Oleh: Jalal *

Pada perhelatan The 2nd Circular Economy Forum, tanggal 28-30 Juni 2018 di Surabaya, saya didapuk menjadi moderator di hari pertama untuk sesi bertajuk Funding Opportunity.  Buat saya, sesi ini adalah sebuah learning opportunity.  Agak mendalami urusan keuangan berkelanjutan selama beberapa tahun belakangan ini, saya benar-benar berminat untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya urusan pendanaan ekonomi sirkular ini.  Narasumbernya cukup beragam dan membuat diskusi menjadi menarik. Erik Armundito  dari Bappenas, Andi Pangeran dari Perhimpunan Filantropi Indonesia, dan Agrivickona Ario Vicaksono dari Kedutaan Besar Denmark.

Apa saja yang disampaikan oleh para narasumber tersebut?  Narasumber dari Bappenas yang berbicara mengenai pendanaan pembangunan berkelanjutan memulai dengan pernyataan bahwa Indonesia ingin memertahankan pertumbuhan ekonomi yang di atas 5% per tahun, namun tanpa mengorbankan kondisi sosial dan kelestarian lingkungan.  Selama ini, diakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi tersebut—ketiga tertinggi di antara negara-negara G20—diperoleh dengan korbanan sosial dan lingkungan yang tinggi.  Kini kita tak memiliki ‘keleluasaan’ serupa lantaran kerusakan memang sudah mengkhawatirkan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan yang diformulasikan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dipandang sebagai kerangka yang kokoh. Oleh karenanya, pemerintah tengah memasukkan pembangunan berkelanjutan ke dalam formulasi RPJMN 2020-2024, selain juga membuat Rencana Aksi Nasional (RAN), peta jalan, dan Rencana Aksi Daerah (RAD) SDGs Indonesia.

Dalam hal ini, penting diingat kembali bahwa Ekonomi Sirkular terkait secara langsung dengan berbagai tujuan SDGs, terutama SD6G6, SDG7, SDG8, SDG12, dan SDG15.  Mungkin bagi sebagian besar orang, Ekonomi Sirkular itu hanya terhubung secara langsung dengan SDG12—yaitu produksi dan konsumsi berkelanjutan—namun, sebagaimana yang telah dipetakan oleh Schroeder, Anggraeni dan Weber (akan terbit di Journal of Industrial Ecology), sesungguhnya ada 5 Tujuan SDGs yang terkait langsung.  Sementara, di tingkat Target hanya 35 Target SDGs yang belum bisa ditemukan kaitannya dengan Ekonomi Sirkular.  Artinya, penerapan Ekonomi Sirkular itu ekstra-penting untuk mencapai SDGs.

Mencari dan Meraih Pendanaan

Diskusi kemudian menukik ke persoalan pembiayaan.  Jelas, untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, diperlukan sumberdaya finansial yang besar, dan tidak sekadar dari pemerintah.  Sudah banyak pernyataan bahwa belanja pemerintah mustahil bisa mencukupi kalau kita hendak mencapai SDGs di tahun 2030 yang kita dengar dan baca.  Dan kali ini pun demikian.  Kalau kita telisik lebih dalam, memang belanja pemerintah itu tidak memadai.  Sebagai negara yang ukuran ekonominya telah mencapai USD1 triliun—alias Rp14.500 triliun—di tahun lalu, APBN kita ‘cuma’ ada di kisaran Rp2.200 triliun.  Sekitar sepertujuhnya saja.  Maka, untuk mencapai SDGs, di mana ekonomi sirkular adalah bagian yang sangat penting, bukan saja belanja pemerintah yang perlu dibuat berkelanjutan; melainkan juga investasi, dan konsumsi masyarakat.

Sebelum dibuat berkelanjutan, sumber-sumber finansial lain tersebut perlu diidentifikasi dan dimobilisasi.  Narasumber dari Bappenas menyatakan bahwa hingga sekarang berbagai sumber yang sudah diidentifikasi antara lain adalah APBN, APBD, pinjaman, hibah, investasi—termasuk Public-Private Partnership (PPP) dan Pembiayaan Investasi Non-Anggaran (PINA)—blended finance, pembiayaan berbasis syariah, serta pembiayaan dari masyarakat.

Potensi berbagai sumber tersebut dipandang sangat besar, dan jauh lebih besar, dibandingkan dengan apa  yang sudah dimobilisasi hingga sekarang. Potensi zakat, misalnya, ada pada kisaran Rp100-200 triliun, namun baru terwujud Rp2,3 triliun. Iuran masyarakat bagi pengelolaan sampah yang seharusnya ada di Rp20.000/RT/bulan, sesuai dengan besaran manfaat yang diperoleh dan/atau atau pencemaran yang mereka buat, namun praktiknya masih jauh di bawah itu.  Banyak anggota masyarakat yang masih membayar di bawah itu, atau bahkan tak membayarnya sama sekali.  Pada saat yang sama, mereka tak melakukan pengelolaan sampah sama sekali.  Dan ini membuat banyak pemerintah daerah menanggung beban yang sangat berat dalam urusan pengelolaan sampah.

Selain soal besaran itu, narasumber dari Perhimpunan Filantropi Indonesia mengingatkan bahwa pembiayaan yang bersumber dari masyarakat itu, juga filantropi perusahaan, seharusnya bisa digeser dari sekadar donasi atau direct giving menjadi impact investing yang benar-benar berdampak positif pada ekonomi, sosial, dan lingkungan.  Donasi cenderung dimanfaatkan untuk hal-hal konsumtif.  Walaupun bantuan seperti itu tetap diperlukan bagi yang sedang mengalami kesulitan, namun kita juga sangat membutuhkan beragam investasi produktif yang berdampak positif.  Bantuan konsumsi akan habis dalam jangka pendek, namun investasi produktif bisa membawa manfaat dalam jangka sangat panjang.

Kalau dahulu—mungkin puncaknya di penghujung 1990an dan awal 2000an—Indonesia seperti negara yang jadi fokus favorit para donor, kini tidak lagi.  Pembiayaan yang berasal dari donor luar negeri semakin kecil, mengingat Indonesia telah masuk ke dalam negara-negara dengan penghasilan menengah, dan secara ukuran ekonomi telah masuk ke dalam G20.  Indonesia memang kini adalah ekonomi nomor 16 di dunia, dan tak lagi pantas menjadi sasaran pendanaan donor yang bersifat hibah.

Karenanya, sebagaimana yang disampaikan narasumber dari Kedubes Denmark, negara-negara donor hanya memberikan bantuan hibah langsung kepada kelompok masyarakat, terutama kelompok rentan yang memang masih membutuhkannya. Sementara, kepada pemerintah sifatnya adalah bantuan teknis, pertukaran pengetahuan, dan yang sejenis. Kepada swasta, negara-negara maju berharap bisa berinvestasi dan bekerjasama dalam projek-projek.  Ini merupakan perkembangan yang sangat penting, dan sejalan dengan pergeseran dari donasi menjadi investasi yang berdampak.  Donasi tetap diberikan, namun investasi menjadi jauh lebih besar.

Dengan diadopsinya SDGs sebagai kerangka pembangunan global sejak penghujung 2015, tema-tema bantuan maupun kerjasama investasi kini diformulasikan ke dalam tujuan-tujuan SDGs. Energi terbarukan dan Ekonomi Sirkular—termasuk pengelolaan sampah menjadi beragam produk—menjadi tema yang popular dalam kerjasama yang dikehendaki oleh Kedubes Denmark.  Negara-negara lain tentu punya preferensi kerjasama yang berbeda, namun dalam catatan saya tidak sedikit yang telah menyatakan minat kerjasama dalam energi terbarukan dan Ekonomi Sirkular.

Namun demikian, sangat penting untuk diingat bahwa beberapa tujuan SDGs masih mengalami kesenjangan pendanaan. Sebagai misal, blended finance utamanya masih ditujukan untuk pembiayaan infrastruktur.  Kebutuhan pembangunan infrastruktur di Indonesia, yang memang dikebut pemenuhannya di masa kepemimpinan Presiden Jokowi, telah membuat bentuk pembiayaan tersebut sangat terserap ke sektor infrastruktur, yang sebetulnya belum pasti juga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.  Di sisi lainnya, perusahaan rintisan (startup) di bidang industri kreatif dan Ekonomi Sirkular masih kesulitan mengakses pendanaan, sebagaimana yang disampaikan beberapa peserta diskusi.

Empat Ide Tindak Lanjut

Hingga akhir sesi tanya-jawab, sejujurnya saya tak bisa bilang bahwa tujuan sesi ini untuk menunjukkan dengan jelas ada berapa dan di mana sumber pendanaan untuk sektor-sektor bisnis yang terkait Ekonomi Sirkular itu telah tercapai.  Para narasumber telah menunjukkan arah, namun, buat saya, petunjuk arahnya masih terlampau umum.  Masih seperti pernyataan “berjalanlah ke arah barat laut”, tetapi apa berapa lama kita harus berjalan, serta petunjuk apa yang bisa kita pergunakan untuk kepastian bahwa kita telah tiba di tujuan, belum cukup jelas.  Karenanya, saya kemudian bertanya lebih jauh soal tindak lanjut dari apa yang sudah disampaikan oleh para naasumber.

