Tujuh industri manufaktur utama – termasuk sektor energi terbarukan – terancam berhenti berproduksi akibat kelangkaan bahan baku.

Hal ini terungkap dalam laporan lembaga akuntan publik, PwC, yang diterbitkan baru-baru ini. Kondisi ini dikhawatirkan mengganggu sistem pasokan dan ekonomi negara.

Dalam laporan yeng berjudul In Minerals and metals scarcity in manufacturing: A “ticking time bomb”, PwC melakukan survei terhadap 69 perusahaan manufaktur terbesar di wilayah Eropa, Amerika dan Asia Pasifik, untuk mengetahui dampak dan lokasi dari kelangkaan bahan baku tersebut.

Industri yang diteliti meliputi berbagai industri manufaktur, kimia, penerbangan, logam, infrastruktur, otomotif, industri energi dan energi terbarukan serta industri peralatan teknologi. 

Menurut PwC, kelangkaan ini akan semakin parah dalam lima tahun ke depan yang akan menyebabkan ketidakstabilan dan gangguan pasokan bahan baku. Dan sebanyak 79% responden di sektor energi terbarukan menyatakan, mereka saat ini mengalami ketidakstabilan pasokan.

Mineral dan logam yang masuk dalam daftar kritis adalah: lithium, yang digunakan sebagai bahan baku baterai di industri mobil ramah lingkungan dan turbin angin; berilium yang dipakai pada peralatan militer ringan, industri antariksa, roket dan satelit komunikasi; kobalt, bahan baku mesin turbin jet dan baterai mobil isi ulang; tantalum, digunakan di ponsel, komputer dan peralatan elektronik otomotif serta flurospar yang dipakai di industri konstruksi, semen, gelas, besi dan baja.

Laporan lengkap bisa Anda baca di sini

Redaksi Hijauku.com