Menciptakan kebijakan jangka panjang adalah kunci sukses peralihan negara ke energi baru dan terbarukan (EBT).
Hal ini terungkap dalam laporan berjudul, “The Energy Mix, Low-Carbon Pathways to 2050” yang diterbitkan oleh World Business Council for Sustainable Development, minggu lalu.
Laporan ini juga menekankan, pemerintah harus menghindari kebijakan yang mengejar keuntungan politik jangka pendek (short-term political gain) dalam upaya peralihan ke EBT ini.
Saat ini energi baru dan terbarukan menyumbang 13% dari sumber energi global ((2% dari air, 10% dari sampah dan biomasa, serta 1% dari angin/cahaya matahari) dan 19% pasokan energi global.
Pesatnya pertumbuhan energi tenaga angin dan matahari didukung terutama oleh perkembangan teknologi dan kebijakan pemerintah seperti Feed in Tariffs (FIT).
FIT biasanya memiliki tiga komponen kebijakan yaitu jaminan akses ke jaringan listrik, kontrak dan komitmen jangka panjang untuk memroduksi energi baru dan terbarukan serta penetapan harga energi baru dan terbarukan yang sesuai dengan biaya produksi.
Hasilnya, saat ini dunia sudah memiliki energi angin dengan kapasitas mencapai 240 GW dan energi dari panel surya terpasang sebesar 40 GW.
Pengalaman dari sejumlah negara di Eropa menunjukkan, peralihan ke EBT bisa dipercepat dengan komitmen dan dukungan kebijakan dari pemerintah.
Kontribusi energi angin meningkat pesat di sejumlah negara akibat kebijakan FIT ini. Sebanyak 26% pasokan energi Denmark berasal dari energi angin, sementara pasokan energi angin di Jerman mencapai 8% dan Spanyol 16%. Lebih dari 50 negara – termasuk China, India dan Brasil – berupaya mengikuti kesuksesan ketiga negara tersebut.
Sementara potensi teknis pembangkit listrik tenaga air di seluruh dunia diperkirakan mencapai 14.576 TWh/tahun, empat kali lipat dari yang diproduksi dunia saat ini.
Uni Eropa memiliki target ambisius menghasilkan 20% energinya dari EBT pada 2020. Dan tampaknya, Uni Eropa akan meraih target ini dengan mudah. Kinerja sejumlah negara akan jauh melampaui negara-negara lain yang masih harus berjuang untuk beralih ke EBT dan meninggalkan ketergantungan mereka terhadap bahan bakar fosil.
Penting untuk diingat, dengan beralih ke EBT, dunia juga akan memerlukan kapasitas transmisi tegangan tinggi, kapasitas pencadangan (back up capacity) dan pembangunan jaringan listrik pintar baru. Jaringan yang dikenal dengan nama “smart grid” ini berfungsi untuk mengelola pasokan dari jenis energi yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk menciptakan kebijakan EBT yang menyeluruh. Investasi yang diperlukan sangat besar. Para pembuat kebijakan harus memastikan bahwa target-target peralihan ke EBT tersebut bisa dicapai dengan cara yang efektif dan efisien.
Redaksi Hijauku.com
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk berubah mengunakan Renewable energi dan efisiensi energi, hanya saja indonesia kurang sensitifas terhadap hal tersebut.