Oleh: Jalal & Noviansyah Manap *

Selama beberapa tahun terakhir kami berkesempatan melihat dari dekat perkembangan wilayah penambangan dan pengolahan nikel di Sulawesi dan Halmahera.  Mineral ini telah lama diolah menjadi logam yang sangat penting untuk beragam kepentingan kehidupan modern.  Namun, lantaran dunia membutuhkannya untuk mengendalikan krisis iklim lewat transisi energi, maka permintaan terhadap nikel menunjukkan permintaan secara drastik.

Naiknya permintaan di level global tersebut disambut Indonesia dengan gembira.  Izin penambangan dan pengolahan diberikan dengan cepat untuk mengambil peluang peningkatan bisnis nikel ini.  Namun, dampak negatif dari percepatan itu juga kami saksikan dengan penuh kekhawatiran.  Yang paling menonjol, lantaran pemberitaan media massa secara massif, tentu saja adalah perselisihan antara perusahaan dengan pekerja dan masyarakat setempat.

Pada tanggal 5 Juni 2023 mereka yang mengatasnamakan masyarakat Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, melakukan unjuk rasa terhadap PT Antam, Tbk terkait dengan aktivitas penambangan di Blok Mandiodo.  Sebelumnya, PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang berada di Morowali Utara, Sulawesi Tengah juga bergejolak.  Bentrokan yang disebutkan pada berita-berita terjadi antara Tenaga Kerja Asing (TKA) dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terjadi pada Sabtu malam, 14 Januari 2023, menghasilkan kerusakan infrastruktur, korban luka-luka, serta dua orang meninggal dunia.  Pada penghujung 2020 PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), sebuah perusahaan pengolah nikel, atau smelter, di Konawe, Sulawesi Tenggara, yang juga mengalami bentrokan dengan pekerjanya dengan kerusakan bangunan dan kendaraan yang tidak sedikit.  Dua kejadian yang disebut belakangan ini jauh lebih parah dampaknya dibandingkan yang disebutkan pertama.

Sebagian besar pemberitaan tentang protes masyarakat dan bentrokan antar-pekerja di GNI, maupun sebelumnya di VDNI, cenderung berpusat pada pemicu kejadian saja.  Namun, Menurut hemat kami, sesungguhnya ada banyak konteks ekonomi, sosial, dan lingkungan yang penting menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan.  Bagaimanapun, pemahaman parsial atas kejadian-kejadian tersebut tidak akan pernah benar-benar menyelesaikan masalah, sehingga kemungkinan besar kejadian tersebut akan terulang kembali di pertambangan dan smelter yang berada di beberapa lokasi di Pulau Sulawesi, dan juga di Pulau Halmahera.

Beberapa konteks ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dalam pengamatan kami sangat penting untuk menjadi perhatian adalah sebagai berikut:

Manfaat Ekonomi Tak Optimal untuk Masyarakat Lokal 

Pembebasan lahan yang dianggap tidak adil.  Seluruh projek smelter melakukan pembebasan lahan secara massif, bertahap, dan melalui perantara.  Pembebasan lahan itu dilakukan melalui camat setempat yang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.  Sebagai pejabat pembuat akta tanah, mereka berhak mendapat imbal jasa sebesar 1% dari harga tanah yang ditransaksikan.  Hal ini membuat para camat cenderung membujuk dan menekan warga untuk menjual lahan secepatnya.  Lantaran sangat luasnya lahan yang dibebaskan, pembebasan berlangsung bertahap, dan setiap tahapan meningkatkan harga tanah secara cepat.  Banyak spekulan tanah—dengan data yang dibocorkan oleh para pejabat daerah, dan sebagian besar merupakan kerabat atau kroni para pejabat itu—yang membeli tanah, untuk kemudian dijual kepada perusahaan ketika harganya semakin tinggi.  Mengetahui harga tanah yang terus meroket, dan harga yang tinggi itu dinikmati oleh orang lain, masyarakat setempat cenderung memiliki kekecewaan kepada perusahaan bahkan sebelum periode konstruksi. Spekulan tanah juga menyebabkan terjadinya tumpang tindih klaim lahan dan pembayaran ganti rugi lahan sering terjadi kepada yang tidak berhak. Pada banyak kejadian, perusahaan karena sudah membayar uang ganti rugi tidak mau lagi berurusan dengan pengklaim lahan yang sebenarnya berhak.

