Oleh: Ratna Tondang *
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam batubara yang sangat tinggi dan tercatat sebagai negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Pada tahun 2017, Indonesia telah menghasilkan 487,6 juta ton batubara dan sekitar 28,9% dari batubara tersebut diekspor ke China. Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang bentuknya seperti batu hitam dan memiliki berbagai macam produk-produk turunan. Dewasa ini, pangsa batubara terhadap total pasokan energi primer global stabil sekitar 25% yang mengakibatkan peningkatan sebesar 56% dibandingkan pasokan tahun 1973. Kondisi yang stabil ini, memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya batubaranya sebaik mungkin untuk meningkatkan perekonomiannya. Hampir sebagian besar batubara dikomsumsi sebagai bahan bakar untuk produksi energi listrik dan pertumbuhannya meningkat secara drastis bahkan melebihi 250%.
Dengan laju pertumbuhan populasi penduduk Indonesia yang tinggi dan proses urbanisasi yang semakin cepat, menyebabkan kebutuhan Indonesia terhadap energi meningkat setiap tahunnya. Hampir setiap aktivitas manusia dan pengembangan perekonomian sangat tergantung dengan ketersediaan energi. Dari tahun ke tahun, kebutuhan energi listrik terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2050, akan mengalami pertumbuhan sebesar 7,1% per tahunnya. Pada tahun 2016 hampir 65% bahan baku yang digunakan untuk memproduksi listrik berasal dari batubara, selanjutnya diikuti oleh gas alam (27,05%), minyak solar (6,16%) dan minyak bakar (1,96%). Sektor yang paling tinggi mengkomsumsi energi listrik berasal dari rumah tangga dan industri. Pengaruh urbanisasi yang menyebabkan populasi penduduk di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan, mengakibatkan aksesibilitas masyarakat akan listrik menjadi lebih mudah. Variasi kebutuhan energi listrik di perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan, kemungkinan dapat menyebabkan komsumsi listrik yang berlebihan, didukung pula akibat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi.
Sampai saat ini, konsumsi energi bahan bakar fosil (BBM) masih mendominasi dibandingkan energi terbarukan. Bauran energi yang dikonsumsi di Indonesia 25% berasal minyak, 11% dari gas bumi, 11% listrik, 6,2% batubara, 4,8% LPG, dan masih sangat minor untuk energi terbarukan seperti biodiesel, panas bumi, angin, air, dan matahari. Apabila tidak ada upaya dari kebijakan Pemerintah untuk mengurangi pemakaian bahan fosil dan mengkonversinya dengan menggunakan energi terbarukan, maka pemanfaatan BBM akan meningkat dengan laju pertumbuhannya diproyeksikan sebesar 6,4% per tahun.
Pada tahun 2050, kebutuhan batubara akan meningkat tajam sebesar lebih dari 5 kali lipat terhadap tahun 2015. Hal ini bisa disebabkan karena harga batubara yang kompetitif dan pesatnya perkembangan industri berbasis batubara (semen, kertas, tekstil, dan lainnya). Peningkatan kebutuhan akan gas bumi juga ikut meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 3,9% per tahun dan untuk batubara meningkat rata-rata 4,8% setiap tahunnya.
Namun, apakah peningkatan kebutuhan ini sejalan dengan suplai bahan bakar fosil yang tersedia di Indonesia? Menurut data dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), cadangan untuk minyak bumi di Indonesia terus menurun dari 5,9 miliar barel pada tahun 1995 menjadi 3,7 miliar barel pada tahun 2015. Dengan berkurangnya produksi minyak bumi saat ini dan berkurangnya eksplorasi minyak bumi, diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam kurun waktu 11 tahun lagi. Sehingga Indonesia harus mengimpor minyak bumi dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan energi Indonesia.
Sejak tahun 2004, volume impor minyak bumi Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan ekspornya dan diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2050. Hal ini bisa menyebabkan Indonesia menjadi negara net importer energi. Suatu negara yang telah menjadi net importer country akan sangat membahayakan ketahanan dan keamanan energi nasional karena sangat tergantung atas impor energi dari negara lain. Penurunan jumlah produksi minyak bumi ini dapat disebabkan karena sumur pemboran minyak bumi yang sudah semakin tua dan menurunnya kegiatan eksplorasi migas akibat harga minyak bumi yang cenderung rendah karena adanya kompetisi dari energi terbarukan.
Untuk menarik kembali investor berinvestasi untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi, Pemerintah harus mengatur kembali kebijakan hukumnya, lebih fleksibel dalam menentukan besaran bagi hasil, serta memberikan insentif fiskal dan non-fiskal dalam kegiatan industri hulu migas. Tentu saja upaya yang dapat dilakukan Pemerintah ini akan menghabiskan banyak dana.
Kegiatan eksploitasi minyak bumi dan sisa hasil pembakaran minyak bumi pun nantinya akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan meningkatkan polusi emisi rumah kaca. Bagaimana jika dana tersebut dimanfaatkan untuk investasi dalam pengembangan energi terbarukan? Masalah utama mengapa energi terbarukan berkembang lambat adalah karena biaya pembangunan yang cukup tinggi. Namun dengan teknologinya yang rendah emisi tentu saja akan sangat menguntungkan bagi lingkungan.
Kondisi yang sama halnya dengan minyak bumi juga terjadi dengan gas bumi. Cadangan minyak bumi terbukti terus menurun dan produksinya saat ini diperkirakan akan habis dalam kurung waktu 36 tahun kedepan. Begitu pula dengan batubara, walaupun ekspor batubara Indonesia sangat tinggi namun cadangannya akan habis dalam waktu 70 tahun jika tidak ditemukan dengan cadangan baru. Peningkatan kebutuhan listrik domestik di Indonesia beberapa tahun kedepan pastinya akan mengurangi jumlah ekspor batubara, apalagi didukung dengan PP KEN Nomor 79 Tahun 2014 di pasal 10. Kontrak produksi batubara PKP2B diperkirakan secara bertahap berakhir pada tahun 2030. Namun dengan adanya perizinan baru pertambangan batubara yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, produksi batubara akan terus meningkat. Sejak tahun 2010 sudah terdapat 88 izin pertambangan batubara dan 37 diantaranya sedang dalam masa pembangunan.
Semakin meningkatnya kebutuhan listrik, semakin meningkat pula jumlah bahan bakar yang digunakan. Batubara sebagai salah satu bahan bakar utama untuk memproduksi listrik telah memberikan efek yang yang buruk terhadap lingkungan. Sisa hasil pembakaran batubara untuk memproduksi listrik telah menghasilkan polusi udara yang sangat buruk untuk kesehatan dan meningkatkan emisi karbon. Bukan hanya batubara saja, bahan bakar fosil lainnya juga turut berkontribusi terhadap polusi udara saat ini. Dengan kondisi energi saat ini dan asumsi pertumbuhan rata-rata PDB Indonesia sebesar 6%, diprediksikan emisi GRK meningkat dari 551 juta ton CO2e pada tahun 2015 menjadi 2.868 juta ton CO2e pada tahun 2050.
Asal emisi GRK didominasi oleh sektor pembangkit listrik (47%), industri (21,1%) dan transportasi (20,9%). Emisi dari sektor ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi energi. Tingginya kontribusi emisi GRK dari sektor pembangkit listrik dapat diakibatkan karena terjadinya penambahan kapasitas pambangkit listrik dan banyaknya penggunaan batubara sebagai bahan bakarnya. Sulfur dioksida adalah polusi utama yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Secara alami, sulfur dioksida hanya berasal dari erupsi vulkanik namun apabila konsentrasinya sangat tinggi di udara dapat menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan mengakibatkan berbagai penyakit pernafasan seperti bronchitis.
Target reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26% dengan upaya sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan internasional seperti yang tertuang dalam NDC (Nationally Determined Contribution) merupakan salah satu langkah yang baik yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam COP 21 di Paris. Dengan upaya mengurangi emisi GRK, telah banyak dilakukan pengembangan dan penelitian teknologi energi terbarukan.
Beberapa upaya reduksi emisi yang dilakukan pemerintah, seperti optimalisasi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) diprediksikan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 22% atau penurunan emisi 6.150 juta ton CO2 dari tahun 2015 sampai 2050 dan mampu mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Peningkatan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) yang dikeluarkan sebagai mandatori dalam Permen ESDM 12/2015, diprediksikan juga akan mengurangi kebutuhan minyak solar sebanyak 3,73 juta kiloliter, bensin 23,76 juta kiloliter, dan avtur sebanyak 2,2 juta kiloliter pada tahun 2050.
Dari sisi emisi GRK juga akan menurunkan emisi sebanyak 68,28 juta ton CO2e pada tahun 2050. Dengan kondisi geografis Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan energi solar sebagai pembangkit listrik. Selain itu, dengan panjang garis pantainya yang tinggi dapat pula dikembangkan teknologi angin laut sebagai pembangkit listrik.
Mengingat tingginya ketergantungan Indonesia akan impor BBM dan diprediksikan pada tahun 2031 Indonesia akan menjadi negara net impor energi, Pemerintah Indonesia seyogyanya mendorong upaya pemanfaatan teknologi energi bersih. Adanya upaya pemanfaatan teknologi bersih ini nantinya akan menurunkan kebutuhan energi dan meningkatkan pemanfaatan energi yang bersumber dari dalam negeri seperti BBN untuk transportasi dan energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik. Selain itu, dampak positifnya terhadap peningkatan mitigasi emisi GRK dapat dimanfaatkan untuk mencapai target NDC Indonesia yang sudah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan dukungan insentif dan regulasi agar pemanfaatannya dapat berlangsung tanpa merugikan masyarakat.
–##–
* Ratna Tondang adalah alumni Program Studi Rekayasa Kehutanan, Institut Teknologi Bandung.
[…] dari hijauku.com Sampai saat ini, konsumsi energi bahan bakar fosil (BBM) masih mendominasi dibandingkan energi […]