Penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Science menunjukkan bahwa jumlah siklon tropis telah meningkat sejak 1980 di Atlantik Utara dan Pasifik Tengah, sementara jumlah badai telah menurun di Pasifik barat dan di Samudra Hindia Selatan.
Peningkatan dan penurunan frekuensi siklon dan badai tropis ini tergambar jelas dalam peta yang dirilis dalam situs National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) setahun yang lalu, 4 Mei 2020. Wilayah dengan frekuensi siklon dan badai tropis yang meningkat digambarkan dengan zona merah sementara wilayah yang mengalami penurunan frekuensi siklon dan badai tropis digambarkan dengan zona biru.
Dalam peta tersebut tampak wilayah antara benua Australia dan Indonesia berada di zona merah tanda frekuensi siklon dan badai tropis di wilayah tersebut terus meningkat sejak 1980 hingga 2018.
Zona merah ini juga menjadi lokasi bibit siklon tropis sebagaimana dirilis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai Jakarta Tropical Cyclone Warning Center (TCWC).
Bibit siklon tropis yang telah dideteksi oleh sejak tanggal 2 April 2021 akhirnya berubah menjadi siklon Seroja – lihat peta – dengan kecepatan angin maksimal mencapai 75 km/jam yang telah memporak-porandakan wilayah Nusa Tenggara Timur.
Dalam peringatan yang disampaikan, BMKG menyebut potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai kilat/petir serta angin kencang di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
Risiko lain adalah gelombang laut dengan ketinggian 1.25 – 2.5 meter di Selat Sumba bagian timur, Selat Sape, Laut Sumbawa, Perairan utara Sumbawa hingga Flores, Selat Wetar, Perairan Kep. Selayar, Perairan selatan Baubau – Kep.Wakatobi, Perairan Kep.Sermata – Leti, Laut Banda bag. utara, dan Laut Arafuru bagian barat.
Gelombang laut dengan ketinggian 2.5 – 4.0 meter diperingatkan akan terjadi di Selat Sumba bagian barat, Laut Flores, Perairan selatan Flores, Perairan selatan P. Sumba, Laut Sawu, Selat Ombai, dan Laut Banda selatan bagian barat.
Sementara gelombang laut dengan ketinggian 4.0 – 6.0 meter akan terus di Perairan Kupang-Pulau Rotte, Samudra Hindia selatan NTT, dan Laut Timor selatan NTT.
Peringatan atas risiko bencana ini terbukti dan berdampak dahsyat. Hingga 9 April 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan jumlah korban meninggal dunia akibat Siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur (NTT) berjumlah 165 jiwa. Korban terbanyak berasal dari Flores Timur.
Penyebab Siklon dan Badai Ekstrem
Hiroyuki Murakami, penulis utama laporan dan peneliti iklim di Laboratorium Dinamika Fluida Geofisika NOAA mengungkapkan lokasi siklon dan badai ektrem ini beserta penyebabnya.
Murakami menggunakan model iklim untuk menentukan bahwa gas rumah kaca, aerosol buatan manusia termasuk polusi partikulat, dan letusan gunung berapi mempengaruhi lokasi siklon tropis melanda.
Gas rumah kaca menghangatkan atmosfer bagian atas dan lautan. Saat inilah proses yang disebut konveksi (convection) terjadi, yaitu proses naiknya fluida hangat dan menurunnya fluida dingin. Fluida bisa berupa air atau gas. Atmosfer bumi adalah fluida, dan dipanaskan dari bawah, dari daratan – akibat berbagai aktivitas manusia yang merusak lingkungan, memicu polusi, yang memerangkap radiasi sinar matahari. Hal inilah yang kemudian memicu pola awan, variasi iklim, termasuk siklon tropis yang dahsyat.
Sementara itu, polusi partikulat dan aerosol lainnya membantu menciptakan awan dan memantulkan sinar matahari menjauh dari bumi, menyebabkan pendinginan. Penurunan polusi partikulat – karena tindakan pengendalian polusi – dapat meningkatkan pemanasan laut dengan memungkinkan lebih banyak sinar matahari diserap oleh laut.
Murakami menemukan, menurunnya aerosol buatan manusia adalah salah satu alasan peningkatan frekuensi siklon tropis aktif di Atlantik Utara selama 40 tahun terakhir. Namun, menjelang akhir abad ini, siklon tropis di Atlantik Utara diproyeksikan akan menurun karena efek “menenangkan” dari (pengurangan) gas rumah kaca.
Menurut penelitian Murakami, letusan gunung berapi juga mengubah lokasi terjadinya siklon tropis. Misalnya, letusan besar di El Chichón di Meksiko pada tahun 1982 dan Pinatubo di Filipina pada tahun 1991 menyebabkan atmosfer belahan bumi bagian utara menjadi dingin, yang menggeser aktivitas siklon tropis ke selatan selama beberapa tahun.
Pemanasan laut telah kembali terjadi sejak tahun 2000, yang menyebabkan peningkatan aktivitas siklon tropis di belahan bumi bagian utara.
Ke depannya, para ilmuwan memperkirakan akan lebih sedikit siklon tropis yang terjadi hingga akhir abad ini, namun siklon tropis yang terjadi akan lebih kuat. Menurut Murakami, menjelang akhir abad ke-21 jumlah siklon tropis akan menurun dari rata-rata tahunan 86 menjadi sekitar 69 di seluruh dunia.
Penurunan ini diproyeksikan terjadi di sebagian besar wilayah kecuali di Pasifik Tengah, termasuk Hawaii, di mana aktivitas siklon tropis diperkirakan meningkat.
Meskipun siklon tropis diproyeksikan menurun pada tahun 2100, banyak dari siklon ini akan jauh lebih parah. Mengapa? Kenaikan suhu permukaan laut memicu intensitas dan kehancuran badai tropis. Indonesia yang wilayahnya tergambar di peta NOAA sudah seharusnya lebih waspada.
“Kami berharap penelitian ini memberikan informasi untuk membantu para pembuat keputusan memahami kekuatan yang mendorong pola siklon tropis dan membuat rencana yang sesuai untuk melindungi kehidupan dan infrastruktur,” kata Murakami.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment