Oleh: Jalal * dan Zainal Abidin **

Di antara para pakar CSR di level global yang kami kagumi, ada nama Alex Edmans.  Namanya mulai meroket ketika makalahnya “Does The Stock Market Fully Value Intangibles? Employee Satisfaction And Equity Prices” sebagai pemenang Moskowitz Prize tahun 2007.  Makalah terkenal itu kemudian diikuti oleh beberapa makalah lainnya dalam berbagai tema yang terkait dengan ketenagakerjaan, tata kelola perusahaan, dan CSR dalam pengertian yang luas.  Tema besarnya adalah bahwa tujuan mulia perusahaan (purpose) dan keuntungan perusahaan (profit) itu bukanlah dua hal terpisah.

Moskowitz Prize adalah penghargaan paling bergengsi di dunia akademik CSR, yang diberikan kepada mereka yang bisa membuktikan secara kuantitatif bahwa CSR memang menguntungkan perusahaan.

Edmans muncul kembali di tahun 2014, sebagai honorable mention.  Di makalah tahun 2014 itu Edmans menjelaskan soal bahwa di seluruh dunia perusahaan yang memiliki karyawan yang puas mengalahkan perusahaan rerata, tetapi itu terjadi di negara-negara dengan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Konteks memang selalu penting dalam memahami apa yang bisa berhasil dan tidak dalam inisiatif CSR.

Selain terkenal dengan seabrek penghargaan atas makalah ilmiah dan kualitas pengajaran, Edmans juga punya dua TED Talk, “The Social Responsibility of Business” dan “What to Trust in a Post-Truth World.”  Silakan ditonton, keduanya mengajarkan banyak hal menarik.  Tetapi, yang mengherankan kami sejak lama, Edmans belum juga menuliskan buku dari hasil-hasil penelitiannya yang bernas itu. Kami yakin sepenuhnya bahwa hasilnya pastilah sangat menarik.

Akhirnya, di akhir tahun 2019, dia mengumumkan bahwa sedang menyelesaikan “Grow the Pie: How Great Companies Deliver Both Purpose and Profit.” Judulnya, sangat sesuai dengan tema besar pemikirannya selama ini.  Kami kemudian mulai mencari tahu banyak hal terkait buku tersebut, jauh sebelum akhirnya bukunya benar-benar tiba.

Lantaran pencarian itu, kami sadar bahwa sejak setidaknya tahun 2018, tulisan-tulisan, termasuk catatan kuliah umum yang dia taruh di ruang publik, yang merujuk pada buku yang bakal terbit itu sebetulnya sudah cukup banyak.  Gambar yang kami pergunakan dalam tulisan ini, misalnya, kami ambil dari tulisan How Great Companies Deliver Both Purpose and Profit yang terbit di website London Business School, tempat dia mengajar, pada tanggal 31 Oktober 2019.

Pertarungan Dua Mentalitas

Pie, atau kue pia, buat Edmans, dipergunakan untuk menggambarkan manfaat perusahaan secara keseluruhan.  Kebanyakan perusahaan melihat kue pia yang besarnya tetap, sementara Edmans bilang kue pia itu tidak tetap ukurannya, melainkan bisa diperbesar terus.  Di sini sangat penting untuk mengingkatkan bahwa kue pia adalah manfaat sosial yang diciptakan oleh perusahaan untuk seluruh pemangku kepentingannya.

Mereka yang cenderung  melihat kue pia ukurannya tetap akan berpikir bahwa kalau perusahaan mau memberi untung yang lebih besar bagi pemilik modal maka jatah pemangku kepentingan lain harus dikurangi. Edmans menyebut ini sebagai pie splitting mentality.  Dan ini sesungguhnya sangat membahayakan.  Perusahaan yang demikian cenderung untuk menekan gaji karyawan, membayar tidak adil kepada para pemasoknya, dan tega melakukan pencemaran lingkungan.  Mereka juga cenderung untuk berpikir dan mengambil keputusan bisnis dalam jangka pendek, padahal dalam jangka panjang keputusan-keputusan itu akan merugikan perusahaan sendiri.

