Hal ini terungkap dari laporan terbaru berjudul “Indonesia Energy Transition Outlook 2021: Tracking Progress of Energy Transition in Indonesia,” yang disusun oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Jakarta.

Laporan IESR menyatakan, inovasi teknologi dan penyebaran energi terbarukan skala besar telah memungkinkan penurunan biaya energi terbarukan dengan cepat. Dipelopori oleh teknologi surya dan angin, hanya dalam satu dekade (2010-2019), harga panel surya dan turbin angin turun drastis hingga 89% dan 59% masing-masing. Lonjakan inovasi dan penyebaran energi terbarukan ini juga diikuti oleh lonjakan kemajuan teknologi penyimpanan baterai dan penurunan harga paket baterai Li-ion hingga 89% pada periode yang sama (Izadi, 2020).

BloombergNEF dan IEA telah memperkirakan, bauran energi tenaga surya dan angin akan mencapai 56% dari pembangkit listrik global. Investasi baru dalam kapasitas pembangkit listrik diperkirakan akan mencapai $15 triliun pada tahun 2050. Dari nilai tersebut sebanyak 74% akan diinvestasikan ke pembangkit listrik tenaga angin, matahari, dan penyimpanan baterai (Izadi, 2020).

Sehingga, membangun pembangkit listrik baru dari energi terbarukan akan lebih murah daripada menjalankan pembangkit listrik batu bara dan gas di mana pun di dunia. Di sejumlah negara, hal ini akan dicapai bahkan sebelum 2025 (Mckinsey, 2019).

Laporan IESR menegaskan, perkembangan sektor ketenagalistrikan Indonesia telah bertentangan dengan tren transisi energi global. “Apalagi di bawah skenario business as usual (BAU), Indonesia juga akan meleset dari target memperjuangkan target 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025, sebagaimana digariskan dalam Rencana Umum Energi Nasional,” tulis laporan ini.

Menurut IESR amanah Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mewajibkan negara untuk
membangun lebih banyak pembangkit listrik yang terbarukan dan menonaktifkan beberapa pembangkit listrik berbahan bakar fosil, terutama pembangkit listrik tenaga batu bara.

Apalagi Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris, kesepakatan iklim global yang mengikat secara hukum melalui UU No 16/2016. Persetujuan Paris bertujuan membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5° Celcius dibanding masa pra-industri.

Menurut IESR, kontribusi Indonesia sangat penting. Indonesia adalah satu dari
sepuluh negara penghasil emisi gas rumah kaca/GRK terbesar pada tahun 2018 (tidak termasuk LULUCF emisi). “Padahal emisi (gas rumah kaca per kapita) Indonesia masih sekitar setengah dari rata-rata dunia,” tulis IESR.

Beberapa model global menyimpulkan, untuk mencapai target Persetujuan Paris atau Paris Agreement, bauran listrik dari energi terbarukan Indonesia harus ditingkatkan antara 50-85% pada tahun 2030). Pada saat yang sama, energi batubara harus dikurangi 5-10% pada tahun 2030.

Kenyataannya, tulis IESR, bauran listrik dari energi terbarukan Indonesia baru mencapai 14,9% pada tahun 2020 sementara bauran energi listrik dari energi batubara mencapai lebih dari 60%.

Persetujuan Paris

“Berkaca dari target NDC (Nationally Determined Contributions), Indonesia belum cukup ambisius untuk mengejar target Persetujuan Paris,” tulis IESR. Sehingga dalam sepuluh tahun ke depan Indonesia harus melaksanakan strategi penghapusan energi batu bara dan mempercepat penyebaran pembangkit listrik terbarukan.

Emisi GRK dari pembangkit listrik tenaga batubara Indonesia diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 300 juta ton CO2-e sebelum tahun 2028. Hal ini terjadi dengan asumsi semua pembangkit listrik tenaga batu bara beroperasi sesuai rencana dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.

Dampaknya, Indonesia diproyeksikan akan melampaui jalur emisi GRK 2° Celcius pada tahun 2022. Jalur emisi GRK 2° Celcius adalah jalur upaya untuk membatasi emisi gas rumah kaca untuk mencegah kenaikan suhu bumi di atas 2° Celcius.

Lebih parah lagi, tulis laporan IESR, bahkan jika tidak ada lagi pembangkit listrik tenaga batu bara yang dibangun setelah 2022 dan pembangkit listrik tenaga batu bara – yang telah melewati masa operasi 30 tahun ditutup – emisi GRK masih belum mampu mengejar target emisi 2° Celcius.

Laporan IESR menyatakan. untuk mencapai target emisi 1,5° Celcius, diperlukan kebijakan agresif yang mencakup moratorium rencana pembangkit listrik tenaga batubara dan percepatan penonaktifan (decommissioning) pembangkit listrik tenaga batubara yang berumur di bawah umur 20 tahun.

Indonesia masih bisa mencapai jalur 2° Celcius antara tahun 2024-2030 – sebelum secara bertahap menurun dan mencapai emisi nol – jika semua pembangkit listrik tenaga batu bara sudah dihapuskan pada tahun 2047.

Aset Terbengkalai

Percepatan penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara juga akan memberi ruang bagi peningkatan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan, di tengah pertumbuhan permintaan listrik yang melambat dan kondisi kelebihan pasokan.

IESR menyatakan, negara-negara lain di dunia, termasuk negara yang menjadi tujuan ekspor batu bara Indonesia seperti Jepang dan Korea Selatan telah menyatakan komitmen mereka untuk menjadi karbon netral pada tahun 2050. China juga telah menargetkan menjadi negara yang karbon netral pada tahun 2060. “Niat (Indonesia) untuk melanjutkan pengembangan batu bara di dalam negeri akan memberikan sinyal keliru kepada pasar yang semakin bertransisi jauh dari bahan bakar fosil,” tulis IESR.

Aset pembangkit listrik tenaga batu bara Indonesia dengan nilai mencapai $35 miliar juga akan terbengkalai atau kehilangan nilainya (stranded) sesuai skenario BAU (Gray, et. al., 2018). “Jumlahnya dapat meningkat jika lebih banyak pembangkit listrik tenaga batubara dibangun di tahun-tahun mendatang,” tegas laporan ini.

Redaksi Hijauku.com