Saya kemudian mencatat ada empat jawaban mereka. Tindak Lanjut pertama yang dinyatakan adalah perlunya identifikasi tujuan-tujuan SDGs yang masih mengalami kesenjangan pembiayaan, dengan kejelasan besaran dan kerangka waktu pembiayaan yang dibutuhkan.  Ini membutuhkan tindakan semacam budget tagging untuk belanja pemerintah, namun tidak terbatas pada hal itu, karena dana dari masyarakat, perusahaan dan donor yang sekarang ada juga sebetulnya perlu proses identifikasi yang sama.

Prosesnya sendiri tak mudah, mengingat bahwa SDGs sendiri menganut model keberlanjutan yang nested.  Artinya, satu kegiatan atau projek pasti terkait dengan beberapa Target atau bahkan Tujuan.  Dengan demikian, perhitungan kebutuhan pendanaan untuk setiap Tujuan pasti juga terkait dengan beragam Tujuan lain.  Proses penandaan untuk anggarannya kemudian menjadi lebih rumit, pun demikian dengan penghitungan kesenjangan pendanaan, dan asal dana untuk pemenuhannya.  Tetapi, kerumitan ini tak sepantasnya membuat kita berhenti mengupayakannya.

Kedua, perlunya dibentuk forum yang mengidentifikasi sumber-sumber pendanaan yang potensial namun belum terwujud, kejelasan persyaratan untuk bisa memobilisasi dan mengakses sumber-sumber tersebut, dan peningkatan kapasitas untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut.  Kalau yang pertama adalah dimulai dari pangkal kegiatan atau projek, yang kedua ini adalah identifikasi di ujungnya.  Karena identifikasi itu tak mudah, maka pembentukan forum adalah jalan yang lebih masuk akal.  Secara kolektif pengetahuan bisa dikumpulkan, lalu disebarluaskan.

Salah satu yang saya sangat sukai dari rekomendasi para narasumber itu adalah pernyataan bahwa upaya mendapatkan kejelasan prasyarat untuk mengakses pendanaan, dan perlunya peningkatan kapasitas untuk itu.  Lantaran urusan saya banyak terkait dengan lembaga-lembaga internasional, saya mafhum bahwa persyaratan-persyaratan pendanaan itu bukan sesuatu yang mudah dipenuhi.  Dengan persaingan yang semakin ketat—bukan saja di dalam negeri—untuk mendapatkan donasi maupun investasi, para pemangku kepentingan keberlanjutan di Indonesia memang perlu menjadikan diri sebagai tim untuk bisa mengaksesnya.  Kalau tidak ada upaya mendapatkan kejelasan prasyarat dan meningkatkan kapasitas, saya khawatir Indonesia akan kalah bersaing dengan negeri-negeri yang sudah menjadi langganan investasi berkelanjutan.

Rekomendasi ketiga adalah perlunya aksi-aksi kolaboratif untuk mewujudkan berbagai tujuan SDGs, termasuk Ekonomi Sirkular, yang bisa dipelajari oleh seluruh masyarakat, untuk kemudian direplikasi dan ditingkatkan skalanya.  Saya juga sangat menyukai rekomendasi ini.  Bagaimanapun, orang akan lebih mudah untuk memahami, dan percaya bahwa keberlanjutan lewat praktik Ekonomi Sirkular itu mungkin, lewat projek-projek yang telah menunjukkan proses dan kinerja yang baik.  Sekadar membaca konsep Ekonomi Sirkular atau contoh keberhasilannya dari negara-negara lain, bagaimanapun, tak cukup untuk memberikan kepercayaan diri bahwa kita akan mampu melakukannya, dan dalam skala yang kita butuhkan untuk membantu mewujudkan tujuan SDGs di Indonesia pada waktunya.

Saya kemudian berpikir bahwa sesungguhnya acara seperti The 2nd Circular Economy Forum yang salah satu sesinya sedang saya moderasi itu adalah salah satu wujud penting untuk menunjukkan pencapaian Ekonomi Sirkular di Indonesia.  Tetapi, dengan jumlah hari yang terbatas, diselenggarakan di sebuah kota, maka jumlah kasus yang bisa ditunjukkan, dan jumlah orang yang bisa menyaksikannya itu sangat terbatas.  Panitia perlu memastikan bahwa laporan kegiatan ini kelak tersedia dan dapat diakses oleh sebanyak mungkin orang.  Tetapi, yang lebih penting lagi adalah kasus-kasus yang dipresentasikan di acara ini perlu terus didokumentasikan, dan disebarluaskan lewat berbagai media.  Demikian juga, beragam inisiatif Ekonomi Sirkular yang belum dipresentasikan di acara ini juga perlu ditemukan, lalu ditunjukkan kemajuannya kepada khalayak.

Yang terakhir, rekomendasi yang disampaikan adalah perlunya payung hukum yang lebih jelas mengenai Ekonomi Sirkular, sehingga makin banyak pihak yang dapat berkontribusi di dalam upaya mewujudkannya.  Indonesia telah memiliki beragam regulasi tentang pengelolaan lingkungan dan sosial dan SDGs, termasuk kajian lingkungan hidup strategis, instrumen ekonomi lingkungan hidup, dan keuangan berkelanjutan.  Itu semua terkait dengan Ekonomi Sirkular.  Namun, detail mengenai definisi Ekonomi Sirkular, proyek-proyek apa saja yang bisa masuk ke dalam cakupan Ekonomi Sirkular, kekhususan pembiayaan, dan sebagainya, tetap diperlukan.  Saya tak tahu apa bentuk regulasi yang perlu dibuat, namun kiranya kejelasan itu memang diperlukan bagi kita semua.

Pertanyaan yang Menggantung

Mungkin lantaran diskusinya adalah tentang Ekonomi Sirkular, maka ada pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepala saya.  Jujur saja, saya mengharapkan jawaban yang lebih lugas dibandingkan yang bisa saya dapatkan di sesi ini, walau saya sudah belajar banyak sekali dari para narasumber.  Saya membayangkan, seandainya ada kasus-kasus Ekonomi Sirkular yang bisa dipaparkan, kemudian diungkapkan kesulitan pendanaan di awal, lalu setelah perjuangan tertentu dana yang dibutuhkan itu diperoleh, maka itu akan jadi pembelajaran yang menarik.  Mungkin kelak panitia The 3rd Circular Economy Forum bisa menimbang untuk menemukan kasus-kasus seperti itu.

Di bulan Ramadan lalu, saya diminta untuk menjadi fasilitator diskusi oleh WWF Indonesia. Temanya adalah tentang pembiayaan untuk energi baru dan terbarukan.  Salah satu peserta diskusinya adalah wakil dari sebuah perusahaan yang telah berhasil memeroleh teknologi yang bisa mengolah sampah yang sudah lama tertimbun—bukan yang baru masuk TPA dan masih menjadi ‘hak’ para pemulung untuk mengambil sampah yang masih bernilai buat mereka—menjadi sumber energi.  Ia menceritakan berbagai detail isu-isu pembiayaan yang menarik, termasuk mengapa banyak teknologi waste to energy tak kompatibel di Indonesia sehingga kemudian tak mendapatkan pembiayaan yang diperlukan.  Cerita dari pelaku seperti ini agaknya diperlukan, agar perbincangan tentang pendanaan menjadi lebih nyata.

Saya juga sebetulnya punya satu pertanyaan yang sangat mengganggu kepala. Jelas, dari diskusi itu bisa terbaca bahwa Ekonomi Sirkular telah menarik perhatian para pemangku kepentingan, termasuk penyedia jasa keuangan.  Jelas ada uang untuk membiayai beragam inisiatif Ekonomi Sirkular.  Namun, pembicayaan yang mungkin lebih penting lagi adalah sebesar apa uang yang bakal dihadirkan oleh Ekonomi Sirkular? Secara sederhana kita tahu bahwa potensinya luar biasa besar, sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh contoh-contoh dari berbagai belahan dunia.  Tetapi, sesungguhnya saya ingin tahu soal ini lebih dalam untuk konteks Indonesia, terlebih lagi karena ada pernyataan-pernyataan bahwa menjual listrik dari sampah itu di Indonesia tidak menguntungkan, melainkan sekadar salah satu saja—dan dianggap kecil, sehingga dianggap sekadar ‘bonus’ oleh beberapa pembicara di forum ini—dari sumber penghasilan pengolah sampah.  Lalu, bagaimana dengan arus penghasilan dari inisiatif-inisiatif Ekonomi Sirkular lainnya?  Apa saja inisiatif Ekonomi Sirkular yang benar-benar menjanjikan keuntungan yang memadai di Indonesia, dan bagaimana model bisnisnya?  Saya sangat berharap diskusi soal keuangan di forum berikutnya bisa ditekankan untuk membahas masalah ini.

–##–

* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA.