Penelitian terbaru dari Purdue University menggarisbawahi pentingnya kebijakan lingkungan dan udara bersih guna mengatasi masalah polusi udara di perkotaan.
Regulasi udara bersih ini terbukti mampu mengurangi hujan asam di kota-kota besar di Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Korea Selatan dalam 30 tahun terakhir. Kondisi ini tidak terjadi di kota-kota besar di Asia Timur yang saat ini tengah tumbuh dengan pesat. Sumber masalahnya adalah lemahnya regulasi dan penegakan hukum terkait polusi udara di kota-kota tersebut.
Regulasi udara bersih di Amerika Serikat (US Clean Air Act) telah mensyaratkan pemantauan emisi kendaraan sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1990, regulasi ini diamandemen guna menambahkan sejumlah isu baru diantaranya adalah hujan asam.
Upaya yang sama juga dilakukan oleh Uni Eropa, Jepang dan Korea Selatan. “Ketiga wilayah ini berhasil mengurangi kandungan nitrat dan sulfat dalam air hujan – komponen yang menjadi ciri hujan asam – dalam tiga dekade terakhir,” ujar Suresh Rao, Profesor Teknik Sipil di Purdue University yang memimpin penelitian ini.
Hujan asam berdampak negatif bagi kesehatan ekosistem baik ekosistem perairan – seperti danau, sungai serta lahan basah – dan ekosistem daratan seperti hutan dan lahan.
Tim peneliti menggunakan semua data dari berbagai lokasi pemantauan pada periode 1980-2010 guna menemukan “simpanan” nitrat dan sulfat di kota-kota besar di AS dan Asia Timur. Polusi nitrat dan sulfat ini berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, oleh mobil, truk maupun bus. Polutan ini masuk dan berakumulasi di atmosfer sebelum akhirnya terbawa oleh air hujan atau salju kembali ke bumi.
Menurut tim peneliti, hujan asam di kota-kota besar Asia Timur terus meningkat. “Analisis kami terkait data ‘simpanan nitrat’ menunjukkan bukti kuat bahwa penegakan hukum lingkungan dan kebijakan pencegahan polusi menjadi sangat penting,” ujar Rao. Temuan ini sudah diterbitkan dalam jurnal Atmospheric Environment edisi bulan ini.
Selain menyebabkan hujan asam, polusi juga menyebabkan kabut asap (smog) yang berasal dari polusi benda-benda partikulat (particulate matters). Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Lancet menunjukkan, polusi benda-benda partikulat adalah penyebab kematian terbanyak keempat di China dan memicu 1,2 juta kematian prematur pada 2010. Masalah yang sama juga terjadi di India. Polusi udara diperkirakan memicu 600.000 kematian prematur setiap tahun.
“Setiap kendaraan di AS saat ini memiliki catalytic converter yang bisa mengurangi emisi gas buang. Teknologi pengontrol emisi yang diberlakukan di seluruh AS bisa membantu mengurangi polusi. Intinya, AS bisa menyelesaikan masalah hujan asam dengan menciptakan regulasi yang baik dan penggunaan teknologi mitigasi,” tutur Rao.
Penelitian ini juga mengungkapkan, walau pola cuaca di berbagai kota berbeda, rata-rata “simpanan” nitrat dan sulfat per tahun di seluruh wilayah AS hampir sama. “Temuan ini mengejutkan,” ujar Rao.
Keseragaman tingkat “simpanan” nitrat dan sulfat inilah yang tidak ditemukan di kota-kota di Asia Timur. Penyebabnya tidak lain adalah tidak adanya regulasi emisi sehingga tingkat emisi di kota-kota besar di Asia Timur terus membumbung tinggi. Salah satu contohnya bisa dilihat dari simpanan nitrat dan sulfat dalam air hujan di Kota Xi’an, China yang 10 kali lipat lebih besar dibanding Kota New York di AS.
Redaksi Hijauku.com
[…] kebijakan polusi udara dan lingkungan sudah banyak diterapkan di berbagai negara, dampak polusi udara masih terus menjadi […]