Masuknya tenaga kerja luar daerah dalam jumlah yang luar biasa besar.  Karena membutuhkan lahan yang luas, tidak ada satupun kawasan yang dipergunakan untuk penambangan dan smelter nikel itu berada pada wilayah yang penduduknya cukup besar.  Periode konstruksi meningkatkan jumlah penduduk dalam jumlah yang besar dan sangat cepat.  Beberapa kecamatan melaporkan peningkatan jumlah penduduk lebih dari 5 kali lipat dalam waktu 2 atau 3 tahun saja.  Jumlah pendatang yang sangat besar itu tetiba membuat penduduk lokal menjadi minoritas di kampungnya sendiri.  Perasaan menjadi minoritas pertama kali mereka rasakan dalam hidup, dan menjadi tekanan yang tidak ringan.  Bentrokan antara penduduk lokal dan pendatang (yang juga merupakan warga negara Indonesia dari kabupaten atau provinsi lain) sebetulnya sering terjadi, namun cenderung tidak dilaporkan di media-media massa, karena skalanya lebih kecil.

Meroketnya harga-harga kebutuhan pokok secara cepat.  Industrialisasi yang terjadi di wilayah-wilayah yang tadinya didominasi pendapatannya dari sektor pertanian membawa konsekuensi peningkatan harga.  Untuk kelompok rentan yang tadinya tak memiliki tanah untuk dijual kepada projek, peningkatan harga yang terjadi benar-benar menekan hidup mereka.  Kelompok masyarakat lokal yang tadinya menjual tanahnya kebanyakan menyesal karena merasa harga jualnya terlampau murah, sehingga mereka tak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak.  Mereka juga tak bisa membeli lahan dengan ukuran yang sama untuk meneruskan nafkah dari pertanian yang tadinya mereka jalani.  Sementara, kebanyakan pekerja konstruksi dan operasi projek juga merasa bahwa gaji mereka tidaklah memadai lantaran harga-harga yang lebih tinggi daripada yang mereka perkirakan sebelumnya.  Hal ini lah yang membuat mereka terus-menerus menuntut perusahaan untuk meningkatkan status mereka menjadi pekerja tetap dan/atau meningkatkan gaji yang mereka terima.

Peluang kerja yang tak benar-benar bisa dinikmati masyarakat lokal.  Masyarakat lokal yang bisa bekerja pada periode konstruksi, apalagi operasi, projek smelter nikel sangatlah sedikit.  Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang tidak kompatibel dengan kebutuhan projek, maka masyarakat setempat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang makin mereka butuhkan untuk bisa keluar dari tekanan ekonomi yang mereka rasakan.  Namun, yang banyak terjadi di lokasi projek adalah perluasan pengertian lokal, menjadi mereka yang berasal dari kabupaten atau provinsi yang sama, atau bahkan warga negara Indonesia.  Praktik untuk memindahkan alamat KTP para pekerja konstruksi dari wilayah asal mereka ke lokasi projek juga sangat marak terjadi.  Dengan memindahkan alamat pada KTP, mereka bisa mendapatkan perlakuan preferensial sebagai penduduk lokal.  Hal ini makin membuat penduduk lokal semakin tidak nyaman, dan menggerus kepercayaan kepada perusahaan maupun aparat pemerintah daerah.

Pengelolaan Sosial yang Setengah Hati

Pengembangan masyarakat yang tidak memadai.  Dalam situasi di mana dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang negatif untuk masyarakat lokal—walaupun pemerintah daerah terus melaporkan pendapatan daerah yang meroket akibat projek-projek itu—harapan masyarakat banyak ditumpukan kepada program pengembangan masyarakat oleh perusahaan.  Namun, harapan itu tidak cukup terpenuhi.  Projek smelter yang berada pada ranah kerja Kementerian Perindustrian tidak pernah dituntut oleh regulasi untuk melakukan pengembangan masyarakat dengan ketat.  Ini berbeda dengan pertambangan yang berada di ranah kerja Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.  Lantaran begitu, perusahaan cenderung untuk melakukan pengembangan masyarakat sekadarnya, dan cenderung bersifat karitatif belaka, tanpa upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.  Donasi untuk pembuatan pagar kantor desa atau fasilitas sosial banyak diberikan perusahaan, namun projek-projek untuk meningkatkan usahatani, atau usaha rumah tangga, yang dituntut masyarakat, tidaklah diwujudkan.  Lebih jauh lagi, perusahaan cenderung memberikan dana pengembangan masyarakat kepada pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten, lalu menganggap bahwa tugas pengembangan masyarakat sudah selesai.  Sementara, dari pemerintah daerah dana tersebut juga tidak dengan tepat diwujudkan menjadi program yang meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.  Prasangka bahwa dana pengembangan masyarakat dikorupsi oleh pekerja perusahaan, dan aparat pemerintahan, sangat kerap disampaikan oleh masyarakat.

