Oleh: Swary Utami Dewi *

Arif Samil, seorang lulusan ITB yang menggeluti isu manajemen dan pengembangan diri serta penggiat sains-spiritualitas, dalam diskusi Cak Nurian 19 Mei 2020 malam, membahas materi sains dan spiritualitas dan bagaimana keduanya bisa bertemu. Arif memulai penjelasannya dengan pemaparan singkat sejarah pertentangan antara sains dan agama dan kemudian melihat bagaimana dua hal ini pada akhirnya dijembatani oleh Fisika Kuantum.

Arif memulai penjelasannya dengan memaparkan bahwa dalam sejarah, pernah terjadi apa yang dikenal sebagai “the great divorce” atau “perceraian agung”, saat terjadi pertentangan hebat antara agama dan sains. Momen yang paling dicatat adalah adanya dua ilmuwan (Galileo Galilei dan Nicolas Copernicus) yang mendapat hukuman dari gereja karena menggeluti dan mempercayai pandangan Heliosentris (matahari sebagai pusat semesta). Kalangan gereja yang saat itu berpegangan pada aliran Geosentris (bumi sebagai pusat semesta) merasa terganggu karena pandangan tersebut bisa menggoyang otoritas gereja yang sudah bertengger kuat sejak lama.

Kemudian umat manusia mengalami era Renaissance, dan lalu masuk ke Revolusi Industri yang menjadikan sains sebagai lokomotif dan agama tidak lagi mendominasi. Pertentangan keduanya terus berlanjut. Belakangan, muncul Fisika Kuantum yang dipandang mampu menjembatani sains dan spritualitas.

Apakah Fisika Kuantum itu sendiri dan bagaimana Fisika Kuantum bisa menjadi jembatan antara sains dan spiritualitas? Kita mulai dari pengertian apa itu Fisika Kuantum. Secara sederhana Fisika Kuantum bisa dilihat sebagai ilmu tentang perilaku/karakteristik/sifat materi dan energi pada molekul, atom, sub-atomik bahkan yang lebih kecil lagi dari sub-atomik. Dalam fisika kuantum, kita berurusan dengan ukuran pada skala sangat kecil hingga teramat sangat-sangat kecil, dan bahkan di bawah sub-atomik guna mempelajari karakteristik/sifat partikel tersebut, termasuk ruang dan waktu.

Fisika kuantum sebagai cabang ilmu fisika memang tergolong baru dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Meski baru, ilmu inilah yang dipandang “berjasa” menjembatani sains dan spiritualitas. Bagaimana Fisika Kuantum bisa menjadi jembatan keduanya? Harus diakui, pemaparan Arif lumayan “berat” dan tidak mudah dicerna dalam sekali pertemuan, apalagi bagi awam seperti saya yang tidak menekuni Fisika Kuantum. Namun secara sederhana, ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi untuk memudahkan pemahaman awal. Penjelasan Arif Samil bersama Prof. Komaruddin Hidayat membawa saya pada pemahaman berikut ini.

Pertama, para ilmuwan Fisika Kuantum bersepakat bahwa alam semesta dimulai dari suatu ledakan besar (Big Bang) yang terjadi milyaran tahun lalu. Big Bang ini menghasilkan isi alam semesta yang terlihat dan pola energi yang tak terlihat yang mengisi ruang kosong di antara seluruh benda yang ada di alam semesta. Perlu digarisbawahi bahwa pola energi ini menghubungkan seluruh benda yang ada, baik benda hidup maupun mati.

Kemudian saya diajak merenung, bahwa dalam kehidupan ini, kita kerap memiliki keyakinan yang keliru mengenai dua hal, yakni space (ruang) dan inner experience (pengalaman personal). Terkait ruang, kita cenderung memiliki keyakinan bahwa ruang antara diri kita dengan apapun di luar diri kita adalah kosong (empty space). Tidak ada apapun yang mengisi. Kemudian, terkait pengalaman, manusia kerap memahami bahwa pengalaman personal (baik dalam bentuk pikiran, perasaan, emosi, maupun keyakinan) tidak memiliki pengaruh atau dampak apapun terhadap semua yang berada di luar diri kita (outer space).

