. Kebijakan publik yang efisien dan lebih koheren yang secara eksplisit mengakui anak-anak sebagai pemangku kepentingan sangatlah penting untuk mendorong perilaku bisnis yang bertanggung jawab dan untuk menciptakan kewajiban, standar, dan ekspektasi yang lebih eksplisit dalam mengintegrasikan pertimbangan hak-hak anak. Sehingga, perusahaan-perusahaan yang telah menyadarinya perlu bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan advokasi yang serius.
Setelah uji tuntas dilakukan dan beragam risiko dipetakan, ada banyak peluang bagi bisnis untuk membangun ketahanan dan mengurangi ketimpangan melalui agenda transisi yang adil ini sebagai tindakan perbaikan. Perusahaan dapat memainkan peran penting dengan berinvestasi dalam dan mendukung adaptasi iklim di komunitas lokal untuk membangun ketahanan ekosistem, masyarakat, dan mata pencaharian. Di dalamnya termasuk berkolaborasi untuk memperkuat sistem dan layanan penting dan sistem perlindungan yang tangguh untuk anak-anak.
Bisnis juga perlu mengambil tindakan untuk mempersiapkan anak-anak dan generasi muda saat ini menghadapi dunia yang berubah gegara krisis iklim. Ini termasuk berinvestasi sosial dalam mendukung pengembangan keterampilan hijau melalui pendidikan vokasi, mendorong perubahan kurikulum pendidikan di sekolah formal, serta menciptakan berbagai peluang lapangan kerja hijau yang diprioritaskan bagi tenaga kerja lokal.
Hingga sekarang, hal-hal yang seharusnya dilakukan itu belumlah banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, termasuk di Indonesia. Bisnis memang perlu mengintegrasikan agenda keberlanjutan sosial dan lingkungan mereka dengan memerhatikan tuntutan krisis iklim sekaligus transisi yang adil. Untuk itu, bisnis perlu memahami transisi secara lebih holistik dan memainkan peran yang lebih signifikan dalam mendukung langkah-langkah adaptasi.
Salah satu tantangan bagi bisnis adalah mendobrak silo antara agenda sosial dan lingkungan mereka. Agenda sosial biasanya berfokus pada dampak bisnis terhadap masyarakat, seperti kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja. Sementara, agenda lingkungan berfokus pada dampak bisnis terhadap lingkungan, seperti emisi GRK dan beragam polusi. Dengan kesadaran soal transisi yang adil, bisnis perlu mengintegrasikan kedua agenda tersebut, dan hal ini memiliki konsekuensi bagi bagaimana program, sumberdaya manusia, dan penganggaran direncanakan dan diimplementasikan.
Memastikan Partisipasi Anak-anak
Perusahaan juga perlu menyadari bahwa anak-anak tidak hanya akan menjadi karyawan dan pemasok mereka, tetapi juga bakal menjadi pelanggan mereka, serta menjadi pemimpin masa depan di sektor pemerintahan, bisnis, maupun masyarakat sipil. Dan, karena masyarakat dan norma kita membutuhkan waktu untuk berubah, perusahaan jelas perlu terlibat dengan anak-anak dan remaja sejak dini untuk membina generasi penerus pemimpin dan warga negara yang berdaya.
Untuk itu, tidak bisa tidak, perusahaan harus secara langsung memfasilitasi partisipasi anak-anak dalam pengambilan keputusan perusahaan yang mengenai hajat hidup mereka. Dengan kata lain, memerlakukan anak-anak sebagai pemangku kepentingan perusahaan secara formal. Ini tentu tidak mudah dilakukan. Para profesional di bidang iklim dan pengembangan masyarakat dalam bisnis sekalipun kerap belum mampu berinteraksi dengan anak-anak secara bermakna. Apalagi untuk menerjemahkan masukan langsung dari anak-anak ke dalam keputusan dan tindakan bisnis. Perusahaan memang membutuhkan lebih banyak keahlian untuk memahami kapan harus melibatkan anak-anak dan bagaimana membuat pertukaran perspektif yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Banyak perusahaan merasa sulit untuk terlibat dengan anak-anak dan remaja dengan cara yang tampak kredibel secara eksternal tanpa aktivitas itu kemudian dianggap sebagai taktik pemasaran belaka atau bahkan, lantaran terkait dengan lingkungan, sebagai upaya greenwashing. Oleh karena itu, berbagai organisasi yang bertungkus lumus dalam isu-isu hak anak perlu diikutsertakan oleh perusahaan dalam memberikan bimbingan, dukungan, atau bertindak sebagai fasilitator dalam upaya perusahaan memastikan partisipasi yang berarti dari anak-anak dalam hal-hal yang penting bagi masa kini dan masa depan mereka.
Dengan mengambil semua tindakan tersebut, perusahaan dapat menjadi pemain kunci dalam mengatasi perubahan iklim dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan, dengan dampak yang positif untuk anak-anak. Tetapi, itu semua hanya akan mulai terjadi bila perusahaan memang melihat anak-anak sebagai pemangku kepentingan mereka yang sah, sehingga apa yang menjadi hak-hak dan perhatian mereka bisa dipenuhi oleh perusahaan. Kalau perusahaan memang ingin beroperasi dalam jangka panjang, mereka harus mulai dengan mengubah bisnis inti, berinvestasi sosial, dan melakukan advokasi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan pemangku kepentingan yang bakal menggenggam masa depan.
Leave A Comment