Sebaliknya, perusahaan yang memiliki pie growing mentality melihat bahwa pemilik modal adalah salah satu saja dari sekian banyak pemangku kepentingan. Kalau perusahaan berkonsentrasi memperbesar kue manfaat sosial, maka keuntungan bagi pemilik modal juga akan membesar.  Dalam mentalitas ini, yang mungkin terjadi adalah semacam trade-off di antara beragam kepentingan dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang seluruh pemangku kepentingan akan menerima manfaat yang lebih besar.  Tentu, itu bisa terwujud lewat manajemen yang baik.

Gambar. Dua Mentalitas Perusahaan: Memotong atau Membesarkan Kue Pia? (Edmans, 2019)

Itu adalah ide besarnya, yang tentu saja mengingatkan kami kepada ide-ide yang disandarkan pada teori pemangku kepentingan Edward Freeman.  Hal itu jelas juga terbaca pada tulisan-tulisan Edmans lainnya.  Dalam komentarnya atas gerakan Extinction Rebellion, Edmans pernah menulis sebagai berikut:

Pieconomics argues that a company’s concerns for the environment – and any other stakeholder – should be intrinsic, not instrumental. Even if action on climate change reduces profits, many investors may still support it – because they care about social, not just financial returns. The key is for a company that wishes to sacrifice long-term profits to combat climate change to be very clear on its position, regularly engage with investors, and report comprehensively on its climate impact. Doing so will mean that investors know to evaluate the company on its climate impact, rather than solely profits, thus freeing leaders to focus on the former.” (Edmans, 2019)

Dari kutipan tersebut, kami  punya beberapa kesimpulan.  Pertama, pieconomics adalah nama yang diberikan Edmans kepada perilaku perusahaan yang menggunakan mentalitas membesarkan kue pia.

Lebih tepatnya, Edmans memberikan definisi sebagai berikut: “Pieconomics is an approach to business that seeks to create profits only through creating value for society.” (Edmans, 2020 hal. 27).  Jadi ini bukanlah sekadar sikap mental yang hendak memajukan perusahaan bersama-sama seluruh pemangku kepentingannya, melainkan juga batasan etis yang sangat tegas.  Hanya apabila perusahaan itu menciptakan manfaat bagi masyarakat saja maka perusahaan itu pantas mendapatkan keuntungan.

Kedua, Edmans memandang bahwa lingkungan adalah pemangku kepentingan.  Ini bukanlah sikap yang banyak dianut oleh banyak pakar.  Lingkungan biasanya dianggap sebagai isu, sementara yang kerap dihitung sebagai pemangku kepentingan adalah environmentalist atau aktivis/ahli lingkungan.  Kami sendiri ada pada kubu Edmans—juga Jacobs (1997), Woodward (2002), serta Driscoll dan Starik (2004)—yang mau menyatakan secara eksplisit bahwa lingkungan adalah pemangku kepentingan.

Lebih jauh daripada itu, kami setuju dengan pendirian Waddock (2011) bahwa Gaia adalah core focal entity.  Cara pandang tersebut akan lebih memastikan keberlanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan.

Ketiga, Edmans menekankan bahwa perhatian kepada lingkungan itu seharusnya bersifat intrinsik, bukan instrumental.  Ini memberi penekanan penting atas pendirian Edmans.  Perhatian terhadap kesejahteraan pemangku kepentingan bukanlah sekadar alat untuk mencapai peningkatan keuntungan perusahaan, melainkan adalah tujuan perusahaan itu sendiri.  Dalam diskusi yang sangat menarik Bab kedelapan bukunya, Edmans menjelaskan bahwa purpose itu adalah “…the answer to the question ’How is the world a better place by your company being here?’” (Edmans, 2020, hal. 192).  Mungkin, kalau pertanyaan itu dipampang di tempat-tempat menonjol di kantor-kantor perusahaan manfaatnya akan lebih besar dibandingkan kata dan kalimat abstrak tentang nilai-nilai perusahaan yang sering kita lihat.

