Banjir memporakporandakan Provinsi Kalimantan Selatan sejak Selasa (12/1). Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, hingga 17 Januari 2021, sebanyak 24.379 rumah terendam dan 39.549 warga mengungsi. Empat wilayah paling parah dengan jumlah pengungsi terbanyak adalah Kabupaten Banjar dengan 11.269 jiwa mengungsi, Kota Tanah Laut dengan 13.062 jiwa mengungsi, Kabupaten Balangan dengan 17.501 jiwa mengungsi, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 11.200 jiwa mengungsi.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah menetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Banjir pada Tanggal 14 Januari 2021. Sampai saat ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga melakukan pendataan titik pengungsian bagi masyarakat terdampak.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menganalisis pemicu bencana banjir dan dampaknya di Kalimantan Selatan menggunakan data satelit Himawari-8. LAPAN menemukan liputan awan penghasil hujan yang terjadi sejak tanggal 12-13 Januari 2021 dan masih berlangsung hingga tanggal 15 Januari 2021. Curah hujan ekstrem ini, menuut LAPAN menjadi salah satu penyebab banjir yang melanda Provinsi Kalimantan Selatan.
⠀
LAPAN juga menganalisis luas genangan banjir yang terjadi menggunakan data satelit Sentinel 1A tanggal 12 Juli 2020 (sebelum banjir) dan tanggal 13 Januari 2021 (saat/setelah banjir). Dari data ini LAPAN menemukan, luas genangan tertinggi terdapat di Kabupaten Barito Kuala dengan luas sekitar 60 ribu hektar, Kabupaten Banjar sekitar 40 ribu hektar dan Kabupaten Tanah Laut sekitar 29 ribu hektar.
Luas genangan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah mencapai 12 ribu Hektar, Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekitar 11 ribu hektar, Kabupaten Tapin sekitar 11 ribu hektar, dan Kabupaten Tabalong sekitar 10rb hektar. Selainnya Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Murung Raya antara 8-10 ribu hektar.
⠀
Peringatan Itu Ada
Kondisi cuaca ekstrem ini bukan tanpa peringatan. Herizal, M.Si, Deputi Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam siaran pers BMKG awal Oktober tahun lalu menyatakan, dari hasil pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik Ekuator hingga akhir September 2020 menunjukkan, anomali iklim La-Nina sedang berkembang di Indonesia.
BMKG dan pusat layanan iklim lainnya seperti NOAA (Amerika Serikat), BoM (Australia), JMA (Jepang) memperkirakan, La Nina dapat berkembang terus hingga akhir tahun 2020, mulai meluruh pada bulan Januari-Februari 2021 dan berakhir di sekitar Maret-April 2021.
Catatan historis BMKG menunjukkan, La Nina dapat menyebabkan peningkatan akumulasi jumlah curah hujan bulanan di Indonesia hingga 40% di atas normal. Menurut BMKG, peningkatan curah hujan ini – seiring dengan awal musim hujan dan peningkatan akumulasi curah hujan akibat La Nina – berpotensi memicu terjadinya bencana hidro-meteorologis seperti banjir dan tanah longsor di Indonesia.
Cuaca ekstrem adalah salah satu indikasi utama perubahan iklim dan pemanasan global. Tim peneliti lintas negara dari Australia, Kanada, Inggris dan Amerika Serikat yang mensurvei 11.994 hasil penelitian akademis oleh 29.083 ilmuwan dari seluruh dunia pada periode 1991-2011 menemukan, 97,1% hasil penelitian ilmiah mendukung teori bahwa pemanasan global dipicu oleh aktivitas manusia. Manusia terus menghasilkan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Polusi pemicu krisis iklim dan cuaca ekstrem terus naik.
Jejak dan Sidik Jari Manusia
Jejak dan sidik jari manusia dalam bencana tidak hanya berhenti pada emisi gas rumah kaca. Manusia juga memicu perubahan tutupan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang menurut LAPAN juga menyebabkan bencana banjir di Kalimantan Selatan.
LAPAN melakukan analisis menggunakan data mosaik Landsat untuk mendeteksi penutup lahan dari tahun 2010 hingga 2020. Pengolahan data dilakukan secara digital menggunakan metode “random forest” sehingga mampu lebih cepat dalam menganalisis perubahan penutup lahan yang terjadi.
Hasilnya, LAPAN menemukan, dalam kurun waktu 10 tahun, terjadi penurunan luas hutan primer, hutan sekunder, sawah dan semak belukar yaitu masing-masing menurun sebesar 13 ribu hektar, 116 ribu hektar, 146 ribu hektar dan 47 ribu hektar.
Sebaliknya, LAPAN juga menemukan terjadinya perluasan area perkebunan yang cukup signifikan sebesar 219 ribu hektar. Perubahan tutupan lahan dalam 10 tahun ini dapat memberikan gambaran kemungkinan terjadinya banjir di DAS Barito, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana.
Sonny Mumbunan, PhD, ekonom di World Resources Institute (WRI) menyoroti perubahan tutupan hutan dan alih guna lahan yang terjadi secara drastis di Kalimantan Selatan selama dua dekade terakhir.
Menurut Sonny, di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, di mana 64 ribu warganya terdampak banjir, tutupan hutan alam masih mencapai 78% dari wilayah kabupaten tersebut pada tahun 2000. “Beberapa tahun lalu, sudah tidak ada hutan alam lagi. Kebun buah campuran giliran mendominasi, sawit cuma sedikit,” ujarnya kepada Hijauku.com.
Sementara di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan – di mana hampir 15 ribu rumah warga terendam air – pada tahun 2000 tutupan hutan alam masih lebih dari separuh wilayahnya. “Tahun 2016, sudah tak ada lagi hutan alam,” ujar Sonny. Di daerah ini kebun karet menjadi wilayah perkebunan terluas, disusul dengan kebun sawit.
Adapun di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan – di mana hampir 17 ribu warganya terkena banjir dan mesti mengungsi, “Pada tahun 2000 masih ada 72% hutan alam di daerah mereka. Tahun 2016 sudah tidak ada lagi,” tambah Sonny. Sawit, terutama sawit campuran, menajdi perkebunan terluas di Balangan.
Menurut Sonny semua data dan informasi tutupan hutan dan guna lahan ini bisa diambil dari situs Global Forest Watch. “Data tersedia sampai tingkat kabupaten atau kota. Definisi hutan & metode bisa dirujuk dari sana,” ujar Sonny.
Jika semua jejak dan sidik jari bencana ada di tangan manusia, akankah solusi untuk mencegah dan mengatasi bencana juga akan muncul dari tangan manusia? Kita semua yang harus menjawabnya.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment