Dunia akan kehilangan hampir 10% total nilai ekonomi pada pertengahan abad ini jika perubahan iklim gagal diantisipasi, sementara target Perjanjian Paris dan net zero emission gagal terpenuhi di 2050.

Kesimpulan adalah hasil analisis Swiss Re Institute terbaru yang dituangkan dalam laporan “The Economics of Climate Change: No Action Not an Option“.

Negara-negara berkembang terutama di Asia Selatan dan Asia Tenggara, terutama Thailand, India, Filipina, Malaysia dan Indonesia, menjadi negara yang paling merugi. Berturut-turut, kelima negara tersebut menempati ranking lima terbawah dalam Climate Economics Index dari Swiss Re Institute (SRI). Mereka berisiko kehilangan hingga seperempat (25%) produk domestik bruto (PDB) mereka di 2050.

Top- and bottom- five Climate Economics Index rangkings

Penurunan PDB identik dengan melambatnya ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Generasi mendatang – anak dan cucu kita – akan berjuang menghadapi risiko ekonomi ini selain risiko bencana dan cuaca yang semakin ekstrem.

Laporan SRI secara eksplisit mensimulasikan berbagai ketidakpastian seputar dampak perubahan iklim. Pesan dari analisis SRI ini jelas: Dunia harus beraksi atasi perubahan iklim!

Penelitian ilmiah terbaru yang dikutip SRI menunjukkan, janji mitigasi yang sudah tercantum dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) akan tetap menaikkan suhu bumi antara 2,0–2,6° C pada pertengahan abad ini.

SRI menggunakan data ini sebagai dasar untuk mensimulasikan dampak kenaikan suhu dari waktu ke waktu, serta memodelkan ketidakpastian dari dampak krisis iklim yang paling parah.

Hasilnya, PDB global akan turun 11–14% di 2050 saat suhu bumi naik antara 2,0–2,6° C dibanding jika dunia tidak mengalami perubahan iklim (perubahan 0° C).

Dengan perbandingan yang sama, bahkan jika dunia mampu mencapai target Persetujuan Paris, PDB dunia akan tetap turun – walau lebih sedikit – sebesar 4,2%, dibanding jika dunia tidak mengalami perubahan iklim dan kenaikan suhu bumi.

Sementara itu, SRI juga menghitung skenario jika dunia sama sekali tidak beraksi atasi perubahan iklim sehingga suhu akan naik 3,2 ° C pada pertengahan abad ini.

Dalam skenario terburuk ini, ekonomi global akan menyusut 18% dibanding dunia tanpa pemanasan global. Hal inilah yang menuntut dunia untuk lebih ambisius dalam mencapai target pengurangan emisi mereka.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyeru dunia untuk memangkas emisi sebesar 45% di 2030 dan mencapai kondisi net zero emission di 2050 dengan baseline tingkat emisi di 2010. Tujuannya tidak lain untuk mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1,5° C.

Analisis SRI menemukan, negara-negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin akan menjadi  negara yang paling rentan terhadap kondisi kekeringan ekstrem yang bisa memicu krisis air, polusi udara dan kebakaran hutan hebat seperti yang terjadi di Indonesia di 2015. Sementara negara-negara di Eropa utara dan Eropa timur, akan lebih rentan terhadap kondisi basah yang memicu curah hujan ekstrem dan bencana banjir.

Negara-negara maju di belahan bumi utara, menurut analisis SRI, menjadi negara yang paling tidak rentan terhadap keseluruhan efek perubahan iklim. Hal ini karena wilayah tersebut tidak terlalu terpapar risiko terkait krisis iklim dan mereka memiliki sumber daya yang lebih baik untuk mengatasinya.

AS, Kanada, dan Jerman termasuk di antara 10 teratas yang paling tidak rentan terhadap krisis iklim. Sementara negara-negara anggota ASEAN menempati posisi lima terbawah yang paling berisiko akibat krisis iklim.

Risiko Transisisi dan Pajak Karbon

Selain risiko kerugian dan kerusakan fisik, perubahan iklim juga menimbulkan apa yang disebut SRI sebagai risiko transisi.

Risiko transisi mengacu pada perubahan besar terhadap nilai aset dan biaya menjalankan bisnis yang lebih tinggi saat dunia bertransisi ke ekonomi rendah karbon. Biaya-biaya tersebut salah satunya bersumber dari pajak karbon.

SRI menemukan, sektor layanan umum (utilitas), bahan baku dan energi akan paling terpengaruh dan kehilangan antara 40–80% pendapatan per saham akibat diberlakukannya pajak karbon global sebesar USD 100 per metrik ton. Pendapatan perusahaan di Asia Pasifik akan turun hingga 20% sementara pendapatan perusahaan di Amerika dan Eropa akan turun sebesar 15%.

Menurut SRI, skala kerugian akibat pajak karbon ini tergantung pada kecepatan penerapan dan tindakan mitigasi yang diimplementasikan, serta kecepatan adopsi teknologi.

Laporan SRI menegaskan, risiko iklim adalah risiko sistemik, yang dapat dikelola dengan tindakan kebijakan global yang terkoordinasi. “Ada peluang unik untuk menghijaukan ekonomi kita. Sektor publik dan swasta, termasuk perusahaan asuransi sebagai penyedia kapasitas transfer risiko, pengetahuan risiko dan investasi jangka panjang, dapat memfasilitasi transisi ke ekonomi rendah karbon,” tulis SRI.

Menurut SRI, peningkatan transparansi, data, dan pengungkapan risiko diperlukan sebelum penerapan pajak karbon ini dimulai. Ditambah dengan insentif berbasis alam dan solusi penggantian kerugian karbon.

Selain aksi pengurangan emisi gas rumah kaca oleh pemerintah, menurut SRI, perusahaan dan lembaga juga harus mengungkapkan peta jalan (road map) mereka dalam mendukung pencapaian target Persetujuan Paris dan net zero emission di 2050. Tidak ada pilihan. Semua pihak – termasuk individu – harus beraksi atasi krisis iklim. Karena kegagalan aksi adalah sebuah katastrofe.

Redaksi Hijauku.com