Greenpeace logoJakarta, 20 Oktober 2016 — Ratifikasi Perjanjian Paris oleh Pemerintah Indonesia adalah kabar baik, yang memberikan harapan dan sinyal bahwa pemerintah siap untuk mengambil langkah-langkah yang berarti dan mengikat untuk melindungi Indonesia dari dampak buruk perubahan iklim, termasuk menyebabkan kematian dini di seluruh Asia Tenggara. [1] Mengingat bahwa emisi gas rumah kaca dari perusakan hutan terus meningkat, pengeringan dan kebakaran lahan gambut berkontribusi sangat besar terhadap total emisi nasional, sekarang adalah waktunya bagi Indonesia untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat pada Deklarasi hutan di New York 2014 untuk mengakhiri deforestasi dan melindungi lahan gambut secara total. [2]

Transparansi adalah kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hijau dan penurunan emisi yang telah ditetapkan pemerintah dalam INDC. Ini artinya kredibilitas proses UNFCCC bergantung pada bagaimana semua stakeholder memiliki akses terhadap kebijakan dan data yang memungkinkan pemantauan independen dan verifikasi terhadap klaim pemerintah. Sayangnya, nilai-nilai tersebut tidak tercermin di seluruh level pemerintahan Joko Widodo. KLHK saat ini menolak untuk memberikan data yang bisa digunakan dan tepat waktu, termasuk data tutupan lahan. Adanya surat dari Kementrian Pertanian kepada GAPKI yang mengatakan bahwa peta konsesi bersifat rahasia secara komersial. Ini adalah saatnya seluruh kementerian bekerjasama mewujudkan kebijakan Satu Peta.

Berdasarkan Persetujuan Paris yang diratifikasi tersebut, transparansi menjadi kewajiban mutlak bagi setiap pemerintahan. Oleh karena itu, sengketa data dan informasi geospasial dalam format shapefile yang saat ini menunggu keputusan dari Komisi Informasi Pusat (KIP), tidak perlu terjadi. Ini artinya apapun putusan yang akan dijatuhkan KIP, pemerintah Indonesia sebagai penandatangan ratifikasi Persetujuan Paris, tetap memiliki kewajiban untuk membuka data dan informasi geospasial dalam format shapefile.

Hal yang paling penting adalah apa yang akan dilakukan setelah ratifikasi. Implementasi penurunan emisi yang telah dijanjikan haruslah secara sinergi diadopsi oleh semua sektor dan bagaimana konsep pembangunan Indonesia beralih menuju penerapan ekonomi rendah karbon.Pemenuhan sumber kelistrikan Indonesia yang masih akan didominasi oleh batubara dapat kita lihat pada RUPTL 2016-2025 dan juga 35000 MW yang 60%nya lebih masih berasal dari batubara. Dengan tidak ada pengurangan porsi batubara dalam RUPTL, Greenpeace mengkalkulasi bahwa sektor energi dari sumber listrik akan mengeluarkan emisi karbon sebesar 332 juta ton per tahunnya. Sedangkan untuk menjaga kenaikan suhu bumi dibawah 1,5 derajat celcius, kita harus mencapai nol karbon pada tahun 2060-2080 yang artinya pemerintah harus mengambil langkah progresif untuk mengakhiri era batubara dan beralih pada energi bersih.

Catatan untuk redaksi:

[1] http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/11/9/094023

[2] Baca lebih lanjut : “Indonesia Meratifikasi Persetujuan Paris: Kesenjangan antara Janji dan Kenyataan Lapangan”

Kontak media:

Ratri Kusumohartono, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +628118003717, email: tkusumoh@greenpeace.org

Hindun Mulaika, Tim Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Email hindun.mulaika@greenpeace.org tel : +628118407113,

Rahma Shofiana, Media Campaigner for Greenpeace Indonesia, +628111461674, email: rshofian@greenpeace.org