Struktur Buku yang Menarik

Agar ide-ide besar Edmans itu meyakinkan, tentu perlu didukung oleh hasil-hasil penelitian yang mutakhir.  Dan, Edmans benar-benar berhasil menyediakan bukti-bukti yang mendukung argumentasinya itu dengan lengkap.  Bukan hanya hasil-hasil penelitian yang banyak membuka mata, namun juga paragraf-paragraf anekdotal yang sangat menarik.  Catatan akhirnya seabreg dan bermanfaat untuk pembaca yang ingin mencari tahu lebih jauh lagi.

Bab pertama dan kedua bukunya menyajikan argumentasi utama tentang mengapa perusahaan perlu mengadopsi pie growing mentality itu.  Mentalitas tersebut dia ungkapkan detailnya dahulu, sebelum dia diskusikan peningkatan keuntungan sebagai hasil ikutan pembesaran kue pia.  Sebagai akademisi yang jujur dan adil, Edmans menyajikan juga hasil-hasil penelitian yang memiliki kesimpulan yang bertentangan dengan argumentasi yang dia belas.  Masing-masing penelitian itu dia komentari dengan memuaskan, dan meluaskan wawasan pembacanya.

Bab ketiga bukunya meringkaskan soal trade-off apa saja yang telah diketahui berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan.  Bab berikutnya menunjukkan bahwa do good do well itu bukanlah harapan kosong, karena data jelas menunjukkan itu mungkin.  Bab keempat ini sangat penting karena menyajikan bukti untuk argumentasi kesejalanan antara purpose dan profit.

Tetapi, walau penuh dengan hasil-hasil penelitian, membaca buku ini tak seperti membaca artikel jurnal manajemen atau keuangan—Edmans adalah profesor bidang keuangan—yang kerap rumit dan kering. Buku ini juga ditulis buat praktisi, sehingga enak dibaca.

Setelah empat bab pertama buku itu bicara soal ‘mengapa’, tiga bab berikutnya adalah soal apa saja yang bisa membuat kue pia membesar.  Insentif bagi para manajer, pengawasan dari para investor, dan pembelian kembali saham oleh perusahaan dijelaskan per bab.  Semangat yang hendak dibangun oleh Edmans adalah bahwa sesungguhnya bukan saja perusahaan yang memiliki peran dalam membesarkan pia, namun juga pemangku kepentingnnya.  Apabila para pemangku kepentingan memainkan perannya dalam memperbesar kue pia manfaat sosial perusahaan, tentu perusahaan akan bisa mencapainya dengan lebih mudah, dan mereka semua akan meningkat kesejahteraannya bersama.

Buat para praktisi di dalam maupun luar perusahaan yang ingin tahu dasar ilmiah tindakan memperbesar kue pia, bab delapan hingga sepuluh menyediakannya.  Para manajer perusahaan, investor, dan individu yang ingin membuat perusahaan menjadi kekuatan kebaikan dapat belajar banyak dari sini.

Bab sebelas buku ini sengaja dituliskan Edmans untuk mereka yang ingin melihat perubahan sistemik apa yang perlu diwujudkan untuk mendukung pembesaran manfaat sosial perusahaan.  Pengambil kebijakan di pemerintahan akan mendapat manfaat besar bila membacanya.  Hingga sekarang, sebagian besar regulasi tata kelola yang dibuat oleh pemerintah di banyak negara disandarkan pada model tata kelola yang mengutamakan pemilik modal.  Kalau buku ini dibaca oleh para pembuat regulasi, kemungkinan perubahan regulasi tata kelola akan membesar.

Edmans yang juga banyak bekerja bersama para pemangku kepentingan lain.  Website pribadinya, alexedmans.com, menceritakan itu semua.  Agaknya dia sangat sadar bahwa orang kerap butuh rekomendasi yang benar-benar praktis.  Maka, di luar sebelas bab itu, buku ini juga menyediakan yang dia sebut sebagai Action Items. Bagian ini sangat bermanfaat buat mereka yang benar-benar sangat sibuk, atau mereka yang sudah membaca kesebelas bab buku tetapi masih bertanya-tanya tentang tindakan apa yang semestinya dia ambil.

Buku ini, di bagian depan, telah menyediakan petunjuk tentang bagaimana cara membacanya sesuai kepentingan tertentu.  Misalnya, seorang CEO disarankan membaca bab 2, 3, dan 8; tetapi investor akan mendapatkan manfaat utama dari membaca bab 5, 6, 7, dan 9.

Selain itu, juga di bagian depan, buku ini menyediakan sehalaman penjelasan tentang perbedaan makna antara corporation/enterprise, executives/leaders, compensation/reward, employees/colleagues, consumers/customers, serta shareholders/invesotors.  Penjelasan itu sedemikian menariknya buat kami, lantaran menegaskan bahwa sesungguhnya dalam pilihan istilah ada prakonsepsi dan konsekuensi.  Sebagai misal, perusahaan yang menggunakan istilah konsumen sesungguhnya cenderung melihat hubungan dalam satu kali transaksi, sementara perusahaan yang melihat pembeli sebagai pelanggan memiliki ekspektasi hubungan dalam jangka panjang.

Apresiasi dan Rekomendasi

Edmans berharap pembaca bukunya bisa bersikap kritis, bahkan mengajukan argumentasi yang melawan pesan utama buku ini, untuk diskusi lebih lanjut.  Tapi kami harus menyatakan bahwa kami sepenuhnya ada di kubu Edmans. Kami sejak dulu percaya bahwa optimalisasi manfaat sosial untuk seluruh pemangku kepentingan adalah tujuan pendirian perusahaan.

Kami tak perlu mengajukan argumentasi yang sebaliknya, karena kami yakin bahwa yang dibutuhkan dunia sekarang adalah makin banyak argumentasi dan bukti yang sejalan dengan pendirian Edmans itu. Membaca buku ini di saat krisis COVID-19, makin menegaskan kebutuhan itu.

Kita semua butuh pemikiran dan tindakan yang memastikan pencapaian manfaat sosial perusahaan untuk seluruh pemangku kepentingan, termasuk membawa keuntungan bagi para investor.  Apa yang disajikan oleh Edmans sudah sangat meyakinkan, namun tentu bukti-bukti berikutnya akan terus dibutuhkan, mungkin untuk konteks industri tertentu atau wilayah tertentu.  Tetapi jelas, bahwa dengan capaian Edmans dalam menjelaskan kesesuaian antara purpose dan profit, kita sudah bisa mengucapkan selamat tinggal pada dikotomi palsu (purpose atau profit) yang selama ini sangat mengganggu bahkan punya dampak negatif yang besar sekali pada dunia.

Jelas, lebih dari senang hati kami merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh siapapun: investor, manajer senior, pekerja, pelanggan, aparat pemerintah.  Kami yakin apapun latar belakang pembaca buku ini, mereka akan bersetuju pada apa komentar Oliver Hart, pemenang Nobel bidang ekonomi atas buku ini, “Edman’s arguments are a powerful and persuasive antidote to much of the conventional wisdom about corporate world.”  Tetapi, mungkin di antara yang paling kami harapkan membaca buku ini adalah para mahasiswa sekolah bisnis, yang bisa membawa perubahan mendasar dalam cara berbisnis di masa depan.  Kami percaya sepenuhnya bahwa buku ini akan menjadi salah satu buku bisnis terbaik di tahun, dan sangat mungkin juga dekade, 2020.

–##–

* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA. Ia juga salah seorang deklarator Poros Hijau Indonesia dan Co-founder – ESG Indonesia.

** Zainal Abidin adalah penulis 95 buku dan ratusan artikel. Group Head Agro, Direktorat Sosial Bisnis Dompet Dhuafa, ahli dalam pengelolaan dana CSR terutama di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat marginal, staf pengajar di Program Magister Manajemen Prasetya Mulya.