Oleh: Swary Utami Dewi “

Hasan, 39 tahun, adalah seorang nelayan sekaligus pekebun di wilayah pesisir mangrove di Desa Wonggarasi Tengah, Kabupaten Pohuwatu, Gorontalo. Bersama istri dan anak laki-laki pertamanya yang berusia 21 tahun, mereka sedang mencari biadara (kerang dara) saat aku berkunjung ke desanya, Desa Wonggarasi Tengah di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Aku menggunakan perahu sederhana berukuran kecil yang bisa memuat 4 orang. Kaki harus ditekuk selama perjalanan menggunakan perahu ini. Untungnya ada terpal sederhana yang bisa menjadi atap darurat penahan teriknya matahari di atas bumi Gorontalo.

Meski tidak bisa duduk tegak dan sesekali kepala terbentur ‘atap’ namun perjalanan singkat memutari kawasan mangrove Desa Wonggarasi Tengah berjalan lancar. Aku ditemani Tri Sidiki, sang ketua Kelompok Tani (KT) Mangrove yang menjadi pelaksana kegiatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Mangrove 2021 di Desa Wonggarasi Tengah. Juga turut serta di perahuku Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Bone Bolango, Heru Permana, serta Fajar Cahya Nugroho, staf dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Di perahu lain ada Nugroho Adi Utomo dan Lisa Anissa (staf BRGM), serta beberapa staf BPDASHL Bone Bolango, KPH setempat, Kepala Desa Wonggarasi Tengah dan anggota KT Mangrove lainnya.

Selama lebih satu jam perahu bermesin keras memekakkan telinga ini membawaku berkeliling melihat berbagai aktivitas masyarakat di pesisir mangrove Desa Wonggarasi Tengah. Ada yang sedang membawa hasil panen budidaya rumput laut dengan perahu dari pulau kecil sekitar. Ada juga yang sedang mencari ikan dengan jala atau pancing sederhana. Beberapa orang nampak berdiri berendam air setinggi dada. Mereka inilah para pencari kerang dara atau dalam bahasa setempat disebut ‘biadara’. Salah satu dari mereka adalah Hasan.

Saat kusambangi, Hasan nampak begitu asyik dengan aktivitasnya. Menurut informasi salah seorang anggota KT Mangrove, cara mencari biadara adalah menggunakan ujung jari kaki untuk meraba dasar lumpur. Jika ujung kaki menyentuh cangkang kerang, maka yang bersangkutan segera membungkuk masuk ke air untuk memungut kerang tersebut dan memasukkannya ke dalam wadah yang sudah disiapkan.

Hasan nampak berjalan perlahan. Sesekali dia berjalan memutar dan merunduk. Badannya terendam air di atas pinggang. Bahkan air itu hampir setinggi dada orang dewasa. Dia sedikit pun tidak terganggu dengan kerasnya suara mesin saat perahu yang kutumpangi mendekatinya. Joki perahu kesulitan mematikan mesin sehingga saat pertama menyapa Hasan, aku berteriak cukup kencang. Dia menoleh tersenyum. Kulambaikan tangan dan Hasan mendekat. Saat seorang anggota KT Mangrove bernama Dendi mendekati perahu kami dan berhasil membantu mematikan mesin, lancarlah obrolanku dengan Hasan tanpa harus saling berteriak.

Hasan menceritakan saat musim mencari biadara tiba, dia dan keluarga turun ke air pesisir dari pagi hari untuk mencari biadara. Biasanya setiap hari, pasang laut akan tiba sejak pukul 12 atau 1 siang. Semakin lama air laut akan semakin tinggi hingga jam tertentu. Dan inilah waktu pulang beristirahat bagi Hasan dan keluarga dari mencari biadara. Ini juga berlaku bagi nelayan lain yang sudah berendam di air mangrove semenjak pagi untuk mengais rejeki dari mencari biadara atau kerang lainnya. Begitulah seterusnya ini dilakukan hingga musim tanam di kebun tiba.

Saat musim penghujan datang, itulah saat bertanam di kebun masing-masing. Beralihlah Hasan dan keluarga mengurus lahan. Dia mengungkapkan jagung adalah pilihan utama untuk ditanam. Terkadang Hasan, seperti halnya masyarakat lain di sini juga bertanam sayuran dan cabai. Ketika masa panen di kebun berlalu, Hasan dan keluarga kembali menekuni pekerjaan sebagai nelayan. Hasan bisa jadi cenderung memilih untuk tetap mencari biadara. Keluarga lain bisa jadi memilih menjala ikan, turut serta membudidayakan rumput laut atau apapun yang dianggap sesuai untuk ekosistem mangrove. Apapun itu, titik temunya tetap sama. Masyarakat Wonggarasi Tengah rata-rata menggabungkan mata pencaharian sebagai pekebun dan nelayan. Jika ditanya apakah mereka merupakan pekebun dan nelayan, masyarakat di sini akan menjawab dua-duanya. Dan secara turun temurun hal tersebut sudah dilakukan.

Dari cerita Hasan, kita bisa memahami apa arti penting ekosistem mangrove yang saling melengkapi dengan eksosistem darat. Ini tidak hanya di Wonggarasi Tengah, namun juga berlaku bagi daerah lain yang memiliki kondisi alam serupa. Perpaduan pesisir dan daratan ini memang menciptakan pola penghidupan yang khas. Terkait ekosistem mangrove, kehadiran PEN Mangrove 2021 di desa ini menjadi sangat tepat kiranya untuk memperkuat barisan bakau yang berdaya guna bagi masyarakat. Bakau yang tumbuh subur akan selalu menjadi tumpuan hidup Hasan dan banyak masyarakat lain yang menjalani tradisi penghidupan serupa.

–##–

* Swary Utami Dewi adalah Board Kawal Borneo, Climate Leader Indonesia, dan juga anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS).