Oleh: Dicky Edwin Hindarto *
Kata orang dalam setiap krisis itu selalu ada peluang. Kata orang lagi setelah krisis berlalu selalu akan lebih kuat dan tegar. Apa yang tidak membunuhku akan membuatku lebih kuat, katanya. Tapi apa yang terjadi kalau setiap krisis berlalu perilaku akan kembali seperti sebelum krisis?
Ini terjadi pada bangsa ini. Setiap kali krisis ekonomi maupun krisis energi, maka setiap kali itu pula seruan hemat energi dilakukan. Setelah semua normal, maka balik lagi seperti kelakuan awal. Malah ada beberapa pihak menganjurkan untuk memakai listrik berlebih karena katanya produksi berlimpah!
Kebijakan Hemat Energi
Menurut apa yang saya ingat, tak kurang dari 3 kali ada arahan dan perintah dari Presiden Jokowi untuk melakukan gerakan hemat energi selama 4 tahun masa pemerintahan beliau. Beberapa minggu yang lalu bahkan ada perintah percepatan pemakaian bahan bakar nabati menjadi biodiesel untuk menghemat devisa dan pemanfaatan energi terbarukan.
Tahun lalu presiden juga sudah memerintahkan kementerian, lembaga, dan swasta untuk melakukan penghematan besar-besaran. Malah sebelumnya anjuran hemat energi dan hidup sederhana juga sudah disampaikan pada masa awal pemerintahan beliau.
Bagaimana dengan pemerintahan sebelumnya? Presiden SBY sepengetahuan saya selama 10 tahun masa jabatannya sudah pernah mengeluarkan inpres, perpres, bahkan kepres masalah hemat energi dan air. Bahkan aneka tim khusus sudah pernah dibuat khusus untuk ini.
Kebijakan Energi Nasional atau KEN bahkan jelas-jelas memformulasikan pentingnya hemat energi! Dan hasilnya sampai sekarang masih belum terlalu banyak perusahaan yang benar-benar melakukan upaya hemat energi dengan benar.
Ini seperti yoyo syndrome yang kerap terjadi pada orang yang melakukan diet. Saat merasa berat badan naik maka mati-matian melakukan diet, bahkan sampai sakit. Begitu merasa agak kurusan, mulailah segala makanan dilahap!
Hemat Energi dan Kenaikan USD
Apa hubungannya antara hemat energi dan kenaikan nilai USD terhadap rupiah? Bagi perusahaan yang mengimpor bahan baku dan kemudian menjual produknya dalam rupiah maka kenaikan nilai tukar ini adalah satu pukulan yang luar biasa. Apabila mereka menaikkan harga produk maka daya beli masyarakat tidak akan mampu menjangkaunya. Jadilah pilihannya mengurangi karyawan atau melakukan efisiensi!
Di sisi lain, menurut perhitungan saya, harga BBM dan listrik terpaksa harus dinaikkan. Kebutuhan BBM yang sebagian besar impor, akan sangat berbahaya apabila tidak dinaikkan karena akan semakin membebani keuangan negara. Sementara komponen pembelian bahan bakar untuk pembangkit listrik seperti gas, minyak solar, dan batubara, yang semua kontraknya menggunakan kurs USD akan mengakibatkan harga listrik harus dinaikkan, kalau tidak akan juga membebani APBN.
Akibat langsungnya adalah biaya produksi, beban rumah tangga, maupun segala layanan jasa dan produk harus dinaikkan harganya!
Hemat Energi dan “Hemat Energi”
Sudah berulangkali saya tulis dan sampaikan kalau hemat energi itu ada ilmunya sendiri. Hemat energi tidak seperti orang yang “kapok lombok”, hanya dilakukan kalau merasa tidak nyaman dengan situasi. Di tingkatan pengguna tentu saja hemat energi ini harus menjadi budaya. Harus ada target, pengaturan, sampai evaluasi dan standar.
Sementara di tingkatan pengambil keputusan, hemat energi sebaiknya bukan hanya dilakukan melalui himbauan dan ajakan, tetapi ada aturannya yang jelas dan transparan. Hemat energi secara langsung akan membuat ketahanan energi semakin tinggi. Apalagi bila disertai implementasi energi terbarukan! Hemat energi sama sekali tidak bisa dilakukan secara sporadis dan hanya berdasar kepentingan sesaat. Ini mutlak harus dilakukan secara terus menerus dan terencana.
Sebanyak apa pun pasokan energi, seberlebih dan semurah apa pun harga energi, sangat tidak patut kalau kita hambur-hamburkan. Apalagi karena tergiur promosi penyedia energi, yang katanya, mampu menyediakan energi sebanyak apa pun kita minta.
Hemat energi dengan “hemat energi” itu berbeda di implementasinya. Hemat energi yang beneran harus dilakukan secara konsisten, sementara “hemat energi” yang dilakukan hanya karena keadaan krisis saja biasanya tidak akan tahan lama dan segera kembali ke keadaan awal.
Jepang dan Jerman adalah contoh dua negara yang mampu belajar saat krisis energi dan keuangan melanda mereka, dan bangkit lagi dalam keadaan lebih efisien dan lebih berdaya saing. Sementara kita tetap saja berpoco-poco maju mundur dalam implementasi hemat energi nasional.
–##–
* Dicky Edwin Hindarto adalah Penasehat Implementasi Joint Crediting Mechanism (JCM).
Leave A Comment