Praktik ekonomi hijau mampu menumbuhkan ekonomi dan mengurangi jumlah masyarakat miskin tanpa merusak sumber daya alam.
Kemiskinan adalah bentuk kesenjangan sosial yang paling mudah diidentifikasi. Masyarakat miskin adalah mereka yang tidak memiliki akses ke pendidikan, layanan kesehatan, pinjaman, tempat tinggal dan pendapatan yang layak.
Masyarakat miskin saat ini paling banyak terdapat di pedesaan. Mereka menggantungkan hidup dari lingkungan dan sumber daya alam.
Di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, menghijaukan kembali industri pertanian dengan berfokus pada petani kecil bisa membantu mengurangi kemiskinan sekaligus meningkatkan standar pengelolaan lingkungan.
Menurut data Program Lingkungan PBB (UNEP), dari 525 juta lahan pertanian kecil di dunia, sebanyak 404 juta memiliki luas lahan kurang dari dua hektar.
Menghijaukan lahan pertanian kecil dengan memerkenalkan praktik pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan terbukti menjadi cara paling efektif untuk mengurangi kemiskinan.
Praktik ini juga mampu menyediakan pangan bagi penduduk yang miskin dan kelaparan, meningkatkan kesuburan tanah dan membuka akses ke pasar produk hijau (green product) internasional yang kini semakin besar.
Pengalaman di Asia dan Afrika menunjukkan, peningkatan produktifitas lahan pertanian – walau kecil – bisa berkontribusi langsung dalam mengurangi kemiskinan.
Berbagai penelitian juga membuktikan, konversi ke sistem pertanian yang ramah alam mampu meningkatkan produktifitas lahan.
Kajian terhadap 286 “praktik pertanian terbaik” di 12,6 juta lahan pertanian di 57 negara berkembang menemukan bahwa praktik penghematan sumber daya alam (melalui sistem integrasi peternakan, integrasi penanganan hama dan pupuk, agroforestry, aquaculture, dsb) mampu meningkatkan produktifitas lahan rata-rata mencapai 79%.
Pasokan sumber daya alam yang selama ini kritis – seperti air, energi dan bahan baku – juga bisa dipulihkan dan ditingkatkan.
Model yang diciptakan UNEP juga membuktikan bahwa peralihan ke sistem pertanian ramah alam berpotensi mengubah lahan pertanian – yang selama adalah penghasil gas rumah kaca utama – menjadi lahan pertanian bebas emisi.
Lahan pertanian ramah alam juga mampu mengurangi konsumsi air bersih dan penggundulan hutan masing-masing sebesar 35% dan 55%.
Dengan meningkatkan investasi di sumber daya alam, sumber kehidupan masyarakat miskin, peralihan ke sistem perekonomian hijau akan meningkatkan kualitas hidup di wilayah-wilayah berpendapatan rendah.
Contoh terbaik datang dari India. India pada 2006 mengeluarkan skema jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin pedesaan dengan cara melindungi dan membangun aset-aset lingkungan dan sumber daya alam.
Skema ini melibatkan – dan menggaji – satu orang dewasa di setiap keluarga miskin dalam proyek-proyek lingkungan dan pembangunan fasilitas publik selama 100 hari dalam setahun.
Program ini berjalan sukses, tumbuh empat kali lipat sejak pertama kali diluncurkan pada 2006. Investasi yang diluncurkan mencapai lebih dari US$ 8 miliar pada 2010, menciptakan 3 miliar jam kerja dan membantu 59 juta keluarga miskin di pedesaan.
Sebanyak 84% dari investasi ini digunakan untuk proyek konservasi air, irigasi dan pengolahan lahan.
Walaupun menghadapi banyak tantangan, program ini terbukti efektif mengurangi kemiskinan dengan program yang bisa diduplikasi dan terukur.
Di banyak negara berkembang, salah satu peluang terbaik untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau adalah dengan berinvestasi di program penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak untuk masyarakat miskin.
Program yang satu ini juga cocok untuk mengatasi masalah kemiskinan di perkotaan, seperti di Jakarta yang terus menghadapi masalah kebersihan dan kesehatan.
Air tanah di Jakarta sudah tidak layak minum sehingga memerlukan investasi baru untuk menyediakan akses ke sanitasi dan air bersih yang lebih merata. Hingga saat ini juga belum ada program yang efektif untuk membersihkan lingkungan dari sampah.
Menurut data UNEP lebih dari 884 juta orang di dunia tidak memiliki akses ke air minum bersih, sementara 2,6 milliar penduduk dunia tidak memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang layak. Dua masalah besar ini berujung pada kematian 1,4 juta anak di bawah usia lima tahun akibat buruknya akses ke sanitasi dan air bersih.
Saat masyarakat tidak memiliki akses ke air bersih, sebagian uang dan waktu mereka akan terbuang untuk membeli dan mendapatkan air bersih. Hal yang sudah menjadi pemandangan umum di kota-kota besar di Indonesia.
Dan saat masyarakat tidak memiliki fasilitas sanitasi yang layak, biaya untuk layanan kesehatan akibat penyakit yang bersumber dari air kotor akan meningkat pesat. Di Indonesia, Kamboja, Philippina dan Vietnam, biayanya bisa mencapai 2% dari kombinasi Produk Domestik Bruto masing-masing negara.
Sehingga investasi di program penyediaan air adalah prasyarat penting transisi menuju ekonomi hijau, ekonomi yang ramah lingkungan, guna meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Catatan redaksi:
Artikel ini diolah dari laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication – A Synthesis for Policy Makers.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment