Oleh: Jalal *
“Let’s leave our children nothing. No greenhouse gas emissions. No biodiversity loss. No poverty. Let’s leave them what we inherited: a stable, resilient planet. Not to save our planet. But to save ourselves and our future on Earth.” – Johan Rockstrom dan Owen Gaffney
Sekitar dua minggu yang lalu saya merencanakan untuk melakukan dua hal untuk merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang jatuh pada tanggal 5 Juni setiap tahunnya. Di pagi hingga sore hari, saya bakal membaca secara cepat buku Breaking Boundaries: The Science of Our Planet karya Johan Rockstrom dan Owen Gaffney. Lalu menjelang malam saya akan menyaksikan film dokumenter dengan judul yang sama di Netflix. Film yang disutradarai Jonathan Clay dengan narator Sir David Attenborough, dengan Rockstrom sebagai bintang utama dan sejumlah ilmuwan mumpuni lainnya.
Tak bisa memenuhi rencana itu lantaran ternyata saya harus keluar rumah sepanjang hari itu, saya memenuhinya sehari kemudian. Dan perayaan yang tertunda itu benar-benar memuaskan benak dan hati saya. Konsep planetary boundaries yang sudah saya ikuti dengan erat perkembangannya sejak makalah terkenal A Space Operating Space for Humanity terbit tahun 2009 di jurnal Nature semakin mudah dipahami lewat buku dan film dokumenter yang memang ditujukan buat masyarakat luas.
Buku yang diberi pengantar bertenaga oleh Greta Thunberg ini dibagi ke dalam 18 bab, dengan ketebalan lebih dari 240 halaman. Saya banyak mengenal orang yang tidak percaya bahwa omongan dan tulisan Thunberg itu adalah benar-benar keluar dari isi kepalanya. Mungkin pandangan mereka akan berubah manakala mereka melihat kenyataan bahwa ilmuwan sekaliber Rockstrom saja meminta Thunberg untuk mengantar bukunya.
Seperti biasa, Thunberg memiliki kemampuan artikulasi yang sangat baik atas apapun hal yang hendak disampaikannya. Di buku ini, ia bilang, “People often ask me if there is one thing that they can do that will really make a difference, and if so—what is it? My answer is always: inform and educate yourself as much as you possibly can and then spread that awareness to others. Because once you understand the full meaning and real consequences of our situation, then you will know what to do. Our hope lies in the facts and the knowledge that make up the current best available science, and that this knowledge can spread fast and far enough. That’s where you come in. And that’s what reading this book is all about.” Sependapat sepenuhnya dengan Thunberg, membaca buku ini akan mengedukasi kita atas kensekuensi yang sedang kita hadapi, dan bisa mengajak siapapun untuk bertindak.
Tentu, buku itu bukan sekadar soal pengantarnya. Sebagaimana yang bisa diharapkan dari tulisan seorang Rockstrom dan juga Gaffney (yang walaupun publikasinya seabreg masih kurang tenar dibandingkan Rockstrom), kandungan sains yang dimuat sangatlah kokoh dan mutakhir. Rockstrom—yang juga terkenal sebagai komunikator sains yang keren (sudah ada 4 TED Talk-nya, di samping banyak video lain)—dan Gaffney berhasil menyampaikan sains yang rumit menjadi mudah dipahami.
Tak berhenti di uraian apa yang terjadi di Bumi dari sudut pandang sains, buku tersebut juga memberikan keyakinan bahwa umat manusia masih memiliki peluang untuk selamat dari ancaman-ancaman yang dihadapi lantaran kita sudah kelewat batas. Jendela yang sempit itu ditegaskan, lalu apa yang perlu dilakukan manusia untuk bisa selamat diuraikan dalam bab 9 hingga 19 buku ini. Semuanya sangat jelas dan detail, mulai dari transisi energi, pembangunan perkotaan, pengaturan populasi, teknologi hingga bagaimana mewujudkan ekonomi yang bisa mendukung pencapaian tujuan penyelamatan umat manusia.
“We are a long way from this lofty goal. But here’s the thing: our research shows that stability is achievable within 30 years. A nature-positive pathway is not wishful thinking. In three decades, Earth’s natural ecosystems can be stronger, more resilient, and, critically, more extensive than today. Imagine that.” Demikian yang tertulis di akhir buku ini. Tentu, itu hanya mungkin terjadi bila kerja keras lewat resep-resep yang sudah disampaikan itu bisa diwujudkan oleh seluruh umat manusia. Hanya dengan menjalankan keseluruhannya saja maka kita semua bisa selamat.
