Oleh: Ica Wulansari *
Lembaga yang bergerak dalam bidang risiko, Verisk Maplecroft, telah meluncurkan daftar 100 kota yang paling rentan akibat kerusakan lingkungan hidup pada pertengahan Mei 2021. Kota Jakarta merupakan salah satu kota yang masuk dalam daftar tersebut. Jakarta merupakan kota rawan banjir. Pada Desember 2020, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyatakan terdapat 82 kelurahan di kota Jakarta yang rawan banjir.
Kejadian banjir di Jakarta merupakan krisis yang rutin terjadi sepanjang sejarah kota ini terbentuk dengan penyebab yang kompleks baik permasalahan tata kelola ruang hingga perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan yang menyebabkan saluran air dipenuhi oleh sampah. Namun, kejadian banjir terkini tidak terlepas dari kondisi perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya peningkatkan curah hujan dan intensitas waktu pada musim penghujan yang kian tidak menentu.
Penyebab banjir di kota Jakarta menjadi salah satu contoh bahwa potensi dasar kerentanan dan tambahan kerentanan akibat perubahan iklim menyebabkan potensi bencana yang semakin sering intensitasnya.
Apabila kejadian bencana, dalam hal ini bencana banjir yang menjadi fenomena menahun terjadi maka cara menghadapinya pun membutuhkan cara yang tidak biasa. Cara yang tidak biasa artinya tingkat kewaspadaan warga perlu ditingkatkan dan cara mengatasinya pun membutuhkan keragaman cara.
Cara untuk mengatasi bencana ini menjadi kebutuhan bagi warga untuk bertahan hidup, membangun kesejahteraan diri dan dapat menyelamatkan penghidupannya.
Cara tidak biasa ini pun perlu mengakomodir praktek-praktek baik yang sudah ada dalam masyarakat dan perlu mendapat pengakuan dari pemerintah.
Apabila praktek baik ini sudah mendapatkan pengakuan, maka praktek ini perlu disempurnakan dengan tambahan komponen lainnya agar dapat menjadi panduan maupun contoh praktek baik dalam masyarakat yang dapat dikembangkan dan diterapkan di wilayah lainnya.
Warga Jakarta yang hidup di lokasi yang padat penduduk telah menunjukkan ketangguhan sosial dalam melakukan antisipasi terhadap bencana.
Antisipasi ini terdiri dari dua faktor yaitu faktor pengalaman yang berasal dari internal masyarakat dalam membangun upaya kolektif antisipatif dan faktor infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah. Contoh kasus ini merupakan gejala awal yang perlu mendapat kajian yang lebih komprehensif dengan tujuan untuk menggali potensi internal warga yang dapat dikembangkan menjadi kapasitas agar tangguh hidup berdampingan dengan bencana.
Ketangguhan hidup berdampingan dengan bencana menjadi realitas yang membutuhkan tindakan antisipasi untuk memperkecil dampak bencana terhadap warga dan lingkungan. Tindakan antisipasi ini merupakan bentuk kemampuan adaptasi dalam merespon perubahan maupun ketidakpastian baik akibat perubahan iklim.
Tindakan adaptasi dapat diidentifikasi melalui perilaku, penggunaan teknologi maupun infrastruktur yang berbentuk mekanisme antisipasi dan mekanisme swadaya.
Mekanisme Antisipasi
Pada Februari 2021 lalu, di beberapa titik kota Jakarta mengalami banjir yang diakibatkan oleh tingginya intensitas curah hujan. Terdapat satu kawasan Jakarta yang menjadi lokasi kejadian banjir tahunan yaitu Kampung Pulo. Sejak terdapat tanggul atau pembatas sungai di Kali Ciliwung, warga Kampung Pulo tidak begitu mengalami kerepotan terdampak banjir (https://news.detik.com/berita/d-5395944/cerita-warga-kampung-pulo-tenang-hadapi-banjir-berkat-tanggul-era-ahok).
