Oleh: Jalal *
Dalam beberapa kesempatan baru-baru ini, saya mendapatkan banyak pertanyaan soal apakah secara umum kinerja lingkungan perusahaan-perusahaan di Indonesia memang benar-benar mengalami kemajuan atau sebetulnya jalan di tempat atau bahkan mundur. Saya merasa bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut perlu studi yang jauh lebih serius dibandingkan sekadar hasil pengamatan selintasan.
Saya juga mendapatkan pertanyaan yang lebih bersifat mikro, yaitu apakah perusahaan-perusahaan di Indonesia sebetulnya memang menunjukkan komitmen untuk menghijau, ataukah sebetulnya mereka lebih berpura-pura hijau, alias melakukan greenwashing. Saya bisa menunjukkan banyak contoh di kedua sisi, karena saya mengamati secara lekat perkembangan pengelolaan lingkungan (dan sosial) oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Tapi, lagi-lagi, saya tak ada dalam posisi bisa menilai mana yang lebih menonjol di antara keduanya. Saya tak memiliki data dalam skala yang cukup untuk membikin kesimpulan seperti itu.
Alih-alih, di tulisan ini, saya ingin mendiskusikan apa yang menurut saya penting untuk kita pergunakan sebagai tolok ukur sebuah perusahaan itu sungguh-sungguh dengan pengelolaan lingkungannya atau tidak. Buat saya, kesungguhan perusahaan itu artinya juga sesuai dengan konteks situasi mutakhir dan tantangan masa depan. Perusahaan tidaklah mengelola lingkungan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan pemangku kepentingannya, termasuk generasi mendatang yang membutuhkan lingkungan yang baik, beserta sumberdaya alam yang ada di dalamnya, untuk menopang kehidupan yang berkelanjutan.
Belum terlalu lama saya menyaksikan bahwa pembicaraan tentang apa itu purpose dari perusahaan. Salah satu pernyataan soal itu adalah bahwa “The purpose of business is to produce profitable solutions to the problems of people and planet, and not to profit from producing problems for people and planet.” Kalimat itu dituliskan oleh Profesor Colin Mayer dari Universitas Oxford, dalam bukunya yang sangat terkenal, Prosperity: Better Business Makes the Greater Good, yang terbit di tahun 2018.
Penjelasan itu, buat saya, memberikan pembedaan paling penting antara perusahaan yang baik, yaitu yang mendapatkan keuntungan lantaran memberikan solusi atas persoalan lingkungan; dengan perusahaan yang buruk, yaitu yang mendapatkan keuntungan dengan merusak lingkungan. Di tengah-tengahnya tentu ada perusahaan yang mendapatkan keuntungan tanpa merusak, namun juga tak memberikan solusi atas persoalan lingkungan.
Turunan dari pemahaman itu kemudian menjadi sangat penting. Apapun kondisi perusahaan sekarang, ia bisa memperbaiki diri untuk jadi perusahaan yang baik, apabila memang ia berada dalam industri yang bisa menjadi bagian dari solusi atas persoalan lingkungan. Kalau kita ambil contoh isu perubahan iklim, jelas bahwa dekarbonisasi adalah solusi terpentingnya. Dekarbonisasi bisa dilakukan dengan pemanfaatan energi terbarukan untuk elektrifikasi, sehingga seluruh perusahaan yang berada pada rantai nilai itu—termasuk perusahaan tambang yang memasok material penting untuk pembangkitan listrik tenaga angin, matahari, dan panas bumi serta untuk penyimpanan dalam baterei dan konduksi listrik melalui kabel—bisa masuk ke dalam perusahaan yang memberi solusi itu.
Tetapi, tentu saja, ada di dalam rantai pasokan solutif itu tak semata-mata membuat mereka menjadi perusahaan yang baik dalam pengelolaan lingkungan. Untuk menjadi demikian, perusahaan-perusahaan perlu melihat isu-isu lingkungan apa saja yang masuk ke dalam kategori material buat bisnis mereka dan buat para pemangku kepentingannya. Jadi, bukan hanya material pengelolaannya dari sudut pandang keuntungan perusahaan, melainkan juga untuk menopang kehidupan para pemangku kepentingannya. Seluruh isu yang material itu perlu dikelola dengan kinerja minimal tidak menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk bisa memanfaatkannya.
Dengan kinerja minimal demikian, maka sesungguhnya tak cukup lagi perusahaan yang punya isu material terkait air untuk menargetkan water balance. Tak cukup pula perusahaan yang menghasilkan emisi dalam jumlah besar untuk menargetkan emisi nol bersih (net zero emission). Dan seterusnya. Perusahaan-perusahaan yang mau dianggap baik harus menjadi water positive—memasukkan air ke dalam Bumi lebih banyak daripada yang diambilnya—dan carbon negative—menyerap karbon lebih banyak daripada yang dihasilkannya. Dengan jumlah penduduk yang semakin banyak di masa mendatang, jelas mereka membutuhkan sumberdaya alam yang lebih banyak. Jelas, strategi perusahaan yang baik haruslah berpusat pada upaya restorasi (mengembalikan ke kondisi semula) dan regenerasi (meningkatkan daya dukung lingkungan sesuai kebutuhan masa depan) yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah mutakhir tentang batas-batas planetari (planetary boundaries).
Tentu, target yang demikian tidak akan bisa dicapai dalam waktu singkat. Namun, perusahaan perlu dengan jelas menyatakan komitmennya, lalu membuat peta jalan dengan target-target antara. Saya menyaksikan bahwa perusahaan-perusahaan paling progresif kini telah memiliki target kinerja lingkungan di tahun 2025 dan 2030. Ada banyak di antara mereka yang misalnya membuat target 100% energi terbarukan di tahun 2030, atau bahkan emisi nol bersih di tahun tersebut. Di berbagai negara, target seperti itu memang sudah sangat dimungkinkan. Di negara-negara seperti Indonesia, tentu kontekstualisasinya dibutuhkan.
Agar benar-benar menunjukkan komitmen tertinggi pada konteksnya, tentu perusahaan-perusahaan perlu membuat indikator kuantitatif dan kualitatif yang sesuai dengan target yang dituju. Perusahaan juga perlu membuat theory of change dan/atau peta jalan untuk mencapai target yang sudah dinyatakan itu. Baik target, indikator, serta peta jalan yang dimiliki oleh perusahaan sangatlah penting untuk dibuka sepenuhnya kepada para pemangku kepentingan, atau bahkan kepada publik. Hal ini untuk memastikan bahwa memang perusahaan menjadi akuntabel atas apa yang disampaikannya.
Lebih baik lagi, kalau perusahaan bisa meminta pihak ketiga yang kompeten untuk melakukan validasi atas peta jalan yang dibuatnya. Salah satu yang menonjol sekarang adalah validasi yang dilakukan oleh Science-Based Target Initiative (SBTi) atas target-target terkait dekarbonisasi yang dilakukan oleh perusahaan. Bergabung ke dalam kelompok-kelompok progresif yang persyaratan keanggotaannya ketat, seperti Renewable Energy 100% (RE100) juga bisa meningkatkan kepercayaan publik atas target dan peta jalan yang dibuat oleh perusahaan.
Tentu, transparansi tidak berhenti ketika perusahaan sudah memiliki target dan strategi. Eksekusi dari strategi lah yang akan menentukan kinerja perusahaan. Dengan demikian, perusahaan perlu memiliki sistem pemantauan kemajuan yang benar-benar handal, diaudit secara internal maupun independen, serta laporannya bisa diakses oleh publik. CDP (dahulu Carbon Disclosure Project) memiliki standar pelaporan untuk pengelolaan air, hutan, dan karbon yang makin banyak diadopsi oleh perusahaan yang progresif. Pilihan lainnya, perusahaan bisa menerbitkan laporan keberlanjutan atau laporan terpadu dengan gabungan petunjuk Global Reporting Initiative (GRI), International Integrated Reporting Council (IIRC) dan Sustainability Accounting Standards Board (SASB).
Mengikuti perkembangan pengetahuan mutakhir di level global secara lekat membuat saya yakin bahwa seluruh urusan purpose, target, strategi, dan eksekusi itu mustahil terwujud tanpa komitmen di level tertinggi perusahaan. Beberapa kali menjadi juri dalam penilaian kinerja sosial dan lingkungan perusahaan membuat saya sadar bahwa masih banyak direksi dan komisaris di Indonesia yang tak memiliki pengetahuan dasar yang dibutuhkan untuk mewujudkan itu. Kompetensi keberlanjutan yang seharusnya dimiliki oleh manajemen puncak tampak jelas belumlah hadir di mayoritas perusahaan. Itulah yang menyebabkan kebanyakan perusahaan Indonesia masih jauh daripada apa yang saya gambarkan itu.
Karenanya, perusahaan yang mau bersungguh-sungguh dalam pencapaian kinerja lingkungan yang baik itu perlu mengecek kembali kompetensi direksi dan komisarisnya, lalu segera memenuhinya dengan penggantian orang atau dengan upaya peningkatan kapasitas secara cepat. Ada banyak pendidikan eksekutif luring maupun daring yang bisa diakses oleh mereka, kalau memang mereka ingin memiliki kompetensi yang tepat. Para pemimpin perusahaan yang kompeten dalam isu-isu keberlanjutan, termasuk pengelolaan lingkungan, di antaranya dapat ditandai dari substansi ketika mereka bicara terkait isu-isu tersebut. Hal lain yang perlu dilihat adalah apakah perusahaan mengaitkan kompensasi—baik itu dalam bentuk bonus setahunan, tantiem, atau pemberian saham yang ditahan waktunya—yang diterima direksi dan komisaris itu dengan target-target pengelolaan lingkungan. Kalau tak ada pengaitan kompensasi mereka dengan kinerja lingkungan, bisakah kita percaya bahwa isu-isu lingkungan akan diurus dengan serius?
Turun dari manajemen puncak, kita bisa memeriksa apakah sumberdaya manusia yang mengelola kinerja lingkungan itu memadai jumlah dan kapasitasnya, termasuk pihak eksternal yang dimanfaatkan oleh perusahaan. Kita juga bisa memeriksa apakah organisasi penanggung jawab kinerja lingkungan itu cukup jelas, dengan otoritas yang memadai. Kita juga perlu memeriksa apakah sumberdaya finansial yang diberikan untuk pengelolaan lingkungan itu sesuai dengan target kinerja perusahaan dan program-program yang dinyatakannya. Lantaran kinerja lingkungan mustahil dicapai sendirian oleh perusahaan, kita juga perlu memeriksa siapa saja pemangku kepentingan yang dilibatkan perusahaan, bagaimana identifikasinya, dan apa hasil dari pelibatan mereka.
Jelas, ada banyak hal yang bisa menandai apakah perusahaan itu serius atau tidak dalam mengelola lingkungannya. Saya sudah memaparkan apa saja yang perlu kita periksa untuk bisa memahami keseriusan perusahaan itu. Di tahun 1986 aktivis lingkungan Jay Westervelt mengajukan istilah greenwashing yang pengertiannya adalah upaya untuk memberi kesan bahwa kinerja lingkungan perusahaan itu lebih tinggi dibandingkan yang sebenarnya. Istilah lainnya, greenwishing, baru diperkenalkan di tahun 2019 oleh Duncan Austin. Istilah yang belakangan ini mengacu pada harapan bahwa perubahan dalam kinerja lingkungan perusahaan yang dibutuhkan itu bisa dicapai dengan cara-cara yang lebih mudah dibandingkan yang seharusnya. Mungkin greenwashing lebih mudah untuk ditandai dan diungkapkan kepada publik, tetapi greenwishing jelas tak kalah bahayanya.
Kita sekarang berada dalam urgensi pengelolaan dampak iklim yang benar-benar tinggi. Laporan Penilaian Keenam IPCC yang baru saja terbit menunjukkan bahwa umat manusia hanya bisa selamat dari bahaya terbesar bencana iklim bila pada dekade ini kita bersatu melakukan tindakan transformatif sebesar dan secepat yang telah ditunjukkan sains. Maka, greenwashing maupun greenwishing sesungguhnya tak bisa ditoleransi. Kita perlu memeriksa komitmen pengelolaan lingkungan perusahaan dengan saksama, lalu memastikan mereka melakukan perubahan sebagaimana yang dibutuhkan Indonesia dan dunia.
–##–
* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; pimpinan dewan pakar Social Value Indonesia; strategic partner CCPHI Partnership for Sustainable Community; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA dan ESG Indonesia.
Leave A Comment