Perhatian yang tidak memadai atas kesehatan dan keselamatan kerja.  Dengan dominasi pemodal asal Tiongkok di dalam projek-projek smelter nikel, maka standar kerja yang dibawa cenderung mengikuti standar perusahaan-perusahaan Tiongkok yang pragmatis.  Perusahaan Tiongkok bisa menegakkan standar kesehatan dan keselamatan kerja yang baik manakala mereka beroperasi di negara-negara yang memiliki regulasi yang ketat dan ditegakkan.  Namun, aturan kesehatan dan keselamatan kerja di projek-projek mereka di Indonesia cenderung diabaikan hingga titik ekstrem.  Banyak kecelakaan kerja telah terjadi, namun penyelidikan mendalam atas penyebabnya tidak dilakukan, alih-alih tindakan perbaikan yang memadai.  Baik pada kasus GNI, dan sebelumnya pada kasus VDNI, tuntutan untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja sudah disampaikan. Masih ada tuntutan pekerja yang meminta keselamatan kerja, kondisi pekerjaan yang nyaman dan aman merupakan hal yang aneh tapi nyata, karena ini merupakan hal yang wajib dan harus dipenuhi oleh perusahaan sebelum memekerjakan tenaga kerjanya.   Kecelakaan fatal di GNI pada bulan Desember 2022, yang menewaskan 2 orang, telah membuat pekerja kembali meminta perbaikan kondisi, namun cenderung diabaikan oleh perusahaan.

Perlakuan berbeda dari perusahaan untuk tenaga kerja asing.  Dalam kondisi hubungan antara tenaga kerja Indonesia, termasuk lokal, dengan perusahaan yang memburuk dengan cepat, para pekerja itu menyaksikan perlakuan yang berbeda untuk para tenaga kerja asing.  Para tenaga kerja asing dilaporkan mendapatkan asrama yang terdekat, atau bahkan di dalam, lokasi projek; mereka diperkenankan untuk menggunakan kendaraan hingga lokasi kerjanya; dan makan siang di kantin yang disediakan perusahaan.  Sementara, para tenaga kerja Indonesia tinggal di asrama yang lebih jauh, atau bahkan tidak mendapatkan fasilitas asrama, dan harus mengeluarkan uang untuk tanggal di antara masyarakat; mereka harus memarkir kendaraannya, kebanyakan motor, jauh dari tempat kerjanya; dan makan di kantin yang berbeda, atau bahkan kebanyakan harus mencari makan siang di luar kawasan projek, sehingga waktu istirahatnya sangat sedikit.  Perlakuan berbeda ini banyak menjadi gunjingan di antara tenaga kerja Indonesia, dan membuat hubungan terus merenggang.    Di sisi lain, pemerintah daerah mendapatkan keuntungan dari (semakin) banyaknya jumlah tenaga kerja asing, karena pengenaan retribusi kepada setiap pekerja. Jumlah restribusi yang ditarik mencapai puluhan miliar rupiah per tahun.  Menurut banyak pihak, ini juga yang menyebabkan terkadang pemda dianggap ‘terlalu’ membela keberadaan tenga kerja asing dan abai meminta kepada perusahaan-perusahaan untuk mengelola pekerja asingnya dengan baik dan taat regulasi lokal dan nasional.  Mereka khawatir penegakan regulasi akan membuat berkurangnya tenaga kerja asing, yang akan mengurangi pemasukan APBD kabupaten, dan pemasukan untuk kantong mereka sendiri.

Prasangka rasial terhadap suku Tionghoa dan keturunannya.  Tidak bisa dimungkiri bahwa hubungan antara penduduk Indonesia ‘pribumi’ dengan keturunan Tionghoa tidak pernah benar-benar mulus.  Pembagian penduduk masa penjajahan Belanda yang membuat warga Eropa sebagai kelas 1, keturunan Tionghoa dan Arab sebagai kelas 2, dan pribumi sebagai kelas 3, maka ketegangan antar-kelompok ini masih terus tersisa.  Berbagai peristiwa kerusuhan di Indonesia terhadap mereka yang keturunan Tionghoa, walau sudah beberapa generasi menjadi warga Indonesia, terus terjadi.  Media sosial hingga sekarang terus dipenuhi ujaran rasis terhadap mereka.  Ketika investasi dari Tiongkok mulai membanjiri Indonesia—walau hingga sekarang belum menjadi majoritas—ujaran kebencian terus meningkat.  Hoaks terkait dengan masuknya tentara asal Tiongkok lewat penerbangan-penerbangan ke Sulawesi banyak beredar. Termasuk dengan melebih-lebihkan jumlah tenaga kerja asing yang masuk wilayah ini sampai jutaan orang pekerja.  Kabar burung soal bagaimana mereka bakal menjajah Indonesia juga beredar.  Ketika kekecewaan terhadap perusahaan dan personel yang berasal dari Tiongkok, seperti projek-projek smelter nikel, prasangka ini terus mencuat dan menyulut tindakan yang buruk.

Sensitivitas budaya yang tidak memadai dari para tenaga kerja asing.  Di sisi lain, para tenaga kerja asal Tiongkok juga dilaporkan tidak memiliki sensitivitas budaya bahkan pada level yang paling dasar sekalipun.  Kebanyakan pekerja asal Tiongkok sama sekali tidak berbahasa Indonesia maupun Inggris.  Hal ini sangat menyulitkan komunikasi antar-pekerja.  Pelatihan sensitivitas budaya, terutama soal apa yang ditabukan di masyarakat setempat tampaknya tidak pernah dilakukan.  Pada beberapa kejadian, yang menyulut pertengkaran antar-pekerja adalah konsumsi minuman beralkohol di tempat terbuka, yang dianggap menyinggung perasaan masyarakat yang dominan Muslim dan mengharamkan konsumsi alkohol.  Tenaga kerja asing yang ‘terkurung’ di dalam lokasi industri kadang-kadang dianggap mengganggu ketika mendekati pekerja perempuan atau perempuan di desa sekitar.  Waktu istirahat yang sama, sementara para pekerja Muslim sebagiannya harus keluar lokasi projek untuk makan siang dan menunaikan salat, karena hanya sebagian tenan kawasan industri yang memiliki fasilitas kantin dan musala, juga kerap dinyatakan sebagai bukti insensitivas.

Tidak berjalannya mekanisme penangangan keluhan.  Peristiwa-peristiwa kerusuhan pekerja yang terjadi sebetulnya selalu didahului dengan tuntutan pekerja.  Walaupun, di satu sisi, sangat jelas bahwa tuntutan tersebut tidaklah sepenuhnya hanya berasal dari kepentingan para pekerja untuk bisa mendapatkan kondisi kerja dan kesejahteraan lebih baik, di sisi lain tindak lanjut atas tuntutan-tuntutan yang masuk akal—bahkan sesungguhnya hanya urusan kepatuhan pada regulasi—tidak dipenuhi.  Projek-projek pengolahan nikel yang baru tampaknya tidak memiliki mekanisme untuk menerima keluhan dan menyelesaikannya secara memadai.  Hal ini sangat jelas terlihat juga pada keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pemangku kepentingan lain, terutama masyarakat lokal kepada perusahaan.  Dalam kondisi yang demikian, seluruh masukan pemangku kepentingan menjadi tidak terekam dengan baik, dan tindak lanjutnya tak bisa diketahui oleh mereka yang mengajukan keluhan.  Eskalasi dari keluhan, menjadi ketegangan, lalu kerusuhan menjadi seperti keniscayaan.

Pengelolaan Lingkungan yang Jauh dari Memadai

Pengelolaan sampah yang jauh dari memadai.  Sampah yang menggunung adalah pemandangan yang menjadi penanda lokasi projek-projek smelter nikel.  Bau busuk sampah, pada waktu-waktu tertentu, bisa tercium dari jarak beberapa kilometer.  Banjir dan genangan air banyak terjadi di sekitar projek-projek itu, membuat sampah yang tadinya ditumpuk di pinggir jalan kemudian tersebar lebih jauh.  Peningkatan jumlah pekerja yang besar dan cepat membuat di satu sisi sampah menjadi sangat besar jumlahnya, dan di sisi lain membuat pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya dengan benar.  Walau sudah menjadi pemandangan sehari-hari, dan dalih sampah sebagai ekses kemajuan ekonomi disampaikan, sesungguhnya masyarakat lokal sangatlah terganggu dengan kondisi ini.  Pengelolaan dampak pendatang (influx management) yang tidak diperhatikan baik oleh perusahaan maupun pemerintah setempat membuat bukan saja sampah tidak terkendali dan tidak terkelola, kondisi pemukiman pendatang juga memprihatinkan. Pekerja industri yang berasal dari luar wilayah, dan pendatang yang berusaha di sektor non-formal, bercampur baur dalam pemukiman yang tidak layak huni.  Lantaran pemukiman berada di lokasi di mana sampah menumpuk dan sangat padat, para pekerja menyatakan bahwa rumah kontrakan atau bedeng-bedeng hanyalah tempat untuk beristirahat sejenak, bukan sebagai rumah yang nyaman.

Kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.  Pantai dan pesisir di mana terdapat projek-projek smelter nikel berada menunjukkan kerusakan yang parah, dan air laut cenderung menjadi keruh.  Dampak lingkungan ini membuat perusahaan menjadi tidak popular di mata masyarakat lokal, dan para pekerjanya sendiri juga mengalami ketidaknyamanan dan kesulitan dalam mencapai dan pulang dari lokasi kerja, terutama di musim hujan.  Masyarakat setempat yang memiliki mata pencarian sebagai nelayan telah berkali-kali melancarkan protes lantaran pendapatan mereka menurun drastik, dan mereka harus pergi semakin jauh untuk mendapatkan tingkat pendapatan yang sama.  Beberapa desa nelayan melaporkan bahwa mereka tak bisa lagi memroduksi rumput laut dan melakukan budidaya teripang.

Proses amdal yang dipercepat, dengan hasil yang buruk.  Beragam studi telah dilakukan di seluruh dunia bahwa lantaran dunia membutuhkan sumber-sumber mineral untuk elsktrifikasi dan energi terbarukan, maka proses perizinan cenderung dipercepat.  Termasuk di dalamnya adalah proses analisis dampak lingkungan (amdal)—yang seharusnya tidak diperlakukan sebagai bagian dari perizinan belaka.  Secara umum, akibat dari percepatan ini adalah mutu amdal yang buruk.  Beberapa organisasi masyarakat sipil telah mengajukan protes atas tidak memadainya proses dan hasil amdal projek-projek itu sejak lama, namun tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari perusahaan maupun dari pemerintah daerah.   Ketika isi amdal dicermati, terungkap bahwa perusahaan-perusahaan pengolahan industri nikel di wilayah ini hanya menganggap wilayah dampak operasi adalah desa-desa di mana lokasi industri berada.  Tapak dampak yang sesungguhnya lebih luas, karena misalnya pekerjaan konstruksi mendatangkan bahan dari banyak lokasi, dan alat-alat berat keluar-masuk wilayah, cenderung tidak diperhitungkan sama sekali.  Dampak terhadap lingkungan cenderung sangat minim diperhatikan, termasuk gangguan kepada mata pencaharian nelayan kecil di perairan pantai dan laut dekat pesisir.  Karena perhatian terhadap wilayah dan jenis dampak yang tak memadai, maka tindakan pengelolaan dan pemantauan dampak juga menjadi minim.  Baik perusahaan maupun pemerintah daerah cenderung mengabaikan dampak-dampak yang sesungguhnya sangat mudah untuk dilihat di lapangan.

Konteks yang Lebih Luas: Sumber Pembiayaan dan Kepentingan Elite

Sumber pembiayaan dan konsumen yang menegakkan berkalanjutan relatif langka.  Perusahaan-perusahaan cenderung mengabaikan pengelolaan lingkungan dan sosial, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja, karena tidak ada mekanisme yang memaksa mereka untuk patuh terhadap regulasi, apalagi melampauinya.  Dengan menggunakan pembiayaan sendiri, investor dari Tiongkok tidak mendapat tekanan dari lembaga keuangan internasional yang memiliki persyaratan yang ketat dalam pemenuhan kinerja lingkungan, sosial, dan tatakelola (ESG).  Lembaga keuangan internasional sangat takut dan tidak mau reputasi bisnisnya rusak akibat projek yang dibiayainya melakukan pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan, pelanggaran terhadap hak-hak pekerja, merugikan masyarakat lokal dan adat, serta terjadinya proses pemiskinan terhadap masyarakat lokal yang kehilangan penghidupan akibat dampak operasi perusahaan.  Pembeli produk-produk tambang dan smelter yang ketat dengan kinerja sosial dan lingkungan juga memiliki kemampuan untuk memaksa produsen untuk memperbaiki kinerja sosial dan lingkungan sebagai syarat pembelian.  Namun, lantaran model investasi pada berbagai kawasan pengolahan nikel umumnya dibiayai dengan dana sendiri dan hasil produknya dipakai oleh industri yang dibiayai dari kelompok mereka sendiri, maka tidak ada kekuatan eksternal yang memaksa perusahaan-perusahaan ini untuk taat regulasi dan standar internasional yang lebih ketat dan hati-hati.

Kepentingan elite ekonomi dan politik lokal.  Sudah bukan rahasia lagi bahwa para elite ekonomi dan politik lokal memiliki kepentingan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar dari projek-projek itu, termasuk untuk membiayai ambisi politik mereka.  Oleh karena itu, mereka ingin menjadi subkontraktor projek, atau bahkan sekadar meminta setoran uang dalam jumlah tertentu kepada perusahaan-perusahaan.  Ketika mereka tidak puas dengan hasilnya, mereka menggerakkan organisasi tertentu untuk menekan perusahaan.  Hampir seluruh organisasi pekerja di Sulawesi sebetulnya merupakan perpanjangan tangan dari elite ekonomi dan politik lokal.  Tidak mengherankan bila organisasi-organisasi pekerja di sana biasanya cenderung menekan perusahaan dengan keras, alih-alih merundingkan tuntutan dengan dialog yang beradab.  Mereka juga membenarkan, kalau bukan malahan menganjurkan, penggunaan kekerasan dalam demonstrasi, agar tuntutan mereka bisa dipenuhi perusahaan.  Organisasi masyarakat sipil lainnya, yang bergerak dalam pembangunan sosial atau lingkungan, juga banyak yang merupakan perpanjangan tangan elite lokal—walau banyak juga yang bekerja untuk kepentingan keadilan sosial dan lingkungan dengan tulus.  Di sisi yang lain, karena kepentingan ekonomi sangatlah dominan, maka para elite itu, termasuk yang duduk di birokrasi dan parlemen, tidaklah dengan sungguh-sungguh menegakkan regulasi.

Akankah Datang Perbaikan yang Dibutuhkan? 

Social license to operate projek-projek smelter nikel yang didominasi investasi asing dari Tiongkok pada dasarnya memang rendah.  Masyarakat lokal cenderung membiarkan—bukan sepenuhnya mendukung—keberadaan mereka lantaran ekspektasi ketenagakerjaan, peluang bisnis, atau pengembangan masyarakat.  Tetapi hubungan antara mereka dan perusahaan terus menerus ada dalam ketegangan, yang setiap saat bisa meledak.  Projek-projek itu menggunakan aparat keamanan untuk bisa terus beroperasi dan ‘preman’ untuk menundukkan siapapun yang dianggap mengganggu operasi perusahaan, alih-alih mengembangkan hubungan yang konstruktif dengan seluruh pemangku kepentingannya.

Hingga sekarang, tidak terlihat adanya perbaikan yang sungguh-sungguh atas situasi tersebut.  Oleh karena itu, kemungkinan kerusuhan-kerusuhan berikutnya sangatlah besar.  Kecuali, apabila dalam waktu dekat ada perubahan-perubahan mendasar dari kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola dari perusahaan-perusahaan yang mengelola projek-projek tersebut.  Itupun belum merupakan jaminan, mengingat kepentingan elite lokal, yang sangat terkait dengan elite nasional, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari projek-projek itu sangatlah besar, yang membuat penegakan aspek tata kelola menjadi tantangan yang sangat besar.

Di sisi yang lain, sangat perlu diingat bahwa penambangan dan pengolahan nikel kini sangat dikaitkan dengan penyelamatan dunia lewat transisi yang adil (just transition).  Sebagian dari projek-projek yang kini ada di Indonesia juga mendapatkan pendanaan dari bank dan investor yang menegakkan standar internasional seperti IFC Performance Standards dan International Council on Mining and Metals (ICMM) Mining Principles.  Beberapa pembeli telah memersyaratkan pemanfaatan The Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).  Pemanfaatan perspektif transisi yang adil dan standar-standar internasional sangat perlu didukung dengan sungguh-sungguh, dan ditunjukkan keberhasilannya, agar projek-projek penambangan dan pengelolaan nikel di Indonesia bisa semakin lancar operasinya, lantaran semakin banyak pemangku kepentingan yang mendapatkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan.

–##–

* Jalal (Pendiri) dan Noviansyah Manap (Direktur Eksekutif) A+ CSR Indonesia