Oleh: Hizbullah Arief *

Menutup tahun 2019, Greta Thunberg melalui akun Twitter-nya, @GretaThunberg, menulis: “Banyak yang mengira 2019 adalah tahun masyarakat mulai sadar akan krisis iklim. Pendapat itu salah,” ujar Greta. Menurut Greta, walau jumlahnya terus bertambah, baru sedikit penduduk dunia yang sadar atas krisis iklim. “Kesadaran masyarakat atas krisis iklim ini baru saja dimulai. (Gerakan) Kami baru menyentuh permukaannya saja,” tuturnya.

Kalimat Greta ini seakan menyimpulkan apa yang telah terjadi dalam upaya menanggulangi krisis iklim dalam 12 bulan terakhir. Diakhiri dengan COP25 di Madrid, Spanyol di mana Greta dan ribuan aktivis perubahan iklim lain menyuarakan protes dalam proses perundingan perubahan iklim yang telah berumur lebih dari seperempat abad ini.

COP25 kemudian gagal menyepakati aturan atau rulebook untuk mengimplementasikan Persetujuan Paris. Dua negara, Australia dan Brasil menciptakan kemacetan dalam perundingan perubahan iklim. Australia dan Brasil memaksa agar pemangkasan emisi di era Protokol Kyoto dimasukkan dalam penghitungan capaian target pemangkasan emisi di 2030. Namun usulan mereka ditolak oleh 31 negara lain karena dianggap tidak sejalan dengan target Persetujuan Paris.

Sebanyak 31 negara termasuk Kosta Rika, Inggris, Spanyol, Prancis, Jerman dan Selandia Baru menandatangani ‘San Jose principles’ guna memastikan peluang membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius tidak tertutup. “San Jose principles” menolak penghitungan ganda atau “double accounting” dalam aksi pemangkasan emisi seperti yang diusulkan Australia dan Brasil. Tujuannya agar pemangkasan emisi gas rumah kaca (GRK) semakin ambisius. Semakin besar pemangkasan emisi GRK berhasil dilakukan, semakin terbuka peluang mencapai target Persetujuan Paris. Saat upaya menciptakan aturan main tersebut gagal disepakati, upaya Greta dan ribuan aktivis perubahan iklim lain seakan menjadi tiada arti.

Kinerja Perubahan Iklim Indonesia

Terlepas kegagalan demi kegagalan dalam perundingan perubahan iklim, peluang aksi perubahan iklim tiap negara sebenarnya lebih tergantung pada seberapa besar ambisi pemerintah untuk beraksi memangkas emisi gas rumah kaca pemicu krisis iklim. Climate Transparency dalam laporan bertajuk “Brown to Green 2019” menganalisis kontribusi negara dalam mencapai target pemangkasan emisi sesuai dengan Persetujuan Paris. Laporan Climate Transparency menilai, target pengurangan emisi Indonesia tidak sejalan dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca dunia.

Menurut laporan ini, Indonesia harus mengurangi emisi menjadi di bawah 551 juta ton setara CO2 (MtCO2e) pada 2030 dan di bawah -128 juta ton setara CO2 pada 2050, agar sejalan dengan skenario pengurangan emisi IPCC. Sementara Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC), hanya menargetkan pengurangan emisi di bawah 1.817 juta ton setara CO2 pada 2030 di luar emisi dari penggunaan lahan.

Salah satu sumber emisi GRK utama Indonesia adalah dari sektor energi. Alih-alih meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan, dalam laporan “Brown to Green 2019” terungkap kebijakan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang – dalam rencana kerja 2019-2028 –  justru menargetkan peningkatan bauran energi batu bara sebesar 0,2% pada 2025.

Pada saat yang sama, kinerja sektor energi baru dan terbarukan Indonesia terpuruk. Indonesia tahun ini hanya menambah kapasitas terpasang energi terbarukan – on-grid maupun off-grid – sebesar 385 MW atau hanya naik 3% menjadi sebesar 10.169 MW (10,17 GW) dibanding tahun 2018. Dampaknya, EBT hanya berkontribusi 12,2% dari bauran kapasitas energi terpasang di 2019.  Hal ini terungkap dalam laporan “Indonesia Clean Energy Outlook: Tracking Progress and  Review of Clean Energy Development in Indonesia” yang diterbitkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Jakarta.

Capaian ini melenceng dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang menargetkan peningkatan kapasitas terpasang EBT di energi primer sebesar 17 GW atau 16% pada 2019. Sementara di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas terpasang EBT menjadi 13,9 GW pada 2019 atau 17,5% dari kapasitas total energi di tahun yang sama.

Namun, Indonesia masih bisa mencapai target berkontribusi maksimal dalam pengurangan emisi GRK dunia. Laporan Hijauku.com sebelumnya telah menjabarkan solusi-solusinya. Solusi pertama, Indonesia bisa mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batu bara, pada saat yang sama melipattigakan (menaikkan hingga 300%) bauran energi terbarukan di 2030. Solusi kedua adalah dengan meningkatkan efisiensi listrik pada lampu dan perabot rumah tangga guna menekan permintaan listrik di bawah 25 GW pada 2030. Solusi ketiga adalah dengan menerapkan moratorium penebangan hutan secara permanen baik itu di hutan primer maupun hutan sekunder serta merestorasi lahan gambut guna menyelamatkan 66 juta hektar hutan. Indonesia telah kehilangan 16% tutupan hutan dibanding level di 2000.

Ketiga solusi itu semakin menguatkan dua kebijakan baru pemerintah yang mendapat nilai positif dalam laporan “Brown to Green 2019” yaitu aturan terkait kendaraan listrik – yang diterbitkan Agustus 2019 lalu – yang memberikan landasan hukum bagi produksi baterai, prasyarat kandungan lokal, stasiun pengisian daya dan insentif perpajakan, serta pembentukan lembaga pengelola dana perdagangan karbon beserta dana-dana lain untuk mitigasi perubahan iklim pada Oktober 2019. Lembaga itu adalah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang diharapkan mampu mendorong aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh para pemangku kepentingan: pemerintah dan aktor non-pemerintah.

Mengandalkan pemerintah sebagai aktor utama aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim memiliki risiko dan keterbatasan. Pemerintah negara-negara dunia terbukti gagal dalam perundingan perubahan iklim karena tidak ada jaminan pemerintah sebagai pelaksana aksi mitigasi dan adaptasi menjalankan kebijakan sesuai dengan aspirasi non-state actors mereka. Sebaliknya, tidak ada kepastian non-state actors akan mendukung aksi perubahan iklim pemerintah.

Dalam konteks aksi perubahan iklim di Indonesia, kesenjangan pengetahuan dan aksi perubahan iklim pemerintah dan aktor non-pemerintah juga masih sangat lebar. Hal ini terbukti dengan minimnya aksi lingkungan dan perubahan iklim yang dilakukan – baik oleh pemerintah maupun aktor non-pemerintah dalam satu dekade terakhir. Kebanyakan aksi lingkungan dan perubahan iklim lokal masih digerakkan oleh aktor dan isu global. Dan kesadaran atas krisis iklim belum mampu diarusutamakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Strategi Komunikasi Perubahan Iklim

Untuk itu, strategi advokasi dan komunikasi perubahan iklim yang tepat harus diciptakan guna mewujudkan partisipasi pemerintah dan aktor non-pemerintah dalam aksi perubahan iklim. Advokasi sebagai upaya untuk mewujudkan perubahan perilaku dan kebijakan menjadi konteks yang tepat dalam hal ini. Untuk mewujudkannya, advokasi menggunakan dua alat utama yaitu komunikasi (communication) dan pelibatan masyarakat (engagement).

Komunikasi tidak hanya bicara tentang proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak yang lain secara efektif dan mudah dipahami, ada fungsi lain dari komunikasi yang lebih dari sekedar mengabarkan informasi. Demikian juga dengan upaya pelibatan masyarakat, ada tujuan yang lebih besar dari sekedar menciptakan kegiatan (event) di lapangan. Tujuan yang lebih besar inilah yang akan menjadi nilai tambah baru dalam proses komunikasi dan pelibatan masyarakat, sekaligus menjadi kunci keberhasilan proses advokasi perubahan iklim.

Nilai tambah baru yang pertama. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus ditargetkan sebagai upaya untuk membangun atau meningkatkan kesadaran masyarakat (building awareness). Kesadaran masyarakat ini dinilai masih sangat kurang bahkan di level dunia, mengingat sulitnya menciptakan kesepakatan dalam aksi perubahan iklim yang lebih ambisius melibatkan berbagai negara. Apa yang disampaikan oleh Greta di atas sangat relevan dengan kondisi ini.

Untuk itu, pengarusutamaan aksi perubahan iklim bisa diawali dengan upaya menciptakan kesadaran atas konsekuensi dan bahaya perubahan iklim seperti telah disampaikan oleh 11.000 ilmuwan baru-baru ini beserta solusi-solusinya. Diperlukan komitmen yang kuat untuk terus menyampaikan informasi seperti ini ke para pemangku kepentingan sehingga tercipta keprihatinan yang mendalam terhadap krisis iklim. Dari sinilah kemudian proses komunikasi dan pelibatan masyarakat bisa mengajak, mendorong, menyemangati aktor pemerintah dan non-pemerintah untuk menciptakan aksi perubahan iklim.

Nilai tambah baru yang kedua. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus digariskan sebagai upaya meningkatkan kemampuan atau kapasitas aktor pemerintah dan non-pemerintah (capacity building) untuk berperan dalam mengurangi risiko dan menciptakan solusi krisis iklim. Upaya peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bisa disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Peningkatan kapasitas ini bisa dicapai melalui pelatihan atau edukasi, baik yang teoritis maupun praktis terkait mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim sesuai dengan kondisi di lapangan.

Nilai tambah baru yang ketiga. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus mampu mendesak para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan agar mewujudkan perubahan praktik dan kebijakan iklim yang riil di lapangan, mendorong proses lobi (lobbying) untuk menciptakan solusi perubahan iklim. Dengan dorongan ini, para pemangku kepentingan diharapkan tidak bisa lagi bertindak biasa atau business as usual. Aksi ini dipastikan akan menjadi agenda terus dilakukan oleh aktor-aktor non-pemerintah menjelang konferensi perubahan iklim COP26 di Glasgow, Inggris. Tanpanya, konferensi perubahan iklim terancam kembali gagal menciptakan aksi riil atasi krisis iklim.

Nilai tambah baru yang keempat, proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus ditargetkan untuk bisa menggalang dukungan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya, menciptakan jejaring (networking) melibatkan para pemangku kepentingan, lintas batas negara, budaya, agama guna  menciptakan sinergi di masyarakat untuk beraksi iklim.

10 Kiat Mewujudkan Nilai Tambah

Guna memandu proses tata kelola komunikasi dan pelibatan masyarakat secara lebih taktis agar tidak melenceng dari tujuannya untuk menciptakan perubahan kebijakan dan aksi di lapangan diperlukan strategi di level praktik atau aksi. Strategi aksi komunikasi dan pelibatan masyarakat bisa didekati menggunakan sepuluh kiat berikut ini.

Kiat pertama. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus difokuskan pada upaya untuk mewujudkan kemitraan atau kerja sama (partnership) dalam menangani masalah krisis iklim. Topik kerja sama dan kemitraan ini harus terus diangkat dan diperbanyak baik melalui proses komunikasi langsung maupun melalui media massa.

Kiat kedua. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus ditargetkan untuk menciptakan konsensus atau pemahaman bersama terhadap sumber masalah krisis iklim beserta solusinya.

Kiat ketiga. Masalah krisis iklim harus dianalisis dari berbagai sudut pandang pihak-pihak yang terlibat menggunakan proses komunikasi dan pelibatan masyarakat, sehingga terwujud kesepahaman yang komprehensif dari para pihak.

Kiat keempat. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat didesain untuk mengajak masyarakat berkolaborasi, saling mendukung dan bertanggung jawab dalam menangani masalah krisis iklim.

Kiat kelima. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus bisa menggali dan memanfaatkan pengetahuan, pengalaman, kearifan masyarakat lokal dalam menyelesaikan masalah krisis iklim.

Kiat keenam. Pengetahuan, pengalaman, kearifan masyarakat lokal ini selanjutnya dikaitkan dengan bukti-bukti ilmiah yang bisa ditemukan dalam skala lokal, nasional dan global guna memperkuat solusi krisis iklim. Pendekatan ini sekaligus mampu memperluas jaringan komunikasi dan pelibatan masyarakat.

Kiat ketujuh. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus mendorong terwujudnya budaya belajar (learning culture) dalam upaya mengatasi krisis iklim. Belajar dari kegagalan, belajar dari kearifan lokal, nasional dan global, agar bencana akibat krisis iklim tak berulang.

Kiat kedelapan. Upaya komunikasi dan pelibatan masyarakat harus difokuskan pada upaya menciptakan solusi atasi krisis iklim di masyarakat. Dengan berfokus pada solusi, proses komunikasi antara para pihak akan berlangsung secara positif dan membangun.

Kiat kesembilan. Proses komunikasi dan pelibatan masyarakat harus dilaksanakan secara fleksibel dan responsif sesuai dengan kondisi dan situasi sosial, budaya, ekonomi masyarakat di lapangan. Masyarakat yang teredukasi, akan lebih mudah bereaksi secara positif dalam upaya menangani krisis iklim.

Dan kiat kesepuluh. Proses komunikasi dan pelibatan para pihak harus berani menggunakan semua jalur dan jaringan komunikasi yang ada, baik jalur komunikasi resmi atau tidak resmi, formal maupun informal, langsung maupun tidak langsung, menggunakan media tradisional, media sosial dan sebagainya. Semua jalur dan jaringan komunikasi tersebut memiliki target penggunanya masing-masing.

Semua kiat di atas saling mempengaruhi dalam menciptakan nilai tambah baru pada proses komunikasi dan pelibatan masyarakat. Dengan menuliskan (kembali) 10 kiat ini, diharapkan diskursus mengenai krisis iklim – dan masalah-masalah lingkungan lain – akan berujung pada aksi, solusi dan perubahan riil di lapangan, secara berkelanjutan. Bagi mereka yang optimistis, tidak ada kata terlambat. Akhir 2019 bisa menjadi awal baru aksi perubahan iklim yang lebih bermakna di Indonesia dan dunia. Seperti yang disampaikan Greta: “This has only just began. We’re still only scratching the surface,” tuturnya.

–##–

* Hizbullah Arief adalah jurnalis pendiri Hijauku.com – Situs Hijau Indonesia. Alumni Asia Pacific Climate Leadership Program di 2012 dan Global Power Shift di 2013. Arief bisa dihubungi melalui surel: hizbullaharief@hijauku.com.