Oleh: Joko Tri Haryanto *

Sebagaimana diberitakan, DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati usulan pengenaan cukai kantong plastik sebesar Rp200 per lembar atau Rp30.000 per kg. Angka tersebut muncul didasarkan asumsi per kg mengandung 150 lembar plastik sehingga harga kantong plastik menjadi Rp450 hingga Rp500 per lembar. Pertimbangan lainnya juga memikirkan kepentingan industri, kemampuan masyarakat, tenaga kerja hingga keberlanjutan lingkungan sebagai hal yang utama.

Kebijakan pengenaan cukai kantong plastik ini ditujukan sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi konsumsi dan produksi kantong plastik yang tidak dapat didaur ulang atau berbahan petroleum. Namun demikian hal ini juga tidak boleh menciptakan distorsi yang serius bagi pengembangan iklim industri. Karenanya pemerintah menawarkan insentif tarif yang lebih murah bagi produksi kantong plastik yang mudah didaur ulang.

Rencana cukai kantong plastik itu sendiri merupakan bagian dari kerangka kebijakan mengatasi sampah di Indonesia secara umum. Sebelumnya, sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

Regulasi tersebut melengkapi ketentuan teknis yang sudah ada melalui Perpres Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jastranas) serta Perpres Nomor Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Urgensi mengatasi masalah sampah itu tak lepas dari status sampah yang masuk kategori darurat. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume sampah di Jakarta mencapai 8.700 ton/hari, sementara di beberapa kota besar lainnya tak kalah besar. Kota Medan produksi sampah per hari mencapai 1.500 ton, Kota Palembang sekitar 900 ton/hari, Provinsi Bali 650 ton/hari dan Kota Surabaya hingga 400 ton/hari. Tahun 2019 nanti, volume sampah di Indonesia diprediksi sebesar 67,1 juta ton/tahun.

Dari total volume sampah tersebut, 52,78% dihasilkan dari sampah rumah tangga, sementara 12,32% lainnya dari sampah pasar tradisional. Sisanya dibagi antara sampah kantor, pusat perniagaan, fasilitas publik, sampah kawasan dan sumber lainnya. Mirisnya, persentase terbesar sumber sampah, justru didominasi oleh sampah sisa makanan sebesar 41,61% dan sampah plastik mencapai 15,75%.

Dilihat dari aspek kewenangan, persoalan sampah menjadi urusan daerah. Tak heran jika beberapa pemerintah daerah memiliki inisiatif positif dalam mengurangi jumlah timbulan sampah masing-masing. Peraturan Walikota Bogor (Perwal) Nomor 61 Tahun 2018 misalnya, secara gamblang melarang penggunaan kantong plastik saat berbelanja di toko modern dan pusat perbelanjaan per 1 Desember 2018. Peraturan Walikota Kota Denpasar Nomor 36 Tahun 2018 juga mengatur hal yang sama terhitung mulai 1 Januari 2019. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun kabarnya akan segera mengeluarkan kebijakan pelarangan peredaran kantong plastik perbelanjaan.

Beberapa daerah yang menginisasi sejak awal, seperti Kota Banjarmasin dan Kota Balikpapan, kini mulai menikmati insentif fiskal dari pelarangan tersebut berupa tambahan alokasi Dana Insentif Daerah (DID) di tahun 2019.

Dasar pengenaan cukai

Meskipun relatif berhasil, regulasi dan kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik dirasa masih kurang cepat mengubah perilaku masyarakat di dalam mengkonsumsi kemasan plastik. Sebagai bentuk penguatan, pemerintah kemudian memikirkan opsi pengenaan pungutan yang terbukti ampuh dan sukses di beberapa negara lainnya.

Terkait dengan pungutan ini, pemerintah juga sudah mengantongi amanat regulasi diantaranya: Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 39 Tahun 2017 tentang Cukai dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH).

Di dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dikatakan bahwa pemerintah bertugas menjamin terlaksananya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan. Penyelenggaraan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan tentu membutuhkan anggaran.

Undang-Undang  Nomor 32 Tahun 2009 dan PP Nomor 46 Tahun 2017 juga mengamanatkan adanya kewajiban pemerintah menyediakan dana bukan hanya untuk pengelolaan sampah melainkan juga dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup khususnya pada lokasi yang tidak diketahui sumber dan/atau pelakunya.

Berdasar prinsip pigovian tax dan juga asas polluter pays principle, cukai kemudian dirasa paling tepat dibandingkan jenis pungutan lainnya. UU Nomor 39 Tahun 2017 tentang Cukai menyebutkan definisi cukai sebagai bentuk pungutan atas barang tertentu yang memiliki karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaian yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat dan lingkungan serta pemakaiannya perlu pembebanan demi keadilan dan keseimbangan. Barang kena cukai (BKC) di Indonesia saat ini juga masih relatif minim terbatas cuma untuk rokok, MMEA dan etil alkohol.

Menariknya, dengan skema pengenaan cukai, maka dana hasil pungutan ini nantinya dapat dilakukan mekanisme ear marking budget yang artinya dana pungutan akan dikembalikan untuk sumber dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup khususnya di industri plastik nasional.

Jika dirasa kebutuhan menanggulangi sampah existing lebih menjadi prioritas, maka persentase dana hasil pungutan cukai kantong plastik dapat diberikan lebih dominan atau sebaliknya jika dirasa prioritas utama justru menciptakan teknologi penghasil kantong plastik yang ramah lingkungan.

Sebagai sebuah wacana, ide pungutan cukai kantong plastik ini tentu masih membutuhkan tahapan pembahasan yang menyeluruh dengan mendengarkan pertimbangan dari seluruh pemangku kepentingan. Jangan sampai kemudian pengenaan cukai kantong plastik juga memberatkan industri ke depannya. Namun, pemahaman bersama yang wajib dibangun pengenaan cukai kantong plastik tidak perlu dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan industri.

Cepat atau lambat, industri akan bergerak ke arah go green. Di saat itulah cukai kantong plastik dapat dijadikan sebagai alat sertifikasi industrial go green, khususnya bagi industri yang ingin tumbuh dan berkembang secara global.

Cukai kantong plastik juga wajib dijadikan momen perbaikan dalam penyusunan tata kelola industri plastik nasional demi menyongsong kompetisi pasar dunia yang makin deras ke depannya.

–##–

* Joko Tri Haryanto adalah Peneliti di BKF, Kemenkeu. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.