Oleh karenanya, saya harus menegaskan kekagetan saya manakala di film dokumenternya yang disiarkan di jaringan Netflix mulai tanggal 4 Juni 2021 itu beberapa jalan keluar yang dipaparkan sebagai contoh itu cenderung pada simplifikasi. Menanam pohon, mengubah diet menjadi lebih berbasis tanaman dan menghilangkan sampah lewat transisi ke ekonomi sirkular—yang dipilih untuk disampaikan sebagai contoh—tentu saja sangat penting. Tapi itu juga memberi kesan bahwa perubahannya cukup di level individual atau kelompok-kelompok kecil.
Tentu saja, ketiga jalan keluar dari krisis planetari itu juga bisa dibayangkan menjadi gerakan global dengan skala yang sangat luas dan kompleksitas yang tinggi. Tetapi, kesan bahwa perubahan yang dibutuhkan itu ‘mudah’ sedemikian kuat di film ini. Apakah ini disengaja untuk mengajak lebih banyak orang ke dalam gerakan penyelamatan Bumi dan segala isinya? Entahlah. Mungkin sang sutradara atau penulis skenarionya menganggap bahwa diskusi soal persyaratan keselamatan yang lebih detail dan terasa berat akan membuat orang malah tak ingin berkontribusi. Namun saya yakin siapapun yang membaca bukunya—yang sudah tersedia sejak akhir April lalu—terlebih dahulu akan kaget dengan paparan di penghujung film yang terasa jauh dari memadai itu.
Yang jelas, menggampangkan jalan keluar itu rupanya mengganggu banyak kritikus film. Beberapa detail dari filmnya, termasuk aspek teknis, juga menjadi sasaran kritik. Tak ada yang bilang bahwa pesan dari film ini tidak penting dan urgen, tak ada juga yang menyatakan representasi sainsnya tidak pas, namun para kritikus yang menulis di New Scientist, The New York Times, The Guardian dan The First Post punya kesan yang sama dengan yang saya rasakan dalam hal jalan keluar itu. Silakan periksa beberapa komentar di beragam media massa yang tautannya telah saya berikan itu.
Bagaimanapun, saya merasa bahwa membaca bukunya memang lebih memuaskan daripada menyaksikan filmnya. Filmnya sendiri tentu tidak buruk, dan akan punya pengaruh positif yang jauh lebih luas daripada bukunya. Mungkin pembaca buku itu tak akan sampai 1% dari penonton filmnya. Dengan jumlah pelanggan Netflix yang telah melampaui 207 juta di seluruh dunia, dan jelas ada ratusan ribu atau bahkan jutaan penggemar Attenborough, film ini akan ditonton oleh cukup banyak orang dan menjadi agenda percakapan dan tindakan.
“Sir David Attenborough is the greatest natural storyteller of our time. He has inspired multiple generations of people. With Netflix we hope to reach even more people to inspire them to become planetary stewards – protectors of our global commons.” Demikian yang disampaikan oleh Rockstrom ketika mengantarkan film ini sebelum Biden Climate Summit berlangsung. Jelas, memilih Attenborough sebagai penutur utama memang adalah tindakan yang sangat strategis dan tepat. Versi 10 menit yang diputar pada acara tersebut dan kini bisa disaksikan pada kanal YouTube juga telah mengundang komentar positif dari Christiana Figueres: “Probably the most important documentary that has ever been filmed.”
Saya kira siapa pun yang menonton film yang ketika tulisan ini dibuat mendapatkan nilai 7,9 dari para penontonnya di imdb.com, akan mengingat dua pesan terpentingnya. Pertama, bahwa kesehatan planet, hewan dan manusia itu saling terkait erat. Kedua, bahwa kita adalah generasi terakhir umat manusia yang bisa memastikan kesehatan ketiganya itu, sekaligus menyelamatkan diri dari ancaman eksistensial yang dibuatnya sendiri.
Kalimat terakhir Attenborough menjelang akhir film juga sangat penting. “Now Johan and his colleagues have turned on the headlights, we can clearly see the boundaries. We can see the path back to a safe space to a more resilient future. It is achievable.” Semoga umat manusia mengaminkan pesan tersebut dan bertindak dalam skala dan kecepatan yang diperlukan.
–##–
* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; pimpinan dewan pakar Social Value Indonesia; strategic partner CCPHI Partnership for Sustainable Community; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA dan ESG Indonesia.
Leave A Comment