Pembangunan tanggul tersebut menyebabkan warga tidak mengalami banjir. Selain itu, keberadaan tanggul menjadi alat untuk identifikasi bagi warga untuk waspada mengungsi apabila debit air meningkat dalam tanggul tersebut.
Contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa tindakan antisipasi warga dipengaruhi oleh infrastruktur yang memadai. Tanggul merupakan infrastruktur yang dapat membantu agar warga tidak mengalami banjir sekaligus memberikan alat identifikasi bagi warga untuk mempersiapkan diri apabila mengalami potensi kejadian banjir. Akan tetapi, keberadaan infrastruktur tersebut perlu diikuti dengan upaya warga untuk memelihara tanggul agar tetap berfungsi dengan baik. Misalnya menjaga kebersihan dan menjaga agar tanggul tidak menampung sampah warga.
Apabila pemeliharaan tanggul berlangsung dengan baik, maka infrastruktur dapat dimaksimalkan sebagai alat untuk menambah kapasitas warga untuk melakukan antisipasi terhadap bencana.
Mekanisme Swadaya
Berdasarkan paparan di atas menunjukkan keberadaan infrastruktur merupakan krusial bagi warga untuk terhindar dari bencana. Namun, realitas menunjukkan bahwa tidak seluruh infrastruktur dapat berfungsi dengan baik. Maka pemeliharaan infrastruktur membutuhkan inisiatif dari warga yang bersifat swadaya. Contoh kasus Warga Kramat Jati, Jakarta Timur yang secara swadaya memperbaiki tanggul Kali Cipinang yang jebol (https://www.metrotvnews.com/play/Ky6CmAam-warga-perbaiki-sendiri-tanggul-kali-cipinang-yang-jebol#!).
Warga Kramat Jati melakukan urunan untuk modal pembangunan perbaikan tanggul secara swadaya. Perbaikan tanggul tersebut pun mendapatkan bantuan pemerintah provinsi.
Mekanisme swadaya muncul karena kebutuhan warga untuk melakukan antisipasi dalam menghindari bencana banjir. Maka, mekanisme ini dapat hadir karena persepsi resiko yang sama dan kebutuhan penanggulangan krisis bersama dalam struktur warga.
Inisiatif untuk menanggulangi krisis muncul karena warga membutuhkan aksi yang cepat agar terhindar dari bencana.
Dua contoh kasus mekanisme warga Jakarta dalam membangun ketangguhan yang tergambar dari pemberitaan media massa merupakan contoh kecil yang ditemukan. Bisa saja terdapat contoh kasus lainnya yang tidak tersorot oleh media massa.
Mekanisme warga di dua lokasi yang intens mengalami bencana banjir dan berlokasi di daerah padat penduduk menunjukkan bahwa warga memiliki kapasitas membangun ketangguhannya. Mekanisme membangun ketangguhan warga perlu diperbaiki dengan pembangunan sistem komunikasi dan sistem guyub dalam internal warga. Selain itu, mekanisme tersebut membutuhkan pembangunan infrastruktur, teknologi dan informasi yang berasal dari pemerintah yang menambah ketangguhan warga.
–##–
* Ica Wulansari adalah Pengajar lepas di Universitas Paramadina, mahasiswa S-3 Ilmu Sosiologi Universitas Padjadjaran dan pegiat studi sosial-ekologi.
Sip, Mbak.
Boleh urun rembug ya?
Ketangguhan menghadapi musibah “rutin” itu menurutku adalah kekuatan untuk bertahan. Perlu satu kekuatan lagi, yakni menghentikan “rutinitas” yang bagaimanapun tidak mengenakkan itu. Kekuatan tersebut tumbuh dari masing-masing jiwa individu warga. Benih itu sudah ada sebagai fitrah manusia. Namun baru bisa tumbuh bila diberi nutrisi di media tanamnya. Benih itu adalah kesadaran berbudaya ekologis, dan nutrisi itu adalah penyuluhan, edukasi, kampanye ekologi. Sehingga ke depan, faktor musibah yang dari manusia akan kian berkurang. Dan semoga, “rutinitas” tak enak itu akan henti satu saat nanti. Terima kasih.