Terkait hal tersebut di atas, Fisika Kuantum menemukan bahwa ternyata di antara diri kita dengan yang lain ada ruang yang tidak semata-mata kosong. Ternyata ada pola energi yang tak terlihat yang mengisi ruang kosong di antara seluruh benda yang ada di alam semesta. Kita kerap keliru menganggapnya kosong, karena energi tersebut kasat mata, padahal “ruang kosong” tersebut bukanlah kosong.

Kemudian terkait inner experience, ternyata segala bentuk pengalaman kita berdampak terhadap apa yang ada di luar diri kita. Bagaimana Fisika Kuantum menjelaskan hal ini? Dalam Fisika Kuantum ditemukan bahwa ada pola energi kasat mata yang menghubungkan semua benda yang ada di alam senesta ini. Ini artinya, segala apapun yang kita fikirkan, rasakan serta yang kita alami berpengaruh pada apa yang ada di luar diri kita. Dengan kata lain, setiap dari kita terhubung dengan yang lain, baik itu dengan manusia maupun benda lainnya. Lebih lanjut, Fisika Kuantum menegaskan bahwa setiap interaksi antara individu dengan setiap mahluk atau apapun di luar dirinya akan mempengaruhi segala sesuatu di alam semesta ini.

Ringkasnya, apa yang semula kita duga sebagai “ruang kosong”, nyatanya merupakan wadah yang menampung seisi alam semesta dan juga menjadi penghubung segala sesuatu, sekaligus menjadi cermin dari apa yg telah kita alami dan lakukan. Semua hubungan, pengaruh dan cerminan ini diatur dan dikendalikan oleh “suatu kekuatan”, yang oleh Max Planck (Bapak dari Teori Kuantum) disebut sebagai Matrix, oleh Gregg Braden dinamai Divine Matrix, oleh Michio Kaku dikatakan sebagai Quantum Hologram, dst, dst.

Jika dalam Fisika Kuantum, pola energi atau kecerdasan yang mengatur alam semesta ini disebut sebagai Matrix atau apapun penamaan lainnya, maka dalam pandangan spiritualitas yang mengatur dan mengendalikan semesta ini dinamai sebagai Tuhan, Ilahi, Yang Kuasa, Maha Pencipta dan sebutan-sebutan religius lainnya.

Bagi saya, pemahaman (yang bisa jadi masih harus dikoreksi ini), diskusi kali ini setidak-tidaknya memberikan pencerahan bahwa segala fikiran, tindakan, perasaan, rencana dan sikap kita ternyata berdampak bagi yang lain. Karena berdampak, maka jika berfikiran jelek misalnya, itu akan berpengaruh pada apapun yang ada di luar kita. Maka tidaklah heran jika kita melihat seorang ibu yang gelisah saat mengurus bayinya berdampak pada bayi yang gelisah pula. Atau seorang koki yang memasak saat suasana hatinya sedang tidak nyaman, akan membuat masakan tersebut menjadi tidak sedap. Begitu pula ketegangan yang dimiliki seorang pemimpin akan berpengaruh pada mereka yang dipimpinnya.

Menyadari hal ini, secara praktis, kita sebagai manusia yang ditakdirkan untuk punya daya pilih, kemudian bisa memilih dan menentukan untuk bisa berfikir, merasa, bersikap yang lebih baik sehingga dunia sekitar kitapun menjadi lebih baik pula. Lalu, dalam konteks manusia sebagai mahluk spiritual, temuan dari riset Fisika Kuantum ini sekaligus memberikan afirmasi dari kekuatan doa. Ia juga mengafirmasi bahwa jika kita selalu menumbuhkan perasaan dan pikiran positif, maka pengaruh yang muncul akan positif pula, baik bagi diri dan lingkungan kita.

Maka, mampukanlah diri kita untuk selalu bisa mengisi dan memperkaya kalbu kita sehingga bisa senantiasa memancarkan energi positif. Dengan demikian, bagi yang Muslim misalnya, dzikir pada Allah dan bersholawat pada Rasulullah akan menjadikan qalbu kita selalu terkoneksi dengan Allah sebagai Sumber Cahaya, Cahaya di atas cahaya.

–##–

* Swary Utami Dewi adalah anggota dan pegiat Urban Sufism Society dan Satupena